[ads-post]



Dangdut dalam masyarakat kita, pada saat ini, adalah semacam candu yang tiada tara. Dangdut juga menjadi barometer status quo juga bisa menjadi suatu tendensi atas apa yang terjadi di sekitar kita. Sehingga bukan hal yang muskil apabila pertunjukan musik dangdut di desa, tarling dangdut terutama sekali, menjadi semacam icon bagi sebagian masyarakat dengan ekonomi kelas menengah keatas. Bahkan para pemuda, dari mulai tingkat SMP hingga pejabanya pun begitu erat dengan musik ini.  

Hinga seorang bijak bestari mengatakan ‘jika ingin mengengetahui kondisi masyarakat maka lihatlah karya seninya’, sudah barang tentu dalam hal ini adalah sebuah lagu dangdut yang dapat menjadi tolak ukurnya. Sebab kita adalah masyarakat pantura, dan juga kita adalah seorang yang dibesarkan dengan lagu-lagu yang begitu puspa-warna dengan segala variannya. Musik dangdut yang beririsan dengan fenomena sosial adalah menjadi terma lagu ataupun musik pantura.

Tarling dangdut yang sarat akan segala keunikannya telah sukses mencuri perhatian masyarakat pantura. Apabila terdapat kajian yang intens terhadap musik semacam dangdut pantura dalam skema akademis, sudah barang tentu ini akan menjadi sesuatu yang menarik, serta akan menambah khazanah epistemologi terhadap kualitas musik dangdut tersebut. ‘Ketidakaktualan yang telah ada  adalah godaan untuk berhenti berpikir’ tandas M. Al-Fayyadl dalam Filsafat Negasi-nya, telah membuka wacana kta ahir-ahir ini mengenai berbagai persoalan yang telah kita hadapi, mulai dari hoax hingga informasi yang sifatnya sebatas folklor. Benar atau tidak adalah persoalan nilai, yang nanti akan di jatuhkan setelah persepsi indera bekerja. Pun bagaimana masyarakat memandang sebuah musik, dangdut yang dalam kontes ini telah familiar di telinga masyarakat Indonesia, terutama sekali adalah masyarakat pesisir pantura.

Musik dangdut yang pada dekade 90-an masih dianggap sebagai sesuatu yang remeh temeh, kini menjadi sebuah primadona. Dangdut yang pada saat itu hanya sebatas alunan lagu yang ‘pas’ bagi kaum tua, kini telah bisa diterima oleh sebagian besar masyarakat, kaula muda terutama, telah juga menggandrungi musik bergenre dangdut tersebut, baik di pementasan musiknya atau juga mendengarkannya melalui kanal-kanal semacam You Tube dan lainnya.

Pada uraian singkat ini, penulis ingin menyentuh musik dangdut yang memiliki irisan dengan fenomena sosial, dalam arti musik, yang juga secara liriknya bersentuhan langsung dengan apa yang terjadi pada masyarakat pesisir atau pantura. Sebab penulis memiliki sebuah keyakinan bahwa lirik dalam sebuah lagu memiliki arti krusial di balik ingar-bingar sebuah pertunjukkannya. Dan bagi masyarakat pantura, pada saat ini, ditahun 2019 ini sudah tidak asing dengan lagu 120 Dina milik Susy Arzety dan 20.000 milik Dian Anic Octaviani. Dua lagu tersebut merepresentasikan sebuah fenomena yang memang terjadi di masyartakat pantura yang dalam corak ekonominya bertumpu pada dua sektor, agrari dan bahari;

Kula dedonga ning setiap ambekan
Muga slamet kakang sing ana ning lautan

Gandulane ning jangkar kanggo neteg ati
Kakang mangkat berlayar demi anak istri

Satus rong puluh dina kakang ning duwur banyu
Muga slamet kakang sing nemu rahayu - 120 Dina

Penggalan awal merupakan ketabahan seorang istri dalam menanti suaminya pulang setelah masa kerjanya selama 120 hari tersebut, dan pada masyarakat pesisir, terutama Indramayu 120 hari adalah rute perjalanan nelayan menuju Kalimantan yang dalam hal ini adalah 4 bulan atau bisa juga dalam kurun waktu 3 bulan saja.
Pada penggalan yang kedua lebih menekankan pada sebuah perjuangan sang suami dalam mencari nafkah di lautan yang luas, yang juga jangkar sebagai simbol atas keteguhan sebuah kapal saat menyandar, dan ini di analogikan sebagai hati seorang istri dalam penantian juga dalam iringan do’anya.

Pada lirik ketiga sebelum reff merupakan penekanan atas lagu tersebut, merupakan sebuah elaborasi dari apa yang dialami oleh seorang nelayan, Anak Buah Kapal (ABK) terutama yang pada posisi ini merupakan seorang buruh.

