Petani desa Mekarsari Patrol Indramayu/ Zam Zam Abdul Fakih


Masih membayangkan atas apa yang terjadi di Desa Wadas Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo tempo hari, lalu menyusul kejadian di Kasimbar, Parigi Moutong Sulawesi Tengah dalam upaya menolak aktivitas tambang yang ternyata menelan korban jiwa dan belum lepas dari ingatan atas deretan konflik agraria di Indramayu.

Sepanjang adanya upaya proyek di berbagai tempat maka pro dan kontra tak terhindarkan adanya, pro bagi mereka yang sepakat dan kontra sebab dualisme atas kesepakatan harga atau memang menolak dengan pola pikir keberlanjutan dimasa yang akan datang. Kemudian jika membicarakan sesuatu yang fundamental dalam hal ini adalah sebuah undang-undang maka Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan "bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional," sama sekali belum menjadi tolok ukur atas kemajuan bersama dalam sektor ekonomi yang berkelanjutan serta berkeadilan.

Kaitannya dengan hal ini, rencana atas mega proyek Segitiga Rebana atau Rebana Metropolitan yang sudah di rencanakan oleh Pemprov Jawa Barat dalam acara Java Investment Summit 2020 di Bandung, Senin, 16 November 2020 lalu. Jelas, terkoneksinya Bandara Internasional Jawa Barat (BJIB) Majalengka, Pelabuhan Patimban Subang dan Kawasan Industri di Indramayu, maka Segitiga Rebana membutuhkan banyak sekali lahan untuk perindustrian, perumahan dan yang lainnya, secara keseluruhan Segitiga Rebana memiliki wilayah yang paling luas dengan rincian; Kabupaten Cirebon memiliki luas 1.072,29 km persegi, Kabupaten Subang 2.051,76 km persegi, sedangkan Kabupaten Majalengka 1.204,24 km persegi. Jika digabungkan, total luas Segitiga Rebana mencapai 4.328,29 km persegi serta peruntukan wilayah khusus untuk proyeksi tersebut ialah 54,260ha. Dalam hal ini juga Indramayu telah disiapkan untuk menjadi Kawasan Peruntukan Industri (KPI) yang dalam hal ini telah disiapkan 20.000Ha lahan yang terdiri dari 31 Kecamatan, 8 Kelurahan dan 309 Desa. 10 Kecamatan yang ada di Indramayu. Diantaranya Kecamatan Balongan 1.438 Hektar, Krangkeng 3.507 Hektar, Losarang 4.523 Hektar, Kandanghaur 2.025 Hektar, Patrol 1.385 Hektar, Sukra 2.814 Hektar, Juntinyuat 643,1 Hektar, Tukdana 664,7 Hektar, Terisi 1.379 Hektar, serta Gantar 1.574 Hektar. 

Dari kisaran 20.000Ha lahan tersebut kita mafhum bahwa lahan di Indramayu merupakan lahan produktif yang digunakan untuk bercocok tanam, dalam hal ini ialah menunjang perekonomian dan proyek Segitiga Rebana yang di gadang-gadang akan menaikkan pertumbuhan ekonomi hingga 10 persen dengan nilai investasi sebanyak 17 persen ditambah dengan 4,3 juta penyerap tenaga kerja baru, di Indramayu sendiri hal itu merupakan sama sekali tidak logis dengan banyaknya siswa yang putus sekolah dan pendidikan rendah menjadikan mereka tidak memiliki daya saing dengan adanya rencana Segitiga Rebana pada 2030 nanti.

Sedangkan, mengutip data BPS yang menggunakan metode KSA (Kerangka Sampel Area), tercatat 25 Kabupaten di Indonesia sebagai produsen beras tertinggi tahun 2020 lalu. Peringkat satu (1) ialah Kabupaten Indramayu yang memiliki luas panen padi 226.626 hektare (ha) dan diperoleh produksi 1.363.312 ton Gabah Kering Giling (GKG) atau 782.132 ton beras. Hal itu jelas akan mengurangi nilai pendapatan yang disebabkan oleh berkurangnya 20.000Ha maka menjadi 206626Ha dan jargon 'Lumbung Padi' yang selama selama ini digaungkan menjadi terdistorsi dengan sendirinya.

Selain pendidikan yang rendah dan tidak memiliki daya saing, yang paling urgent dari hal ini adalah soal tanah yang merupakan tempat untuk menggantungkan perekonomian masyarakat di sektor agrari yang tulang punggungnya ialah pertanian dan perkebunan. Jika berkaca pada apa yang terjadi di Indramayu dengan kehadiran PLTU 2 menjadikan sistem biota laut yang kian memprihatinkan serta hilangnya mata pencaharian nelayan kecil di sekitaran Kecamatan Patrol tersebut. Maka dengan hadirnya Segitiga Rebana tersebut bukan tidak menutup kemungkinan akan kembali menuai konflik penolakan, dengan jumlah lahan yang tidak main-main dan jelas mengalihfungsikan lahan produktif dari 10 kecamatan di Indramayu menjadi zona industri. Sehingga dalam hal ini konflik horizontal tidak terhindarkan sama sekali.

Secara universal bagaimana konflik itu tercipta, dicipta dan menciptakan (konflik)? Lewis A. Coser (1913-2003) memandang bahwa terdapat dua macam konflik. Pertama konflik realistis; Konflik Realistis, yang berangkat dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada objek yang dianggap mengecewakan. Konflik non-realistis, ialah konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Jika di representasikan dalam kondisi sosial-ekonomi maka konflik horizontal yang akan terjadi ialah terpecahnya masyarakat kedalam 2 kelompok, pro dan kontra. 

Model mobilisasi dari Ganti Untung hingga euforia kesejahteraan berdalih terbukanya lapangan pekerjaan di kawasan Segitiga Rebana tersebut. Metalitas kita, tanpa membuang hipokrit sedikitpun bahwa masyarakat kita masih bermental 'calo', sehingga jika terjadi gesekan antara yang pro dan kontra atas proyek Segitiga Rebana, dan mereka yang menolak dengan alasan idealnya, mempertahankan ruang hidup dan keberlanjutan atas pangan dan selama ini telah merasa cukup atas apa yang didapat selama ini. Dan dalam hal ini adalah keterlibatan dari Lembaga Kepemudaan, LSM, Ormas bahkan Partai bisa terlibat sebab tidak mendapat 'tender' atas pilot project tersebut maka propaganda menjadi 'jalan terbaik' dari metode merongrong demi 'dalan pangan' yang menjanjikan itu.

Meskipun menurut Bappeda Provinsi Jawa Barat dalam merealisasikan rencana tersebut diperlukan investasi sebesar Rp 1.942 triliun dengan Indikasi sumber pembiayaan yang berangkat dari APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten, KPBU, BUMD, Swasta/BUMN. Dari hal ini jelas siapa yang akan untung dan buntung saat mega proyek Segitiga Rebana tersebut direalisasikan yang menyenangkan bagi taipan, petani kehilangan lahan, buruh terjepit dan broker bisa tersenyum lebar dengan fee kolaboratif atas proyek.


Senin sore, 14 Desember 2020 sengaja berjalan-jalan ke sawah untuk melihat keadaan di sawah saat ini, dengan harapan musim tanam segara dilakukan. Namun kemudian mengingat lagi bahwa  saat ini sedang ada proyek pembangunan irigasi di saluran utama/primer yang telah di kerjakan mulai dari sehabis masa panen lalu, sekitar bulan September 2020 lalu. 

Seharusnya saat ini sudah mulai menyebar benih atau pembibitan, namun entah sampai memasuki pertengahan bulan Desember ini belum ada tanda-tanda di mulainya pembenihan tersebut.

Melihat kondisi sawah yang sampai saat ini masih belum ada progres apapun, meskipun swah yang lokasinya berada di tanggul yang dekat dengan saluran irigasi sekunder (baca; dampyang) atau yang terkena saluran air telah mulai di kerjakan dengan traktor pembajak, akantetapi kondisi sebagian sawah lainnya masih dalam kondisi stagnasi dalam artian masih di penuhi oleh rumput-rumput liar yang menjulang. Kapan di mulainya garapan sawah tersebut belum ada tanda-tanda.

