[ads-post]


Hanya semenjak jajaran KPU (Komisi Pemilihan Umum) mewartakan bahwa beberapa bulan lagi menjelang pemilihan umum gubernur (pilgub) provinsi Jawa Barat, seketika menjadi menarik, beberapa pasangan dengan penuh percaya diri mengajukan diri, bahkan juga di ajukan oleh kendaraan birokrasi (baca; partai) untuk menjadi pemenang, untuk menjadi orang nomer wahid di bumi pasundan dan pantura ini, menarik sekali memang.

Sesekali pernah melihat baliho tergelantung di tiang-tiang listrik yang tertabrak angin dan menjadi incaran tukang becak setelah pesta demokrai selesai, dan juga ada yang mencekik pepohonan, itu belum lagi ada yang memantik balihonya dengan paku. Beberapa kabupaten mengirimkan delegasinya melalui kendaraan birokrasi tersebut, dengan tekad membangun Jawa Barat , memabangun secara menyeluruh, yang di mulai dari aspek religiusnya, yang di anggap sebagai pondasi dalam membangun sumberdaya manusia dan kemudian bermuara pada pembangunan ekonomi sebagai benteng ketahanan pangannya, kedua hal itu bisa di jadikan manuver oleh pasangan calon (paslon) dalam meraup suara masyarakat secara akumulatif. Dengan visi wal misi yang di anggap serius, jika tidak menyakinkan oleh setiap paslon serta tak lupa visi dan misi itu di cetak dalam baliho-jumbo yang di sertai foto close-up untuk segera ‘di pasarkan’ demi menuai laba berupa suara masyarakat. Cara seperti ini sangatlah lazim dilakukan oleh para politikus dari presiden hingga pemilihan kuwu sekalipun, dan metode tersebut menjadi mafhum dalam mengenalkan dirinya kepada masyarakat, melalui baliho, hingga tiba di perjumpaannya pada kampanye yang disertai hiburan bagi masyarakat, serupa musik dangdut atau apapun yang yang sesuai dengan kesenangan masrakat, artis yang naik daun pun di sabetnya, asal bisa mengumpulkan massa sebanyak mungkin, semua di jabani dengan mudah. Dan tak ketingalan amplop serta kaos dari setiap paslon di distribusikan bagi mereka yang hendak mengikuti tamasya lima tahunan itu. Dan betul kata A. Hitler dalam Main Kamf-nya bahwa; “Ich konnten reden, jade grsse bewegung auf dieser Erder verdankt ihr Wachsen den grosseren Rednern und nicht den grossen Schreibern” kurang lebih begini “Setiap gerakan besar di dunia selalu digerakan oleh jago-jago pidato, bukan oleh mereka yang pintar menuilis.” Hari belakangan adalah harinya para penceramah-politik menunjukkan taringnya, demi kekuasaan. Dan besok rakyat peluhnya di depan gedung mewah miliknya sendiri, namun tak di akui oleh sang pengontrak itu. Sungguh puspa-rasa merasakan atmosfir politik Indonesia ini.
      
Dalam sebuah teori islam (kaidah syiasah syar’iyah) di nyatakan bahwa;

تصرّف الامام على الرّعية منط بالمصلحة

“Kebijaksanaan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada kemaslahatan,” dari kutipan tersebut kiranya jelas bahwa suatu kebijaksanaan (yang nanti) akan di putuskan oleh seorang pemimpin atau penguasa dalam bahasa lainnya, sudah sepatutnya melihat secara realistis apa yang terjadi di lapangan, dan lagi keberpihakan seorang pemimpin – yang dalam siklus parlemen ini, berpihak pada rakyat secara utuh, bukan pada investor atau pemodal yang menyokongnya pada saat pemilu lalu. Meski di lapangan seratus delapan puluh derjat berbeda, namun sekiranya mentalitas satria di representasikan dalam membuktikan visi dan misi manisnya, dulu.

