[ads-post]

Petani desa Mekarsari Patrol Indramayu/ Zam Zam Abdul Fakih


Masih membayangkan atas apa yang terjadi di Desa Wadas Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo tempo hari, lalu menyusul kejadian di Kasimbar, Parigi Moutong Sulawesi Tengah dalam upaya menolak aktivitas tambang yang ternyata menelan korban jiwa dan belum lepas dari ingatan atas deretan konflik agraria di Indramayu.

Sepanjang adanya upaya proyek di berbagai tempat maka pro dan kontra tak terhindarkan adanya, pro bagi mereka yang sepakat dan kontra sebab dualisme atas kesepakatan harga atau memang menolak dengan pola pikir keberlanjutan dimasa yang akan datang. Kemudian jika membicarakan sesuatu yang fundamental dalam hal ini adalah sebuah undang-undang maka Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan "bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional," sama sekali belum menjadi tolok ukur atas kemajuan bersama dalam sektor ekonomi yang berkelanjutan serta berkeadilan.

Kaitannya dengan hal ini, rencana atas mega proyek Segitiga Rebana atau Rebana Metropolitan yang sudah di rencanakan oleh Pemprov Jawa Barat dalam acara Java Investment Summit 2020 di Bandung, Senin, 16 November 2020 lalu. Jelas, terkoneksinya Bandara Internasional Jawa Barat (BJIB) Majalengka, Pelabuhan Patimban Subang dan Kawasan Industri di Indramayu, maka Segitiga Rebana membutuhkan banyak sekali lahan untuk perindustrian, perumahan dan yang lainnya, secara keseluruhan Segitiga Rebana memiliki wilayah yang paling luas dengan rincian; Kabupaten Cirebon memiliki luas 1.072,29 km persegi, Kabupaten Subang 2.051,76 km persegi, sedangkan Kabupaten Majalengka 1.204,24 km persegi. Jika digabungkan, total luas Segitiga Rebana mencapai 4.328,29 km persegi serta peruntukan wilayah khusus untuk proyeksi tersebut ialah 54,260ha. Dalam hal ini juga Indramayu telah disiapkan untuk menjadi Kawasan Peruntukan Industri (KPI) yang dalam hal ini telah disiapkan 20.000Ha lahan yang terdiri dari 31 Kecamatan, 8 Kelurahan dan 309 Desa. 10 Kecamatan yang ada di Indramayu. Diantaranya Kecamatan Balongan 1.438 Hektar, Krangkeng 3.507 Hektar, Losarang 4.523 Hektar, Kandanghaur 2.025 Hektar, Patrol 1.385 Hektar, Sukra 2.814 Hektar, Juntinyuat 643,1 Hektar, Tukdana 664,7 Hektar, Terisi 1.379 Hektar, serta Gantar 1.574 Hektar. 

Dari kisaran 20.000Ha lahan tersebut kita mafhum bahwa lahan di Indramayu merupakan lahan produktif yang digunakan untuk bercocok tanam, dalam hal ini ialah menunjang perekonomian dan proyek Segitiga Rebana yang di gadang-gadang akan menaikkan pertumbuhan ekonomi hingga 10 persen dengan nilai investasi sebanyak 17 persen ditambah dengan 4,3 juta penyerap tenaga kerja baru, di Indramayu sendiri hal itu merupakan sama sekali tidak logis dengan banyaknya siswa yang putus sekolah dan pendidikan rendah menjadikan mereka tidak memiliki daya saing dengan adanya rencana Segitiga Rebana pada 2030 nanti.

Sedangkan, mengutip data BPS yang menggunakan metode KSA (Kerangka Sampel Area), tercatat 25 Kabupaten di Indonesia sebagai produsen beras tertinggi tahun 2020 lalu. Peringkat satu (1) ialah Kabupaten Indramayu yang memiliki luas panen padi 226.626 hektare (ha) dan diperoleh produksi 1.363.312 ton Gabah Kering Giling (GKG) atau 782.132 ton beras. Hal itu jelas akan mengurangi nilai pendapatan yang disebabkan oleh berkurangnya 20.000Ha maka menjadi 206626Ha dan jargon 'Lumbung Padi' yang selama selama ini digaungkan menjadi terdistorsi dengan sendirinya.

Selain pendidikan yang rendah dan tidak memiliki daya saing, yang paling urgent dari hal ini adalah soal tanah yang merupakan tempat untuk menggantungkan perekonomian masyarakat di sektor agrari yang tulang punggungnya ialah pertanian dan perkebunan. Jika berkaca pada apa yang terjadi di Indramayu dengan kehadiran PLTU 2 menjadikan sistem biota laut yang kian memprihatinkan serta hilangnya mata pencaharian nelayan kecil di sekitaran Kecamatan Patrol tersebut. Maka dengan hadirnya Segitiga Rebana tersebut bukan tidak menutup kemungkinan akan kembali menuai konflik penolakan, dengan jumlah lahan yang tidak main-main dan jelas mengalihfungsikan lahan produktif dari 10 kecamatan di Indramayu menjadi zona industri. Sehingga dalam hal ini konflik horizontal tidak terhindarkan sama sekali.

Secara universal bagaimana konflik itu tercipta, dicipta dan menciptakan (konflik)? Lewis A. Coser (1913-2003) memandang bahwa terdapat dua macam konflik. Pertama konflik realistis; Konflik Realistis, yang berangkat dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada objek yang dianggap mengecewakan. Konflik non-realistis, ialah konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Jika di representasikan dalam kondisi sosial-ekonomi maka konflik horizontal yang akan terjadi ialah terpecahnya masyarakat kedalam 2 kelompok, pro dan kontra. 

Model mobilisasi dari Ganti Untung hingga euforia kesejahteraan berdalih terbukanya lapangan pekerjaan di kawasan Segitiga Rebana tersebut. Metalitas kita, tanpa membuang hipokrit sedikitpun bahwa masyarakat kita masih bermental 'calo', sehingga jika terjadi gesekan antara yang pro dan kontra atas proyek Segitiga Rebana, dan mereka yang menolak dengan alasan idealnya, mempertahankan ruang hidup dan keberlanjutan atas pangan dan selama ini telah merasa cukup atas apa yang didapat selama ini. Dan dalam hal ini adalah keterlibatan dari Lembaga Kepemudaan, LSM, Ormas bahkan Partai bisa terlibat sebab tidak mendapat 'tender' atas pilot project tersebut maka propaganda menjadi 'jalan terbaik' dari metode merongrong demi 'dalan pangan' yang menjanjikan itu.

Meskipun menurut Bappeda Provinsi Jawa Barat dalam merealisasikan rencana tersebut diperlukan investasi sebesar Rp 1.942 triliun dengan Indikasi sumber pembiayaan yang berangkat dari APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten, KPBU, BUMD, Swasta/BUMN. Dari hal ini jelas siapa yang akan untung dan buntung saat mega proyek Segitiga Rebana tersebut direalisasikan yang menyenangkan bagi taipan, petani kehilangan lahan, buruh terjepit dan broker bisa tersenyum lebar dengan fee kolaboratif atas proyek.

Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.