Dengan mengingat proyek pembangunan irigasi tersebut di danai oleh sebuah perusahaan finance dari Jepang yaitu JICCA dengan sistem loan atau pinjaman, hal ini sama dengan pendanaan proyek PLTU 2 Indramayu yang pendanaannya berasal dari JICCA. 

Sehingga setelah ditelusuri bahwa dalam skala daerah atau kabupaten sendiri total pendanaan proyek tersebut bernilai 3,1T. namun terdapat kejanggalan atas proyek irigasi tersebut, mengapa? Sebab dalam papan proyek tersebut tidak mencantumkan nominal anggaran atas proyek tersebut, sebagaimana dalam UU No. 14 ini guna keterbukanaan informasi publik dan juga Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 12/PRT/M/2014. Namun dalam papan itu hanya mencantumkan jangka waktu pembangunan proyek yang di situ tertulis 3 (tiga) tahun.

Kembali bahwa kondisi sawah di desa Sukaperna masih dalam kondisi stagnan, dengan keterlambatan musim tanamnya tentu bukan tanpa resiko. Resiko yang akan dihadapi di kemudian hari ialah Pertama, penyebaran hama yang massif sehingga para petani harus siap merogoh kantong lebih banyak sebab harus membeli pestisida yang sudah barang tentu harganya tidak murah. Kedua, dampak selanjutnya ialah kulitas padi yang tidak sepeti biasanya, megingat kondisi cuaca yang ekstrim dan juga jadwal atau penanaman yang tidak seperti biasanya, dengan flash back atas kejadian beberapa tahun silam yang kondisi pertanian memprihatinkan juga terjadi atas bentuk ketamakkan, tiga kali musim tana dalam setahun, yang impact-nya ialah pada musim tanam selanjutnya terjadi penyumbatan pertumbuhan pada tanaman padi (baca; klowor), dan ini jelas merugikan petani. Ketiga ialah dampak dari rentetan dari persolan di atas, harga jual padi yang menurun, ini tetntu saja tidak serta merta terjadi jika hal-hal seperti yang di ekplorasikan di atas tidak terjadi. Dengan mengingat bahwa harga padi yang selalu saja tidak sebanding nilai produksinya maka sudah barang tentu hal ini sudah merugikan para petani, terutama petani kecil dan petani penggarap dengan modal yang sangat minim.

Kemudian ialah bagaimana dengan regulasi yang mengatur semua itu? Pemerintah desa dan yang berwenang dalam masalah itu ialah biasa di sebut sebagai wa Bumi atau lebih terorganisir dan spesifiknya ialah Kelompok Tani atau Gapoktan yang sampai pada saat ini belum ada aba-aba dengan adanya kondsi seperti ini. Perihal musim tanam lebih prioritaskan, dengan mata pencaharian penduduk desa Sukaperna yang bergantung pada sektor agrari sudah semestinya persoalan itu telah di pecahkan pula secara masak-masak. Namun pada sabtu 21 November 2020 lalu, pada saat Musrembang Desa yang penulis melihatnya di tayangan live facebook. 

Salah seorang teman menyakan perihal tersebut namun mendapatkan jawaban yang bisa di katakan rancu, dengan jawaban bahwa pemerintah desa tidak mengetahui akan perihal detail proyek irigasi tersebut  sebab proyek tersebut merupakan proyek pusat. Letak kerancuannya ialah, idealnya atau setidaknya pemerintah desa mengetahui, sebab di lapangan, pemerintah desa hadir di sana. Dan dengan mempertimbangkan arah laju perekonomian desa sudah seharusnya pemerintah desa memiliki solusi konkrit atas persoalan yang bisa dikatakan urgent tersebut.       

Mengapa persoalan regulasi pemerintahan sedemikian pentingnya di sini, sebab desa Sukaperna, seperti yang di katakan di atas, sebab pemerintah berperan penting dalam menentukan arah desanya, baik di sektor sosial, kesehatan, pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya, dan perekonomian menjadi kunci disini, sebagai sektor vital desa dan sebagai penyanggah kebutuhan pokok masyarakat luas.


Konstelasi Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada begitu seksi belakangan ini, pasalanya pemilukada saat ini dilakukan secara serentak, bahkan di tetapkan sebagai hari libur melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 22 Tahun 2020.

Seperti bersukaria dalam menyambut hal tersebut, dengan sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Kabupaten Indramayu juga tidak ketinggalan dalam konstelasi pilkada tersebut. Dengan empat pasangan calonnya dalam merebutkan tahta bupati pada periode berikutnya. Dengan Visi-Misi yang menurut penulis kuarang ‘sampai’ dengan apa yang akan terjadi dan apa yang sedang terjadi hari ini di lapangan, lalu dari Partai pengusungnya apa yang bisa di haarapkan? Sedangkan, Komisi PemberantasanKorupsi (KPK) tengah memanggil beberapa nama yang ada di jajaran pemkab Indramayu, namun bukan berarti pasangan independen juga tidak memiliki hal yang begitu kurang sinergis dengan apa yang terjadi dan akan terjadi nantinya. Kita lupakan sejenak soal pandemi Covid-19, namun kita jangan dulu abaikan UU CiptaKerja yang telah di sahkan kemarin sebab UU Ciptaker tersebut berkesinambungan dengan apa yang akan terjadi di depan. Berkat informasi yang berseliweran maka setidaknya bisa merekam how to make? Para calon kedepannya.   

Kita mulai telaah dari mana? Dari Pasangan calon dan juga visi-misinya; (paslon) urut 1 yang diusung oleh PKB, Demokrat, PKS, dan Hanura. Paslon urut 2 adalah perseorangan. Kemudian Paslon 3 diusung Golkar. Sedangkan terahir paslon 4 diusung PDI Perjuangan, Gerindra, dan Nasdem. Kita amati seksama apa ‘jualan’ para paslon tersebut sehingga kita yakin utuk memilihnya;

Paslon 1: Muhamad Sholihin, S.Sos.I dan dr. Ratnawati, M.K.K.K.

Visi: Mewujudkan Indramayu yang lebih baik, berkualitas, berkeadilan, dan pemerataan pembangunan untuk semua.

Misi;

1. Mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa melalui prinsip good governance.

2. Mewujudkan masyarakat yang religius, demokratis, dan berkeadilan.

3. Menggerakkan ekonomi lokal dengan prioritas mengentaskan kemiskinan dan kesenjangan (Pro Poor), menciptakan lapangan pekerjaan (Pro Job), mendorong pertumbuhan ekonomi (Pro Growth), dan berkomitmen terhadap lingkungan hidup (Pro Environment).

4. Menghadirkan kesehatan dan pendidikan yang terjangkau, murah, dan berkualitas.

5. Melakukan akselerasi dalam berbagai bidang pembangunan dengan memberikan perhatian khusus kepada partisipasi aktif perempuan dan milenial.

Paslon 2: Toto Sucartono dan Deis Handika

Visi: Membangun sinergitas kerja yang efektif dan efisien dengan semangat harmoni, transparan yang dilandasi nilai-nilai agamis berintegritas untuk mewujudkan percepatan pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan kualitas pelayanan umum untuk kesejahteraan masyarakat.

Misi: Menerapkan 5 (lima) langkah strategis dalam pembangunan Indramayu pada 25 bidang:

Pertanian, perikanan dan kelautan, peternakan, pariwisata, pemuda dan olah raga, seni dan budaya, perindustrian, perdagangan, kesehatan, pendidikan, kebersihan dan pertamanan, agama, sosial, ketenagakerjaan, pekerjaan umum, PSDA tambang dan energi, perizinan, kependudukan, pemberdayaan perempuan, ketahanan pangan, pemberdayaan masyarakat desa, kominfo, BUMD, BUMDes, dan kepegawaian/birokrasi.

Paslon 3: H. Daniel Mutaqien Syafiuddin, S.T. dan H. Taufik Hidayat, S.H.