Tendensi ambisius

Hal lain yang sudah barang tentu menarik perhatian adalah ketika para paslon mulai menyeret sejarah, jika tidak men-ta’wil ulang. Seperti siapa sosok heroik di tanah Jawa Barat ini? hingga dengan para pengawalnya, tak ketinggalan jurnalis ‘kesayangan partainya’ di gandeng untuk menaikan raitting di segenap penjuru mata angin, ritual-ritual keagamaan seperti menziarahinya, dengan maksud mendapat ‘wangsit’ atau yang serupa dengannya. Tokoh-tokoh seperti sunan Gunung Jati, prabu Siliwangi, raden Arya Wiralodra pun belakangan menjadi menjadi trend-setter bagi para politikus tersebut, setelahnya melakukan ritual-ritual tak lupa mereka mengajak kuncen berialog mengenai sejarah atas tokoh-tokoh tersebut, hingga ahirnya istilah cocokolgi muncul, dari mulai nasab hingga karakter pribadi para paslon itu dikatakan memiliki keserupaan, kemudian tugas jurnalis itu mencatat dan memproduksi berita-berita semacam itu.  Di sini jelas bahwa apa yang tidak absurd apa yang para paslon lakukan? Itu sebelum salah satu paslon terpilih sebagai gubernur, bagaimana jika terpilih, jawab pastinya belum di temukan, namun satu kata mewakili kegelisahan hari ini adalah; entah. Sebab keresahan demi keresahan mencuat di berbagi titik, seperti halnya yang di goreskan oleh F. Magnis Suseno dalam Etika Politik-nya; “keresahan adalah indikasi tidak adanya keselarasan,” dan lihat hari ini apa yang (setidaknya) bisa di katakan selaras? Kemudian beliau menandaskan “keselarasan nampak apabila masyarakat merasa tenang, tentram dan sejahtera,apabila tidak ada musuh dari luar dan pengacau dari dalam mengganggu petani pada pekerjaannya,” dan seperti konsesi yang terjadi di dua kabupaten, Cirebon dan Indramayu dalam melaksanakan program nasionalnya, membangun PLTU , dan tahun belakangan proyek yang ke-2 mulai di galakan. Dengan masa depan pulau Jawa yang hendak di sulap menjadi pusat industri nasional maka berbagai persoalan muncul, namun dalam titik nadir ini dimana para politikus yang mendulang suara itu? Bukankah apabila melihat kaidah di atas sudah sepatutnya para paslon tersebut bergegas merangkul mereka, namun? Melihat bahwa prospek bisnis di Jawa Barat ini menjanjikan, maka para paslon tersebut tak segan-segan merangkul para tokoh-tokoh yang mampu membawanya menuju kursi kekuasaan.

 Trend blusukan menjadi salah satu manuver jitu yang di lakukan oleh para paslon tersebut, namun lagi-lagi mereka hanya menyambangi pasar, yang dalam Also Sprach Zaratustra-nya F. Nietzsche mengatakan “dimana kesendirian berhenti, pasar pun mulai. Dan dimana pasar mulai, mulai pula riuh rendah para aktor besar dan desau kerumunan lalat beracun.” Dan begitulah seterusnya menjadi tradisi membosankan, berdialog dengan aktor penjual dan pembeli yang berlalu-lalang, kadang dikumpulkan untuk mendengar mauidzah hasanah’ dari paslon tersebut sebagai representasi atas populismenya, dan masyarakat belum jera mengeluh-eluhkan aktor politik tersebut, meski kerap-kali di kecewakan oleh sistem yang menidasnya, monopoli harga seperti beberapa waktu lalu misalnya.

Ide populis yang tak kalah anehnya adalah mereka (para paslon) yang mendekati para fundis (tokoh agama) dengan menyambangi pesantren-pesantren di Jawa Barat ini, dengan memberikan bantuan untuk pembangunan fisik pesantren atau yang sejenis dengannya juga menjadi trend-setter pada ‘masa-genting’ ini. dan betul kiranya satu statement Pramoedya Ananta Toer dalam Arok Dedes-nya bahwa “suatu jaman memalukan yang seakan tiada habis-habisnya,” semua dilakukan untuk satu kata; suara, yang pasca pesta demokrasi adalah hari meraup laba, juga dengan cara yang tak kalah memalukannya, seperti korupsi, pungli, KKN yang masih menggurita dalam skema birokrasi di Jawa Barat ini. Cita-cita budi luhur penguasa yang ada dalam semboyan sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji, unggul tanpa bala,menang tanpa ngasorake (kaya tanpa benda, tak terkalahkan tanpa senjata, unggul tanpa tentara, menang tanpa merendahkan) adalah menjadi tendensi sesungguhnya pada hari ini. 

Maka sebaiknya lupakan ide pemimpin kharismatis yang pernah di canangkan oleh Max Weber, atau istilah tata-tentrem-kerta-raharja sebab hari ini kharismatis adalah istilah yang di gunakan untuk tangan besi, setalah surat suara masuk dalam kotak pandora, pesulap bernama investor menyerbu bumi pasundan dan pantura ini, jika mengatasnamakan modernitas, maka adalah modernitas palsu yang dengan alasan akan menciptakan lapangan kerja sebagai salah satu program dalam mereduksi pengangguran, namun nyatanya arus urbanisasi masi meraja di bumi pantura ini. Oleh karenanya apa yang dilakukan oleh para paslon adalah muslihat yang terlalu ‘lucu’, lucu karena belum ada terobosan baru dalam metode mendulang suara dengan cara yang kreatif, serta terjebak dalam cara-cara yang dulu; hanya meneruskan. Dan lagi apa yang di katakan Herry Sutresna (Ucok A.K.A) bahwa; “karena hasil pemilu akan menentukan pasar dan investor serbu.” Tanpa sedikitpun sifat dan karakter dari sosok yang menjadi tendensinya sewaktu menziarahi petilasan-petilasan tokoh di Jawa Barat ini, dan hanya mengamini investor dalam menancapkan kekuasaannya. Entah adalah jawaban pasti dari visi dan misi yang di tuliskan pada baliho paslon tersbut.

*foto; JIBI foto, harian Jogja.

Ahonk bae

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.