Ruang kecil menjadi tumpuan kebutuhan atas ruang besar, kaya akan ekosistem
serta potensinya yang puspa-warna, ia tiada lain adalah sebuah desa. Desa yang
menyajikan berbagai kebutuhan masyarakat kota – suplayer tetap. Pertukaran
hasil bumi dengan barang-barang elektronik misalnya adalah sebuah rutinitas
dalam roda perekonomian sebuah desa pada sisi distribusinya. Hal ini sudah
barangtentu di tunjang oleh kondisi infrastruktur sebagai pintu aksesnya (key
accces).
Desa bukan hanya sebagai konsumen belaka, sebab pada hari ini desa telah
telah memiliki peran penting serta daya tarik tersendiri bagi masyarakat urban.
Mulai dari desa dengan corak argowisata, kesenian serta kebudayaan hingga
investasi tanah di masa tua. Terlebih, dengan di gelontorkannya Dana Desa
sebagai modal dalam pengelolaan sebuah desa telah membuka lebar-lebar peluang
bisnis yang di kelola desa secara sinergi.
Peran serta masyarakat tentunya menjadi vital dalam pembangunan desa
tersebut, sebab desa yang berdaulat adalah desa telah kuat dalam setiap lapisan
struktur masyarakatnya. Dari anak-anak hingga lansia atau sesepuh dalam desa
tersebut. Kemudian yang menjadi vital ialah peran pemuda pada desa tersebut.
Produktifitas hingga kreatifitas ide tentu di miliki oleh kaum muda pada sebuah
desa, tinggal bagaimana desa, dalam hal ini adalah pemerintah desa,
memanfaatkan potensi vital tersebut.
Sebelum ahirnya jauh berbicara mengenai
arus urbanisasi yang tidak bisa di bendung sampai saat ini.
Akantetapi dengan regulasi serta pengaturan kinerja yang bisa dibilang
pas-pasan, desa pada saat ini masih belum bisa di harapkan kemandiriannya,
terlebih berbicara mengenai kemandirian tanpa kebergantungannya pada kucuran
dana dari pemerintah. Kemudian desa juga belum dapat mengakomodir
persoalan ekonomi-produktifnya yang dengan hal ini desa di harapkan
dapat memiliki daya saing dengan desa-desa lainnya. Terlebih pada saat ini desa
yang memiliki potensi ‘hanya’ desa di sekitar pesisir dan juga di daerah
pegunungan. Dan bila di dataran rendah kemudian memiliki daya saing, maka besar
kemungkinan desa tersebut di huni oleh beberapa LSM yang getol mensuport
masyarakatnya untuk terus maju. Hingga kemudian potensi bukanlah sejatinya
potensi yang memiliki nilai keberlanjutan, nanum terhenti pada level laporan
keuangan.
Berapa dana yang di gasak begitu saja tanpa keberlanjutan dan berapa dana
hibah yang keluar untuk pekerjaan yang tidak memiliki nilai utilitas?. Hal ini
adalah lumrah terjadi di lingkungan desa, sebab SDM rendah dan sebab-lain yang
memuluskan upaya ‘perampokan’ yang dapat dikatakan sistemastis, terstruktur
& masif. Seperti yang dikatakan Destutt de Tracy bahwa “bangsa-bangsa yang
miskin adalah bangsa yang rakyatnya nyaman, dan bangsa-bangsa yang kaya adalah
bangsa-bangsa yang rakyatnya pada umum kekurangan.” Dan Tracy pada konteks
tersebut dapat di tarik dalam membaca apa yang terjadi di desa, dengan persepsi
‘nyaman’ seperti yang di katakannya jelas menggambarkan sebuah kondisi yang
realistis. Hal ini tentu saja dapat di lihat dari indikator produktifitas masyarakat
antara kota dan desa.
Di tempat lain, G. Ortes yang merupakan seorang biarawan Venesia dan
penulis ekonomi pada abad ke-XVIII menyatakan “dalam perekonomian suatu bangsa,
yang baik dan yang buruk selalu mengimbangi” kemudian, “berlimpahnya kekayaan
pada sementara orang selalu sama dengan kekurangkayaan bagi orang-orang lain”. Pada
batas ini Ortes juga membaca corak ekonomi pada umumnya, yang dalam arti kaum
berada juga kum papa selalu pada garis tengah atau seimbang. Kaum kaya dan kaum
miskin dalam sebuah desa tidak terlepas dari persoalan ekonomi, namum disini,
desa dengan model pemerintahan oligarkis akan berbeda, kaya tetaplah kaya dan
sebaliknya. Proporsinya jelas, akumulasi kekayaan tetap di miliki oleh kaum
kaya, dengan adanya monopoli kekuasaan maka segala bentuk uluran tangan dari
pusat menjadi sebuah proyek segelintir orang, dan dalam hal ini adalah siapa
yang berkuasa.
Dengan begini desa tidak akan mandiri juga mengalami berbagai hambatan
dalam menjalankan roda birokrasinya, mengapa? Hambatan yang di temui merupakan
hambatan besar, berupa ingkaran oligarkis, klan serta mengakar kuatnya tradisi
nepotisme. Oleh karenanya pemerintah merasa kesulitan dalam memfungsikan desa
sebagaimana adanya, gurita korupsi juga telah merambah skala desa hingga level
terkecilnya. Upaya penyadapan serta pemeriksaan kepala desa yang dilakukan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi memang terlihat, namun bukan berarti hal tersebut
membuat para pemangku kekuasaan menjadi seidealnya pemimpin. Jatah kepada okum
harus tetap keluar, adalah merupakan ancaman bagi para pemangku kebijakan.
Kemudian mengapa para pemangku kebijakan takut dengan oknum-oknum tersebut?
Tingkat pengetahuan yang rendah, basis massa atau mungkin telah terjadi
kesepakatan yang vis a vis diantara keduanya.
Dengan bantuan yang terus di kucurkan bukan berarti masyarakatnya semakin
makmur, sebab okum pejabat terus menanamkan sistem upeti di tanah yang makmur,
maka yang ada semakin hancur. Siapa yang berani memangkas rantai upeti? Pejabat
itu sendiri, mental korup sebagai acuan pertama yang segera di musnahkan.
Kemudian ruang imaji akan kesengsaraan rakyatnya – terutama kaum papa, sebagai
penerima bantuan yang semestinya di prioritaskan. Bukan malah takut dengan
Ormas, LSM, Partai, atau papaun bentuknya yang telah juga mengatasnamakan
kepentingan. Asalkan semua aturan ditaati dan tidak melakukan aksi liar maka
oknum-oknum tersebut dapat di jungkirbalikkan dengan berbagai realitasnya.
Tidak ada keniscayaan terbesar dalam perubahan dalam sebuah desa kecuali
mendobrak kesadaran. Namum berbicara kesadaran dalam skala realistisnya sama
halnya membicarakan rasa lapar tanpa sebuah tindakkan. Ilusif. Tidak ada
kesadaran tanpa tindakan dan tidak ada tindakan tanpa keasadaran. Semuanya
saling melengkapi, kaum berpunya tanpa kaum papa maka hanya akan menjadi raja
tanpa mahkota dan sebaliknya. Kemudian yang menjadi agenda besar sebuah
perubahan di dalam desa adalah memutus rantai makelar dalam birokrasi, regulasi
dan juga sistem-sistem yang terkait di dalamnya.
Tiada yang mempu menghentikan, keucali kematian, itupun jika rantai
nepotisme telah luntur. Neraka perjuangan adalah kenyamanan dan kemenangan. Keputusaan
adalah celah untuk kehancuran.
Posting Komentar