Visi: Terwujudnya masyarakat Indramayu yang unggul, berdaya saing, maju, mandiri, dan sejahtera.

Misi; “Catur Karya Wangun Raharja” empat kebijakan strategis dalam mengelola masyarakat Indramayu:

1. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang bermutu dan berdaya saing.

2. Meningkatkan kemakmuran masyarakat melalui keselarasan industri, pertanian dan lingkungan hidup dengan prinsip kelembagaan ekonomi yang kuat, mandiri, dan berkeadilan.

3. Meningkatkan kualitas pelayanan publik dan infrastruktur dasar dengan berbasis pada desa tuntas.

4. Mendayagunakan potensi sumber daya alam dan geografis yang berbasis masyarakat dan budaya.

Paslon 4: Nina Agustina, S.H., M.H., dan Lucky Hakim

Visi: Indramayu bermartabat (bersih, religius, maju, adil, makmur, dan hebat).

Misi; Tujuh penataan mulia dan jaya:

1. Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang melayani, melindungi, bersih, bebas korupsi, kolusi, nepotisme, transparan, akuntabel, profesional, dan demokratis.

2. Peningkatan pelayanan kehidupan beragama, kepercayaan, pemahaman, dan pengamalan agama, serta kerukunan hidup antarumat beragama dan budaya dalam bingkai kebangsaan bhineka tunggal ika.

3. Terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan dalam jumlah kualitas yang memadai dan merata.

4. Meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang layak sebagai upaya penanggulangan kemiskinan melalui peningkatan sumber daya sehingga mampu berdikari.

5. Peningkatan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan pertumbuhan ekonomi.

6. Peningkatan pelaksanaan pembangunan di segala bidang sehingga terpenuhinya kebutuhan masyarakat secara adil dan merata.

7. Mewujudkan Indramayu sebagai daerah yang unggul dan memiliki daya saing melalui kemandirian ekonomi berbasis sumber daya alam dan pengembangan industri pertanian, perikanan, dan migas.

Dari pembacaan di atas, satu demi satu lalu kemudian kita komparasikan dengan apa yang ada di lapangan maka hal ini jelas menjadi timpang, jika tidak absurd. Pada saat Debat Paslon saja memang sudah memiliki aftinitas sama sekali dengan apa yang terjadi saat ini, apalagi jika berbucara soal SDM dan SDA di Indramayu.  

Hal ini terutama sekali menyangkut kedaulatan pangan terutama sektor agrari dan bahari. Mengingat luas wilayah yang mencapai 209.942 hektare dengan panjang garis pantai mencapai 147 kilometer hal ini di supoort dengan fasilitas yang telah ada di kabupaten tetanga seperti Tol Cipali, Bandara Internasional JawaBarat (BIJB) dan juga Pelabuhan Patimban.

Maka mega proyek Segi Tiga Rebana atau Kawasan RebanaMetropolitan telah deal akan di memberikan tanah seluas 20 ribu hektare sebagai kawasan peruntukan industri (KPI). Kawasan KPI ini tersebar di 10 kecamatan; Kecamatan Balongan 1.438 Hektar, Krangkeng 3.507 Hektar, Losarang 4.523 Hektar, Kandanghaur 2.025 Hektar, Patrol 1.385 Hektar, Sukra 2.814 Hektar, Juntinyuat 643,1 Hektar, Tukdana 664,7 Hektar, Terisi 1.379 Hektar, serta Gantar 1.574 Hektar.

Dalam pembangunan infrastrutur saja, saat ini JICA dengan cara loannya ‘membantu’ dalam proyek PLTU dan juga dalam ‘mengupgrade’ irigasi, meski banyak sekali di temukan kejangggalan, mulai dari papan informasi yang tidak mencantumkan besaran dana hingga program Padat Karya yang ternyata tidak mendayagunakan masyarakat setempat sepenuhnya. Persoalan yang tidak kalah urgennya ialah selain persoalan pupuk yang selama ini menjadi tabu – apalgi pupuk bersubsidi, lebih krusialnya ialah persoalan harga padi yang terus stagnan dan sudah tentu kontras dengan produksinya. Lalu  dengan apa yang pasangan calon beberkan menjadi sangat janggal. Atau jangan-jangan hanya sebatas misi sebagai brand ambasador yang di jual oleh Tim Sukses (timses) yang tak ayalnya seorang agen marketing, pada ahirnya para timses itu saja yang sejahtera? Apa bedanya dengan pelanggengan nepotisme serta perpanjangan tangan dari oligarki? Timses itu sebagaiman seperti kalimat M. Bakunin dalam God & State-nya; orang yang diberi hak previlege, baik secara politik maupun ekonomi, adalah orang yang rusak pikiran dan hatinya.  

Meskipun pada 2030 nanti Pemda Jabar berupaya meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi hingga 10 persen, pertumbuhan nilai investasi hingga 17 persen, dan menciptakan kurang lebih 4,3 juta lapangan pekerjaan baru. Namun kita liat di lapangan saat ini, yang bekerja tidak sepenuhnya rakyat Indramayu, melainkan dari daerah lain. Dengan istilah ADM hingga ‘wong dewek’ yang sampai hari ini membuat Indramayu terus di ‘jauhi’ oleh para pencari pekerjanya. Jika menyoroti detail persoalan yang akan di hadapi para calon, dari mulai 'kekonyolan' birokrasi, TKI hingga stigma soal prostitusi maka entah bagaimana persoalan yang sudah mejadi tradisi tersebut bisa di atasi.  

            Para paslon atau para timses hanya bergeliat di tataran retorika yang setalah kekalahan atau kemenangan entah ‘populisme’ model apalagi yang hendak di bangun. Setalah pemenangan yang ada hanyalah berbagi kuasa dan mencengkram cakar kekuasaannya, seperti yang sudah-sudah. Persoalan masyarakat adalah persoalan lain, yang masyarakat itu sendiri yang harus memiliki sikap, ini berangkat dari faktor empiris yang memang dalam tatanan birokrasi kita tiada lain adalah birokrasi amplop (baca; jatah preman), serta dominasi geografis. Lantas bagaimana kami, rakyat, percaya dengan visi-misi yang di pasang dalam spanduk juga poster virtual?. Sama sekali tidak apik apalagi heroik dengan bertebarannya poster dan juga spanduk tersebut, sebaliknya, hal itu tidak jauh berbeda dengan apa yang biasa di katakan sebagai vandalisme.

Jadi sebenarnya kita sedang memperjuangkan apa? Siapa yang kita perjuangkan jika selama ini hanya berlabuh pada sebuah “alat kapitalisme”? kita seperti di adu dengan adanya konstelasi tersebut, dengan fanatisme yang mendarah daging hanya demi sebuah 'amplop' tanpa jaminan apa-apa pada hari mendatang. Algemeen Kiesrecht atau hak memilih bagi setiap orang, juga telah terkooptasi dengan terbiasanya money politic serta zonasi program. Lalu sebenarnya adakah pemilih yang merdeka? Atau dalam bahasa Tan Malaka evenredige vertegenwoordiging, ialah pemilih yang tanpa ‘embel-embel’ sebab ia mau memilih.  

Jangankan jaminan di masa mendatang, malah kita sudah mengetahui bahawa dengan mega proyek itu saja berapa ribu atau bahka juta rakyat Indramayu yang akan kehilangan pekerjaannya, atau malah menciptakan penganngguran baru (baca; pengangguran struktural). 


Apa yang hendak di harapkan dari sebuah konstelasi sekelas Pilkada jika di dalamnya terdapat sesuatu yang janggal juga membahayakan, dalam hal ini sudah barang tentua dalah wabah Covid-19 yang disinyalir belum berahir bahkan dalam beberapa minggu terakhir angkanya terus mengalami lonjakan di setiap daerah.