Kemudian pada lagu 20.000 milik Dian Anic;

Yen pengen rabine ayu
Mai blanja aja rong puluh ewu haa

Sing endi nggo tuku boreh
Isi kantong langka kertas langka receh

Ingeta lagi kula masih prawan
Bengen kakang ning kula kedanan
Kien repot ngurus anak
Nganggo dandan bli kecebak hoo
Dudu saking kula blesak
– Rong Puluh Ewu

Dalam lagu ini secara eksplisit telah tergambarkan ‘apa yang nyata’ atas fenomena yang terjadi pada masyarakat pantura, secara keseluruhan lagu tersebut menggambarkan persoalan nafkah yang di berikan oleh sang suami terhadap istrinya, dan pada nominal seperti yang terdapat dalam judul lagu tersebut memanglah nyata, mengingat masyarakat pesisir pantura merupakan dominasi dari kelas b buruh, buruh tani terutama.

Hingga pada realitasnya dangdut merupakan segmen dari sebuah pasar hiburan yang di minati masyarakat, di berbagai acara atau bahkan dalam sebuah kepentingan politik misalnya, mengapa? Sebab dangdut memiliki irisan yang dekat dengan masyrakat, sebagai representasi sosial serta sebagai alternatif dari serbuah asprasi masyarakat, yang tentunya melalui sebuah seni lagu.

Demokrasi Dangdut

Pernah dangdut dan politik, adalah dua terma yang berbeda, yang satu mengarah pada persoalan seni dan satu mengarah pada kebijakan. Akan tetapi mengapa keduanya kerap kali bertemu di lapangan sepak bola? Sebagai sebuah pertunjukkan, lebih tepatnya sebagai alat pada masa kampanye. Begituylah realitasnya, kampanye dengan menggunkan musik, dangdut terutama dirasa lebih efektif. 

Memang bila menerka pada definisi fundamentanya dan mulai menanyakan apakah musik itu? Menurut para pemikir Sansakerta, ada tiga aspek musik; menyanyi, memainkan, dan menari. Yang ketiganya mewakili irama. Dan ketika berjumpa dengan konstelasi politik maka musik sama sekali enajdi tidak bermakna, sebab ia (musik), dangdut, adalah representasi atas fenomena faktual di masyarakat. Namun tak pernah ada perbincangan menegnai idealisme atau prinsip dari musik dangdut itu sendiri, semuanya berjalan natural, sesuai cost politic yang di keluarkan oleh kontestan politik tersebut. Dalam penokohan yang juga masih beririsan dengan hal ini bisa lihat;
https://ahonkbae.blogspot.com/2018/03/tokoh-sebagai-tendensi-politikus-bukan.html
 
Pertunjukkan musik dangdut yang biasanya hanya pada saat seseorang mengadakan pesta hajan, sebagai status quo, mungkin, telah mengalami banyak perubahan dalam perform-nya. Dan muatan politik, kampanye dalam hal ini, yang sarat akan janji-janji serta visi-misi yang bla bla bla telah juga ditangkal dalam sebuah penggalan sebuah lagu; “Nandur cipur godonge bae, ana pikir sampean omongane bae”,  merupakan satu terminologi sarkas yang mewakili atas janji yang di selorohkan oleh kontestan tersebut. Dan tentu hal-hal bukanlah barang baru dalam pasar demokrasi kita, demokrasi dangdut. Lebih pahit bahkan, katika para pejabat kita telah tertangkap atas kasus perselingkuhannya dengan penyanyi dangdut, dan ini juga bukan barang baru lagi. Mengenai deklarasi salah satu grup dangdut yang mendukung salah satu calon juga nampaknya sudah terlalu sering di lakukan oleh para biduan di masa yang lalu. Serta bisa ditarik asumsi bahwa tiada hal baru dalam perselingkuhan antara dangdut dan politik.

Namun manuver-manuver tersebut sampai hari ini masih di gunakan. Bisa jadi ruang pikir para kontestan politik itu mengalami kejumudan atau memang itu masih dirasa relevan sampai detik ini, entah. Yang pasti objek dari pasar dangdut adalah kuping masyarakat, yang dalam tingkatan ekonominya merupakan kelas pekerja, yang dalam hal ini adalah sebagian besarnya adalah buruh. Dan bisa di pastikan dalam setiap orasi politik pada saat kampanye tidak di dengarkan oleh para pesertanya, asalkan dangdut dimulai sesegera mungkin. Yang dilupakan oleh juru kampanye kita adalah bahwa rakyat itu bukan pegawai, bukan karyawan, dan bukan bawahan. Dan pasti rakyat itu adalah atasan, tulis Fauz Noor.

Pada saat membicarakan cost politic, adalah kita membicarakan soal modal dalam sebuah usaha, dan sudah barang tentu setiap usaha mengharapkan hasil atau laba. Kemudian dimana letak surplus-deman dalam hal ini? Letaknya pada seberapa banyak blusukan, narsismenya di mesia massa hingga amplop yang di sebar yang ending-nya pada pencaplokan anggaran serta pembuatan kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat.  Lalu apa yang diharapkan dari politik dangdut tersebut? Tidak ada.

Yang tersisa dari sebuah pesta, apapun itu, hanyalah sampah. Pun dalam konstelasi dangdut yang digunakan sebagai manuver kampanya tersebut. Janji serta visi-misi menjadi gelombang suara yang berlalu begitu saja. Asalkan mendapatkan kaos serta amlop, ditambah hiburan dangdut, adalah sajian (paket komplit) bagi massa bayaran tersebut.    

pict by: Google

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.