[ads-post]


Selamat datang di era kemajuan indusrti, yang semuanya mudah di jamah, siapapun, kamu pun bisa kalau mau. Bukan persoalan seberapa banyak uang yang dimiliki namun seberapa potensi yang kamu miliki, potensi yang hanya sekedar fetish umpamnya. Pemujaan terhadap pemilik atau penguasa baik langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada profit-self setiap personnya. Terlebih, pada saat ini gelar strata satu atau S1 adalah hal mainstream di masyarakat kita, meski tidak seluruhnya, sehingga setiap person seolah memiliki dampak psikologis yang tinggi, impact-nya pada rasa ‘gengsi’ yang subur pada setiap personnya pula. Dan ini hal yang mafhum, mengingat pola ‘surplus-deman’ tak terhindarkan dalam pola konsumsi kita, sehingga anak dari orang tua yang telah menyekolahkannya haruslah memiliki derajat yang tinggi, dan derajat yang tinggi hari ini di bandrol dengan pekerjaan yang menjanjikan, PNS atau pegawai kantoran misalnya.   

Murid dari sekolah tinggi atau biasa disebut dengan mahasiswa adalah sebuah frasa menarik dalam masyarakat, sebab ia lebih high-class dari yang lainnya, lebih bermartabat dari buruh tani bahkan lebih tinggi dari pedagang grosiran di level desa. Itu jika kita berbicara strata sosial ketika ia menyandang status tersebut setelah proses OSPEK atau juga MABA. Mengasikkan, sungguh. Semuanya seolah terbebani pada status tersebut, agen of change begitu senior membakar ghirah setiap mahasiswa baru. Sehingga beban sudah sangat terasa di pundak. Sampai-sampai orang tua pun kegirngan bila mendapat sanjungan dari tetangganya apabila anaknya mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tetangganya itu. Lambat laun, satatus ‘mahasiswa’ tersebut seolah menjadi bargaining dengan pekerjaan setelah kuliah, sudah barang tentu bermodal ijazah semata, msekipun tadi, menjadi hal mainstream pada arus industri ini. Sehingga solusi terbaiknya ialah bargaining dengan penguasa, meski bukan dengan cara yang masif sekalipun. Asalkan beban di pundak lepas, persetan idealisme. Seperti kata P. Freire dalam Politik Pendidikannya. 

Dan pada saat ini cara yang di tempuh dan memang sangat ampuh ialah masuk pada organisasi ekstra kampus atau bbisa juga merapat pada organisasi daerah (baca; Organda) yang telah banyak mencetak dan menerjunkan kader-kadernya pada instansi strategis daerah, bahkan negara. Bukan pada track memperjuangkan hak-hak rakyat yang tertindas lagi, dan percayalah bahwa itu adalah mitos yang di konstruksi setelah deal kursi terpenuhi. Kemudian bukan lagi menjadi hal yang ‘nyeleneh’ apabila terdapat kader yang langsung duduk di kursi parlemen setelah mengikuti serangkaian aksi yang, di suruh oleh seniornya, baik organisasi atau partai sekalipun. Sebab organisasi mahasiswa merupakan anak partai dan sebaliknya. Simbiosa harus ada, ‘dapur haruslah ngebul’ atau bahkan ‘kebutuhan berbeda setelah menikah’ adalah pledoi yang sering di jumpai pada suara parau ‘mantan-aktivis’. Di bungkam dengan dengan pekerjaan, di bisukan dengan jabatan atau yang senada dengannya. Persoalan penindasan tidak lagi menjadi tema dalam perbincangan dalam momentum pertemuan, sebaliknya profit adaah tema utama dalam setiap pertemuan, pada rapat atau pada coffe break ala pejabat.

Menyetujui, memuji dan mengawal semua kebijakan penguasa adalah semacam magnum opus bagi aktivis, sampai tujuan terangkatnya harkat-derajat dan martabat organisasi tersebut mendapat predikat baik adalah misi utama. Terserah apakah itu pada esensinya dalah kepanjangan tangan dari sang penidas atau apapun, asalkan prasyarat untuk ‘mengamankan’ setiap kadernya terpenuhi, hal ini dimaksudkan sebagai feed back organisasi tersebut.

Selamat datang pengekor, penerus budaya korup, syar’u man qoblana dalam suatu teori, dan menjadi hal yang mafhum pada saat ini, life style manusi yang tak mampu menghadapi perih getirnya perjuangan, sehingga akan terus melanggengkan penidasan. Kemudian dan lalu penindasan adalah niscaya dan perlawanan adalah sebuah gagasan tanpa pelaksanaan. Dan inilah era industri, jauh tertinggal dengan era yang sedang terjadi, era-informasi. 

Intelektual kita hari ini adalah mereka yang takut dengan kehidupannya sendiri, menafsir hidup bagai mekanik tanpa terpikir pola organik, ala Gramsci. Polanya selalu sama dalam setiap dekade, alumni tetap menjadi pengekor, sebab sebelunya mencicpi didikan senior tanpa telaah dan tanpa nalar kritis. Dan sudahlah, menyerahkan hidup dan kehidupan kepada siapapun adalah kebodohan. Berjuang dan perkuat barisan, jangan terkecoh pengalihan, tetap fokus dalam lokus. Tiada gerakan yang ideal dalam kecamuk kekuasaan dan tidak ada cita-cita abadi dalam pengorbanan, semuanya fana.     

pict by:Google  


Jum’at, 20 Sept 2019
Ahonk bae

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.