Seperti memaksakan kehendak atau arogansi kekuasaan jika di perhatikan, pasalnya dengan angka yang cukup dramatis namun konstelasi terus berjalan dinamis. Bukan saja soal jaminan atas kepastian dari kesehatan masyarakat yang akanmenjalani ‘pesta demokrasi’ yang juga sudah pasti mengumpulkan banyak massa. Dari mulai pendaftaran di kantor KPU saja sudah seperti yang sudah-sudah, bahkan hari ini kampanye berlangsung sedikit megah.

Dalam hal ini terdapat instruksi semacam protokol kesehatan yang sudah di canangkan, namun pada praktiknya di lapangan seperti jauh panggang dari padaapi. Protokol kesehatan di tabrak dan seperti laiknya konstelasi yang sudah-sudah, semerawut dan urakan. Tanpa mengindahkan sebuah instruksi maka apa-apa yang menjadi aturan tiba-tiba terkesan paradoks. Pemilu bisa menjadi klaster baru dalam pandemi meskipun hal ini di tampik oleh mereka yang berkepentingan dalam pilkada tersebut.

Di Indramayu sendiri berseliweran berita yang mengabarkan soal pelanggaran protokol yang dilakukan oleh pasangan calon (paslon). Seperti kampanye bermuka perlombaan atau bahkan kampanye secara langsung. Sedangkan Diskominfo Indramayus endiri mengabarkan perhari jum’at 02 Oktober 2020 bahwa; terkonfirmasi 187 orang (+3), meninggal 10 orang, sembuh 121 dandalamperawatan 56.Inijuga di perkuat dengan petasebaran Covid-19 pada akhir September 2020 bahwa; terdapat 20 zona merah, 7 zona orange, 4 zona hijau dan 0 zona kinung. Dari data di atas dapat terlihat bahwa Indramayu masih dalam zona berbahaya dalam angka penyebarannya.

Soal standar kesehatan siapa yang bisa menjamin?, apakah APD dan Protokol kesehatan yang nantinya terpasang pada setiap TPS bisa memastikan kesehatan para pemilih?. Lalu siapa yang menjamin keamanan dari rasa cemas daripandemi seperti hari ini?. Simpatisan, terutama kader partai pengusung atau juga timsesnya atau soal akumulasi suara, bukan jaminan rasa aman para pemilik suara itu sendiri.

Urgensi pelaksanaan Pilkada nampaknya menjadi sebuah libido kekuasaan yang menjadikan posisi rakyat pemilih menjadi korban atas 'pesta demokrasi' tersebut. Pasalnya rakyat hanya menjadi objek atas libido kekuasaan yang kian hari kian tak berarah, jargon cuma sekedar jargon, yang pada hari esok akan melunak begitu saja, seiring 'pesanan' yang berdatangan sesudah investasi. Jadi lupakan saja hal-hal yang meninabobokan kepentingan rakyat di masa depan.

Tolok ukur infrastruktur kadang menjadi barometer suksesi atas apa yang di lakukan seorang pemimpin, begitu kira-kira yang sering di jadikan sebuah penghargaan atas sebuah suksesi pembangunan. Hal ini tentu menjadi sebuah paradoks atas sebuah pembangunan manusia atau SDM yang selama ini menjadi persoalan urgen di daerah. Barangkali pembanguan manusia di daerah itu juga di laksanakan, akantetapi di laksanakan dengan keep silent dengan para tim suksesnya, melalui program ini dan itu. Siapa yang di untungkan atas pilkada dalam kondisi seperti saat ini? Sudah pasti timses, simpatisan serta broker politik yang licin.

Menjadi absurd jika Pilkada di laksanakan dalam kondisi pandemi seperti hari ini, lantas bagaimana dengan kondisi desa dalam masa pilkada? Pemasangan APK yang semerawut hingga deal to deal para kepala desa, sebagai simbiosa atas suksesi salah satu calon yang akan di menangkan oleh perangkat desa dengan segala manuvernya. Contoh kecil dari deal to deal tersbut ialah distribusi mobil siaga yang tidak merata, tidak semua desa mendapatkannya.

Persoalan desa memang tidak sekompleks dengan apa yang terjadi di kota yang memiliki jumlah populasi penduduk lebih banyak dari desa, akantetapi desa dalam konteks ini merupakan tonggak pendulangan suara. Berbagai kebijakan yang menggiring penduduk untuk mendominasi salah satu calon sering terjadi, mengapa sebab? Jawabannya sudah barang tentu kebijakan daerah yang mementingkan segelintir orang dalam pola relasi kekuasaannya, maka deal to deal terjadi.

Persoalan desa bukan hanya soal infrastruktur semata, lebih dari itu desa juga setidaknya tidak di stigmakan dengan pertanian semata, sebab potensi desa yang sering luput, bahkan di abaikan, jika dalam tak terdapat afinitas di dalam jajaran birokratisnya sehingga roda perekonomian desa hanya berkutat pada sektor pertanian semata. Dan dalam hal Pilkada, bujuk rayu paslon ketika di desa adalah, lagi-lagi, soal infrastruktur. Padahal yang hari yang dibutuhkan oleh petani ialah kesinambungan harga antara produksi yang tidak berbanding lurus dengan laba. Tapi itu sama sekali tidak di singgung dalam kampanye-kampanye pada umumnya.

Tidak ada yang lebih menggiurkan dari pada Pilkada. Kesehatan, kesejahteraan apalagi menyoal adil, adalah term yang jauh dalam praktik kekuasaan, sehingga pola yang sama terus berulang. Pada hari ini yang seharusnua menjadi fokus pertama dalam kinerja pemerintahan ialah penanganan sebaran pandemi dengan upaya semaksimal mungkin bukan sebaliknya, hanya libido kuasa yang meraksasa.

Tanggal 05 Oktober 2020, Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law resmi di sahkan DPR pada malam hari, terkesan terburu-buru dan belum melalui berbagai uji materi yang melibatkan banyak ahli di dalamnya. Lalu korelasinya dengan pilkada ialah terbukanya celah bagi koruptor dalam semua aspek yang justru hal ini di tamengi oleh Undang-undang tersebut, terutama sekali ialah konflik agraria yang kerapkali terjadi dalam satu dekade ke balakang, hal ini justru menjadikan Omnibus Law menjadi peluang empuk para pemegang tampuk kekuasaan, terlebih lagi hal ini di topang oleh fraksi partai yang juga jelas ikut andil di dalamnya.  Meskipun gelombang protes  terjadi pada tanggal 08 Oktober kemarin para wakil daerah juga ketua DPR memberikan pernyataan di depan para demonstran dengan menandatanganinya secara langsung namun bukan berarti ini adalah sebuah kemenangan, namun lebih kepada upaya meredam amuk massa. 

Jadi dalam konstelasi Pilkada yang terus bergulir di atas segalanya sudah jelas menjadikan momentum Pilkada ialah sebuah ambisiusme politik di dalamnya, dengan dalih penyebaran Covid-19 maka banyak yang di rugikan karenanya, namun ‘pesta pilkada’ terus berjalan tanpa protokol kesehatan sam sekali, apa ini bukan sebuah lelucon? Benar bahwa suara rakyat hanya di perlukan untuk kotak suara bukan untuk sebuah kebijakan.


Ilustrasi Generasi Pengekor. Sumber Google

Lelahku lelahmu tertulis dalam buku
Menambah cerita yang di baca fajar
Lelahku lelahmu tertulis dalam buku
Ku petik buah ilmu dari perjalanan
Lelahku lelahmu bukan pemagar jalan - Pena Bertinta Api


Coretan

Satu gubahan dari grup musik punk-rock Romi & the Jahat mengawali tulisan kecil ini, dari sebuah perjalanan terjal, onak dan tentu berduri dalam menenbus batas persepsi yang dalam hal ini adalah belajar menjadi pemuda yang berbeda, kebetulan terlahir dari desa dan mencoba menghidupi desa.

Membaca sebuah zaman adalah juga membaca sebuah generasi, kaum muda adalah kunci, dari generasi tersebut. Menikmati desa bukan berarti juga tenggelam dalam sepoinya angin dan rindangnya pepohonan, kejelian serta sikap kritis harus terus tertanam dalam bumi desa, terlebih pada generasi mudanya. Kita bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa tanpa melakukan apapun. Semua persoalan desa memang bukan hanya persoalan pemerintahannya, semua elemen masyarakat terlibat di dalamnya dan menentukan nasibnya sendiri (self determination), kemana arah langkah desa? Maju ataukah terbelakang dengan tetangga. Sejatinya dimanapun desa tidak ada yang miskin kecuali di miskinkan.

Melihat Sumber Daya manusia desa adalah anugerah, bukan karena tabu atau bahkan bodoh. Namun mereka adalah manusia yang bisa menerima takdir dengan mudah tanpa ba-bi-bu, kemudan kaum mudanya yang terjebak oleh sistem industri telah memaksa mereka berhijrah atau urbanisasi dengan tujuan perbaikan ekonomi keluarga. Begitu saangat di sayangkan, potensi yang di desa terabaikan begitu saja, Sumber Daya Alam yang melimpah menjadi previlige bagi segelintir orang yang ‘pintar’ dalam merekayasa harga.

Dalam prakata dari sebuah buku karya Ian Douglas Wilson dikatakan bahwa ‘spanduk yang mereka gantung di gapura setempat menegaskan monolpoli kewilayahan’.[1]Bagaimana dengan sikap politik kaum muda hari ini? Menentukan arah desa yang kedepannya dapat mandiri dan berdikari sehingga terciptanya sirkulasi ekonomi yang menopang roda perekonomian desa.Master piece sebuah desa adalah pemuda, pemuda yang bisa di andalkan dalam segala medan, pemuda yang siap pakai dalam segala keperluan serta menyangkut hajat hidup orang banyak. Pemuda yang progres dan bukan pemuda yang nyaman dengan keadaan, dan pasrah pada lintasan takdir semata, siap membaur dan sealu berbaur dengan situasi yang up to datemeskipun dalam lingkup desa.

Tonkat estafet dalam sebuah regenerasi harus siap di laksanakan, meski dalam kurun belakangan masih ‘di pandang sebelah mata’ namun esok adalah kejutan yang kan menjadi keniscayaan. Jika hari ini pemuda hanya memupuk kebencian terhadap sebuah sistem maka dalam pola politik demkratis mafhum di sebut oposisi, pemuda oposan – lagi-lagi nyaman dengan cacian serta cibiran tanpa melakukan apapun.
Menjadi pemuda yang mendayagunakan segala potensinya bukanlah sesuatu yang mudah, oleh sebabnya ganjaran setimpal pada masa tua ialah feed back dari masa mudanya, jangan dulu bermain aman sebelum selesai masa mudamu dan jangan menyerah atau berdamai dengan kenyataan, semua proses adalah kepahitan yang setiap orang enggan melakoninya. Lakukan dan jadilah yang berbeda.

Pemuda Desa Secara Global

Menjadi pemuda desa yang memiliki ruang gerak yang bebas adalah hal yang di dambakan semua 
pemuda, memiliki akes yang tak terbatas pada setiap lini, serta dapatmemanfaatkan segala sesuatu sehingga bernilai, terlebih lagi jika itu adalah nilai ekonomis. Sudah barang tentu pemuda begitu di elu-elukan oleh masyarakatnya. Sebab bagaimanapun ekonomi adalah sendi krusial dalam sebuah masyarakat. Dimulai dari produksi, distribusi, konsumsi, reproduksi higga tercipta sirkulasi ekonomi yang berkelanjutan pada sebuah desa – desa Madani.

Pemuda yang menurut Ben Anderson ialah sebuah tahap tersendiri dari sebuah busur kehidupan antara masa kanak-kanak dan dewasa. Hingga reduksi makna tersebut terbagi dalam empat fase; kanak-kanak, muda, dewasa dan usia lanjut.[2]Kemudian tersudahinya masa kanak-kanak menuju dewasa (remaja) adalah tradisi sunatan – dalam masyarakat jawa kuno. Dalam kurun waktu belakangan pemuda sering disebut dengan kata milenial, atau generasi yang melek akan teknologi, atau bisa dikatakan adalah generasi milenium kedua. Pun dalam hal ini tidak lepas dari peran teknonologi yang terus menjadikan pemuda sebagai brand ambasadorpada sebuah masyarakat. Maka di sini pemuda berperan secara signifikan, memiliki kontribusi yang lebih serta memiliki akses unlimiteduntuk kebaikan yang bersifat universal.

Dan di atas adalah sebuah ilustrasi yang dapat di katakan utopian. Terlebih ketika pemuda, desa khusunya, adalah desa yang terus melanggengkan budaya basa-basi, mengukuhkan status-quo hingga masih bercokolnya warisan feodalistik. Hari ini adalah pemuda desa, terlebih yang mengenyam pendidikan tinggi, adalah pemuda yang kurang bernyali dalam survive-nya. Pemuda yang bergandengan dengan partai, ormas, LSM – organisasi karir, adalah hal yang di gandrungi bagi mereka yang pernah ‘memakan bangku sekolah’. Maka pemuda desa orisinil adalah dapat di bedakan menurut pendidikannya, bahkan dengan corak pekerjaannya, secara pragmatis. Pemuda yang dengan pekerjaan kasar adalah mereka yang berpendidikan rendah dan sebaliknya. Mudah terkotakkan oleh status-quo. Sejalan dengan kata Tan Malaka dalam Semangat Muda-nya, “insaflah bahwa pengetahuan itu kekuasaan”.[3]

Desa dan Pemuda memang dua terinologi yang berbeda sama sekali. Desa yang menurut Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI.[4] Jika definisi tersebut kita reduksi maka Pemuda Desa ialah pemuda memiliki peranan aktif dalam masyarakat, yang tentu saja bukan hanya meliputi wilayah geografis serta demografis semata. Namun dalam wilayah sosial, budaya dan terutama sekali adalah ekonomi.  Namun melihat indikasi di atas, maka apa yang di harapkan dari Pemuda Desa? Tergerus dalam arus mainstream, menjadi sama sekali tidak berbeda dengan pendahulunya. Hanya meneruskan status-quo. Pemuda yang sudah barang tentu memiliki visi yang lain dengan generasi yang terdahulu adalah mengeman misi yang juga berbeda, kontekstualisasi zaman orang mengatakan. Namun kepentingan (baca; politik) seringkali menjadi batu sandungan serta pelanggengan akan warisan-warisan kepentingan tersebut. Lalu bagaimana peranan Pemuda Desa dalam mengaktualisasikan zaman jika pelangengan budaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme saja belum usai?

Peranan yang signifikan atau memiliki signifikansi pun belum mampu membuka jalan berkelanjutan pada sebuah desa. Desa dengan pemerintahan serta lembaga di dalamnya masih konsisten memelihara tradisi lama dengan lingkar oligarkisnya masih bercokol dalam lembaga-lembaga yang semestinya telah melakukan satu estafet dalam menlanjutkan segala programnya, tiada adanya konsep la carriere overte aux talents (karier terbuka luas bagi mereka yang berbakat dan berkompetensi). Mengingat pemuda yang aktif di desa (baca; aktifis) pun berangkat dari sebuah karir maka sebelum karir tertingginya belum tercapai maka bahasa rakyat bisa di gunakan, selamis mungkin. Kemudian menyinggung oligaris juga nepotismenya, maka perbedaan sebuah lembaga dan benang bisnis telah juga menjadi kabur, hal ini seperti halnya familisme yang di aplikasikan oleh kebudayaan Cina. Familisme yang begitu ketara pada kehidupan bisnis Cina memiliki akar yang kuat dalam kebudayaan Cina, maka disanalah kita harus memahami karakteristik-karakteristiknya yang unik.[5]Maka dapat kita asumsikan bahwa memang pemerintahan desa serta lembaga hanya di huni oleh orang itu-itu saja, generasi tua. Kaum mudanya ‘main-aman’ dengan hanya pada satu titik poin, lembaga selevel karang taruna – tempat pemuda aktif desa.

Seperti tidak ada tempat bagi pemuda aktif desa kecuali karang taruna, dan mindset tersebut telah lama terpatri dalam benak masyarakat, apalagi golongan tua. Seperti jenjang karier memang, dan inilah desa. Pemudanya aman pada satu level dan yang tuanya tidak mau mengalah. Maka perebutan kekuasaan pun tetap di dominasi oleh kaum tua, dengan cara kolot namun terstruktur, massif dan sistematis. Dalam konteks pemilihan kepala desa (pilwu) bukan barang baru apabila calon kuwu mendekati anak muda dengan membawakan fasilitas olahraga, yang sudah pasti di tukar dengan suara dukungan. Belum menemukan formulasi jitu, maka cara primitif pun masih dianggap bermutu. Dan memang, demokrasi masih terbilang langka apabila berbicara pemilihan di level desa, meskipun pilwu yang di ‘sponsori’ oleh centeng-centeng desa juga ‘di awasi’ pemerintah daerah hinga kecamatan – bukan berarti tidak ada kecurangan.

Kehadiran pemuda dalam pilwu memang di perlukan, dalam hal ‘team horre’ terutama sekali pada masa mengawal janji-janji palsu (baca; kampanye), dan di bayar tidak seberapa. Selebihnya peran pemuda yang bisa mengorganisir di posisikan sebagai tim pemenangan (Jawa; cucuk), juga tidak luput dari janji manis atas jabatan nantinya. Hal ini lumrah terjadi, megingat status-quo masih bertengger di benak masyarakatkita. Maka seperti yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun dalam Mukaddimah-nya bahwa ‘kita sesungguhnya adalah anak dari sebuah kebudayaan’ adalah benar adanya. Kita dan masyarakat adalah satu sekian banyaknya produk budaya. Pikiran kita bisa terasah apabila kita berada dalam lingkungan akademis atau kritis, kita bisa bisa bekerja dengan cekatan apabila kita berada di tengah masyarakat yang memiliki etos kerja yang tinggi. Dan di desa masyarakatnya mengikuti iklim yang ada di dalamnya; tenang, nyaman dan menerima apa yang ada.

Persoalan

Istilah milenial diatas memang ambigu jika di sandingkan dengan persoalan-persoalan kompleks yang terus menguras marwah desa sebagai mestinya, merusak tatanan hingga degradasi kobaran semangat pemudanya. Bagaimana melangkah mendobrak atau melakukan perbaikan-perbaikan kecil, sebelum melakukan perbaikan secara menyeluruh. Memang teknologi, setidaknya memudahkan akses, membelah batas desa dan kota. Akantetapi, untuk apa teknologi di tangan manusia bermetal kacung, yang hanya tunduk pada materi dan takut mencoba hal-hal yang baru – main aman. Pendidikan yang enyam oleh pemuda era 2000an minimal sekali adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) atau yang sederajat, Diploma bahkan strata satu (S1), namun pendidikan tinggi pun tidak menjamin sebuah perbahan yang signifikan. Maka tidaklah mungkin memisahkan antara satu dengan yang lainnya, karena penyelenggaraan pendidikan pasti berkaitan dengan pengetahuan dan gerakan sosial yang radikal.[6]Akantetapi pemuda hari belakangan adalah pemuda yang pandai berkomentar tanpa menganalisa apa yang setidaknya ‘benar’, pandai menegaluh tanpa menampik budaya tangan berpangkuh. Wal hasil stagnan, tidak berimbas sama sekali kecuali dinding beranda yang mengotori sosial media.

Bisa di benarkan apa yang Rocky Gerung katakan, ‘ijazah itu tanda bahwa kamu pernah bersekolah bukan tanda kamu pernah belajar’. Selorohannya adalah tanparan keras bagi yang tadi, memuja materi, terlebih tahta. Sekolah atau instansi apapun yang menunjang anak-anak desa dalam mencari ilmu, di desa, kadang juga tak terlepas dari persoalan KKN seperti di atas. Bagaimana tidak, saat ini yayasan yang menyediakan ruang belajar bagi generasi mendatang telah juga dikotori oleh segelintir okum yang menjadikan yayasan semacam money loundrypencucian uang, lumbung rupiah dan di mainkan oleh juga orang itu-itu saja. 

Despotisme Baru serta bagaimana menghindarinya? Yaitu dengan merebut pendidikan dari cengkraman monopoli kelas-kelas tertentu dan menjadikan pendidikan dapat diakses dan tersedia secara adil bagi semua orang.[7]Kemudian bagaimana korelasi antara yayasan dengan pendidikan juga kaum muda desa?Kaum muda berpendidikan yang tidak memilih untuk merantau biasanya ikut serta dalam sebuah yayasan atau instansi pendidikan yang ada di desa tersebut, namun dengan mental kacungnya maka, segala penyelewengan serta pembiaran akan hal-hal yang kurang cakap, terutama persoalan keuangan dalam yayasan tersebut hanya di biarkan begitu saja. Meski menyandang gelar sarjana, dengan labeling‘pak guru’ oleh masyarakat yang sudah mafhum, namun tetap, bahwa instansi pendidikan hari ini adalah tidak jauh dari tempat mendulang pundi-pundi rupiah – bukan bengkel yang bisa meng up grade peserta didiknya. De materieele onderbouw bapaalt den geestelyken bovenbouwatau ‘bahwa keadaan itulah yang menentukan semangat’, [8] menjadi semakin relevan dalam mengawal semangat acuh bahkan apatisnya generasi muda dengan sengkarut persoalan yang ada di depan matanya.

Kemudian problematis yang juga tidak kalah menariknya dalam skema kaum muda desa ialah soal ‘jatah preman’ atau potongan dari penghasilan untuk Partai, Organisasi, Ormas bahkan LSM atau dimanapun tempat ia ‘di usahakan’ merupakan hal yang dianggap wajar oleh sebagian besar kaum muda milenial desa. Hal ‘kacangan’ ini sering kita jumpai dalam open recruitmen yang di selenggarakan oleh tingkat kementrian hingga daerah, dan istilah ‘orang dalam’ bisa menutupi kualitas calon pekerja dari instansi-instansi yang membukaopen recruitmen tersebut. Maka tidak heran bila orang yang berada di kantor-kantor yang memiliki entitas langsung dengan masyarakat kerjanya asal-asalan. Potensi serta mimpi anak muda desa yang ingin mengubah tatanan birokrasi rumit itu telah begitu saja terkubur oleh selorohan ‘ADM’ dan ‘orang dalam’. Lalu apalagi yang diharap dari rumitnya skema hidup di desa, terlebih lagi jika kita dalam usia muda dengan kobaran api semangat yang meluap-luap?.

Pelanggengan-pelanggenangan pendindasan nonverbal (baca; sistem) begitu nyata di depan mata. Kita tidak dapat melakukan sesuatupun tekecuali seperti apa yang dilakukan oleh orang dengan usia renta – mengeluh dan menyerah. Bebicara takdir adalah berbicara garis hidup yang di tetapkan, tentu terdapat takdir yang dapat kita ubah dan yang konstan, dan jika berbicara sebuah penindasan sistem yang terstruktur maka juga kita berbicara kekuatan yang terstruktur juga. Melawan arus dan tidak selalu di ‘zona nyaman’ ketika muda adalah kunci. Sebab masa muda adalah masa yang akan menentukan kelak kita akan menjadi apa dan siapa di masa tua nanti, pemenang atau pecundang!.

Menjadikan desa sebagai counter juga sebagai subjek atas sebuah tindak-tanduk pemudanya sudah semestinya di lakukan oleh mereka yang telah memasuki masa yang berapi-api dan sudah seyogyanya melakukan sesuatu yang positif. Segala persoalan yang ada di desa memanglah belum apa-apa jika di komparasikan dengan persoalan yang di hadapi oleh masyarakat perkotaan, segudang masalah di depan mata, mulai dari sampah rumah tangga hingga sampah masyarakatnya sendiri. Desa dengan cakupan geografis yang flesibel namun jumlah penduduknya terbilang sedikit jika di banding kota, maka persoalan yang di hadapinya pun tidak serumit kota. Hanya saja kaum mudanya mau bergerak atau hanya nyaman berpangku tangan. Jika sampai titik nadir desa diambang krisis maka kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemangku kebijakan, kenapa, sebab peran serta masyarakat pun sangat di butauhkan di sini, sebagai agen kontol atas sebuah pemerintahan dan juga sebagai unsur yang tidak bisa tidak – harus ada dalam membangun sebuah masyarakat yang demokratis.

Lantas bagaimana dengan persoalan intimidasi yang kerapkali menjadi bunga atas iklim demokrasi, di desa terutama. Kaum muda berlomba-lomba dalam membuat satu kotak diantara kotak-kotak lainnya, saling menjatuhkan serta saling silang pendapat tanpa satu pretensi sekalipun. Nampaknya pemilihan apapun jenisnya telah menjadikan masyarakat terpecah. Saling silang dan beradu kekuatan hingga bahkan darah harus berjatuhan diatas kepentingan segelintir orang. Ketidaknyamanan atas iklim intimidatif tersebut parahnya terus berulang-ulang seakan tiada ujung, belum adanya manuver pemersatu antara pemecah tersebut, sebaliknya malah melanggengkan, dan itu di klaim wajar oleh sebagian besar masyarakat. Selain alam intimidatif yang membuat riskan, juga di tambah kesemerautan data dalam data base yang sudah semestinya menjadi kunci atas kebijakan aliran bantuan yang di gelontorkan pemerintah terhadap rakyatnya, namun saling silang pendapat menjadikan nepotisme tidak bisa di hindari dalam kelumrahannya. Semuanya asal-asalan, adal jadi, asal kena dan asal bapak senang. Dan lagi, meskipun muda milenial yang dekat dengan IT bukan jaminan bahwa data menjadi satu kesatuan yang utuh, malah sebaliknya.

Krisis Kepercayaan

Siapa yang mau posisinya di geser, posisi yang menjanjikan dan tentu saja bernilai profit – apalagi oleh kaum muda. Namun, ‘jabatan seumur hidup’ memang ada di desa. Secara de facto ia eksis dan tak terbantahkan, asumsi sederhanya ialah bahwa orang yang memangku jabatan itu memang memiliki kualitas serta kreadibiltas yang memang sangat di perlukan sehingga belum di temukan ganti dari orang tersebut, meski menyalahi konstitusi namun pemangku kebijakan bisa ‘klik’ dengan orang tersebut maka siapa yang bisa membantah?

Pemuda hanya memiliki porsi yang terbatas dan sudah barang tetntu gerak yang terbatas pula, telebih dalam sebuah sistem, yang dalam hal ini adalah pengambilan kebijakan strategis desa. Maka bisa di pastikan sedikit sekali pemuda yang berperan aktif di dalamnya – apalagi yang kritis, maka pemuda yang pasif serta bermental kacung tentunya yang di ajak untuk berunding, bukan rapat, dan hanya bisa berkata ‘iya’. Gagasan serta ide-idenya di patahkan oleh kaum tua, dengan berbagai dalih pembenaran maka kaum muda tersingkirkan semua potensi dan dan gagasannya, yang hadir hanyalah jasad tanpa jiwanya. Maka jika hanya menunggu pada saat pemangku kekuasaan itu lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa, maka barulah estafet itu di berikan.[9]Memang tekesan lemah namun dalam realitasnya merupakan hal yang lumrah dalam skema lembaga desa.

Dan oleh sebabnya krisis kepercayaan adalah menjadi sebuah mercusuar dalam mewujudkan tatanan desa yang berdaulat, dengan tidak berpikiran terbuka, open minded, dari kaum tua dalam menyikapi isu aktual serta tindakan yang terkesan tidaklah kontekstual. Hingga mengapa krisis itu eksis dalam ruang-ruang kepercayaan pada sebuah tatanan desa ialah, tidak terbukanya kaum tua serta ego-sentris yang terus menjadikan desa semakin tak menentu arahnya. Setiap zaman memiliki cirinya masing-masing, dan zaman ini di cirikan dengan merebaknya teknologi dan sudah barang tentu kaum muda yang lebih memumpuni dalam hal ini. Alangkah bijaknya jika kaum tua hanya menyokong dan memberikan nasihat dari apa yang dilakukan oleh kaum muda desa, bukan malah menghentikan ide yang sedang membara. Tindakan politis serta kamuflase atas subjektifitas memaksa kaum muda pun berpikir non-logis, dalam istilahnya ‘kalah blenak’ merupakan manuver yang dapat memukul mundur musuh secara telak, dan memang kaum muda progresif selalu di hadapkan dengan subjektifitas, terlebih ‘okum’ pemangku kebijakan tersebut adalah kerabat ataupun tetangga dekat, maka siapa bisa mengelak?

Dalam segala lini, berpikir objektif menjadi barang mewah hari ini, terlebih semuanya beririsan dengan materi. Dapat di pastikan bahwa pertentangan serta moralitas di pertaruhkan pada saat itu juga, dengan ‘sebelah mata’ maka kaum tua cukup kuat dalam mereduksi ide-ide cemerlang dari kaum muda. Adakah yang objekif dari kaum tua dalam melakukan kinerjanya sehinga ketika di kritisi tidak naik pitam? Yang objektifnya adalah kita, kaum muda ‘di pandang sebelah mata’, sebab kaum tua mengasumsikan kritikan adalah serangan atas diri pribadinyabukan kinerjanya, maka marah dan menstereotip adalah dianggap solusi dalam menangkis kritik. Tidak profesial dan proporsional, mungkin.

Dengan segudang persoalan yang ada di desa ditambah dengan di redamnya arus pembaharuan pada sebuah desa maka lamat-lamat desa semakin tertinggal dan bisa jadi terpinggirkan oleh derasnya arus sebuah zaman.

Oposisi

Apakabar pergolakan politik desa? Dalam konteks keterbukaan informasi sudah seharusnya transparansi informasi di galakan, semuanya serba terbuka tidak ada yang tersbunyi barang sekecil apapun informasi, mafhum bahwa hari ini telah di tunjang oleh teknologi, terlebih dengan sosial medianya, sebagai penunjang sebuah pekerjaan. Menyelenggarakan sesuatu pun saat ini tidak perlu lagi menggunakan print out seperti halnya pada masa lalu, ckup dengan undangan digital dan sebar, meskipun menafikan budaya ‘atur-atur’ namun dalam skema politik yang sarat dengan pemerintahan maka hal ini adalah lumrah adanya.

Akantetapi dalam konsep transparansi yang di lakukan dalam sebuah desa adalah semi-transparan. Biaya anggaran atau APBDes adalah contoh konkrit dari hal ini, sebagai koreksi dan sebagai kontrol atas kinerja pemerintahan tentunya, dan hal ini belum lagi dengan transparansi yang menyangkut bantuan pemerintah, sudah sepatutnya transparansi itu ada. Maka dalam hal ini adalah celah bagi mereka, atau siapapun yang memulai karir perjuangan di desanya, apalgi dari pihak yang kalah dalam pencalonan kuwunya, magnum opus, dari mulai mengkritisi kinerja sampai mengutak-atik aggaran desa adalah tugas oposan. Pada kesempatan ini juga pemuda yang mulai membuka mata politiknya menjadi tertarik untuk ikut serta di dalamnya, bergabung dengan barisan oposisi, namun pemuda terkadang juga belum bisa memposisikan antara kebencian dan sikap kritis, jika mengkritisi maka membenci, meskipun kebencian adalah ketololan, aku yang meminum racun, tapiberharap orang lain yang mati.[10]

Dapat dikatakan bahwa oposan adalah mereka yang sakit hati dan satu diantara yang lainnya adalah kontrol terkuat dari sebuah kinerja pemerintahan yang berjalan. Dalam hal ini tidak ada kepastian bahwa ketika oposisi yang mengisi tampuk kekuasaan akan lebih baik, bisa jadi akan semakin kacau sebab iklim demokrasi kita masih di penuhi dengan cacian bukan karya nyata dari sebuah kerja. Iklim nasional hingga desa pun tidak jauh berbeda, penguasa dan oposisi. Lalu dimana posisi pemuda dalam pusara oposan seperti ini? Pemuda desa yang punya sikap politik, terlebih arah politiknya adalah pemuda yang dapat di katakan melek dengan realitas. Penindasan terstuktur dan pembodohan yang masif adalah alasan terkuat untuk menentukan arah politik desa ke depannya, namun mengamini oposan adalah juga memupuk kebodohan yang juga terstruktur, memengang kendali adalah pilihan paling tepat. 

Kendali politik desa adalah pemudanya, yang tua hanya bisa menikmati, itupun jika yang tua telah sadar akan posisinya yang semakin tergerus zaman.Kejujuran yang tidak melahirkan kebenaran hanya akan menjadi malapetaka.[11] Pada akhirnya posisi oposan juga tupang-tindih dalam roda arus demokrasi, bukan siapa yang kelak menjadi pemenang namun siap yang gigih memperjuangkan kepentingan orang banyak – begitulah politik. Buahnya adalah rasa pahit dan dampaknya adalah sebuah manfaat yang di nikmati oleh semua lapisan masyrakat.

Pemuda merdeka

Apa yang telah di tulis diatas adalah apa yang terjadi, realitas yang tak terbantahkan pada ruang lingkup desa dengan sengkarut persoalannya, dengan segudang telik-teliknya. Kata sulit dan frustasi dalam memperjuangkan segala sesuatu, meskipun yang paling dekat dengan perjuangan adalah kekecewaan dan korban pertama dari sebuah konflik adalah kebenaran. Bersiap kecewa adalah start pertama dalam perjuangan, semua yang terdapat dalam politik adalah bias dan absurd, penuh muslihat dan penuh dengan rekayasa. Lalu siapakah yang dapat bertahan dengan segala hal yang tak menguntungkan seperti ini? Dalam konteks ini ialah pemuda, namun bukan pemuda yang apatis terhadap lika-liku yang penuh drama ini.

Ruang hipokrit yang juga terselubung di dalamnya menambah peliknya persoalan yang di hadapi desa, ‘semakin maju sebuah peradaban maka semakin berat tantangannya’ begitu sang bijak bestari mengatakannya. Perlu pengorbanan yang mesti di pertaruhkan baik tenaga, waktu bahkan materi. Bukan tanpa maksud apa-apa akan tetapi semata-mata demi mewujudkan sebuah tatanan yang sering dikatakan utopia oleh banyak orang, namun setidaknya sudah pernah mengerti dan merasakan apa yang pernah di perjuangkan. Meskipun dapat dikatakan sia-sia namun pada hakikatnya tiada yang sia-sia sama sekali, sebab perjuangan hari ini adalah buah cerita di masa tua nanti dalam menggambarkan sebuah realitas. Sudah barang tentu harapan yang terus tertanam adalah lebih baiknya generasi muda di masa yang akan datang.

Bukan tidak mungkin dalam sebuah siklus waktu akan tiba masanya sebuah generasi yang dapat mendobrak satu sisi dari sekian banyaknya sisi yang bobrok dan munafik. Generasi yang di rindukan saat ini adalah pemuda yang punya sikap terhadap banyak pilihan, yang memiliki empati terhadap sesuatu yang keberlanjutan serta yang dapat mereduksi ego dengan sekuat-kuatnya, demi tercapainya sebuah mimpi.  Jika melihat potensi dalam setiap personnya maka rasa optimis akan sebuah perubahan ini muncul dengan sendirinya namun jika melihat batu sandungan yang telah di hadapi maka rasa frustasi tak luput dari ketidakpercayaan akan sebuah perubahan. Terpaan dan goncangan timbul begitu saja dalam mengawal sebuah proses menuju tatanan dunia yang lebih baik, dimulai dari penindasan yang sistemik hingga kebencian yang menjadi semacam pandemi.

Pemuda desa yang merdeka adalah mereka yang bisa memegang kendali atas apa yang terjadi dalam lingkungan sekitarnya, meskipun banyak hambatan serta rintangan namun dengan semangat tanpa pamrih, demi kemashlahatan bersama maka pola altruistik bukanlah menjadi soal ketika melakoninya. Memang kaum tua hanya tinggal menunggu waktu namun bukan berarti berpangku tangan dengan apa yang terjadi. Mendayagunakan potensi serta mengolah skil, dari berpikir, beretorika hingga melakukan aksi nyata dalam melakukan yang terbaik.

Menjadi pemuda juga menjadi diri sendiri, memiliki prinsip yang konkrit serta sikap yang lugas dan tegas, menjadi masyarakat lokal namun berfikir global, bagitu kata Gus Dur dalam selorohannya, kampung bukan berarti kampungan. Jika ruang berfikir memiliki titik kejumudan maka apagunanya anugerah terbesar yang semesta nerikan; akal?. Bukan semestinya juga tindakan serta cara berfikir seseorang dibatasi oleh sesuatu, terlebih hal itu merupakan sesuatu yang absah untuk di nalar jauh, mencari solusi atas sebuah persoalan, mencari titik atas apa yang di hadapi, baik personal maupun komunal. Gesekan yang terjadi dalam dinamika masa muda juga merupakan hal lumrah, namun bukan berarti menjadi cela untuk memperlebar jarak antar kaum muda.

Jalan Pintas

Mengenai tataran baru yang hendaknya di usung adalah bagaimana persoalan kaum muda desa membuat sebuah agenda politik dengan para pelaku politik secara langsung, kontrak politik, yang selama ini hanya memenuhi ruang imajiner kaum muda, terlebih ketika menghadapi persoalan yang menyangkut kebijakan strategis. Alam politik desa dengan corak oligarkisnya memang sudah membuat kecewa dari generasi ke generasi berikutnya seolah mata rantai yang sulit terputuskan. Semuanya terkotak-kotak dengan coraknya masing-masing. Oleh sebabnya agenda politik pembebasan dirasa perlu dalam menghadapi persoalan desa yang semakin kompleks. Bagaimana kaum muda mengambil peran serta berperan pada sisi-sisi kebijakan strategis menjadi semacam magnum opus dalam sebuah generasi, hal ini tentu bisa di jadikan suatu komparasi antara kaum muda dan tua yang saat ini mendominasi lini-lini strategis desa namun kental dengan coraknya.

Kontrak politik yang dibuat tidak serta merta mengesampingkan kepentingan-kepentingan masyarakat secara universal, melalui pemberdayaan kaum muda yang mengenyam pendidikan atau pun yang menggunakan pola empirik serta skilnya selama ini dalam menghidupi desa. Bahwa tidak bisa dipungkiri jika mereka yang tidak mengenyam pendidikan lanjutan pun memiliki mimpi yang sama dalam iklim politik desa, terutama sekali menyangkut kebijakan hingga kesejahteraan. Menjadi tua itu pasti namun bukan tua yang menyebalkan.


[1] Douglas Wilson, Ian. Politik Jatah Preman. Hal xi
[2] Anderson, Ben. Revolusi Pemoeda. Hal 22.
[3] Malaka, Tan. Semangat Muda. Hal 123.
[4]Kompas.com dengan judul"Desa: Definisi dan Unsurnya", https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/09/130000569/desa-definisi-dan-unsurnya. di akses pada hari selasa, 07 Juli 2020. Penulis : Nibras Nada Nailufar Editor : Nibras Nada Nailufar
[5] Fukuyama, Francis. Trust. Hal 118.
[6] Freire, Paulo. Politik Pendidikan. Hal 11.
[7] Bakunin, Mikhail. Tuhan Dan Negara. Hal 09.
[8] Malaka, Tan. Semangat Muda. Hal 86.
[9] Machiavelli, Nicolo. Il Prince. Hal 49.
[10] Pancaniti, Sanghyang Mughni. Perpustakaan-Dua-Kelamin. Hal 165.
[11]Ibid. Hal 160.
Diberdayakan oleh Blogger.