Apa yang hendak di harapkan dari sebuah konstelasi sekelas Pilkada jika di dalamnya terdapat sesuatu yang janggal juga membahayakan, dalam hal ini sudah barang tentua dalah wabah Covid-19 yang disinyalir belum berahir bahkan dalam beberapa minggu terakhir angkanya terus mengalami lonjakan di setiap daerah.
Seperti memaksakan kehendak atau arogansi kekuasaan jika di
perhatikan, pasalnya dengan angka yang cukup dramatis namun konstelasi terus berjalan
dinamis. Bukan saja soal jaminan atas kepastian dari kesehatan masyarakat yang
akanmenjalani ‘pesta demokrasi’ yang juga sudah pasti mengumpulkan banyak massa.
Dari mulai pendaftaran di kantor KPU saja sudah seperti yang sudah-sudah,
bahkan hari ini kampanye berlangsung sedikit megah.
Dalam hal ini terdapat instruksi semacam protokol kesehatan yang
sudah di canangkan, namun pada praktiknya di lapangan seperti jauh panggang dari
padaapi. Protokol kesehatan di tabrak dan seperti laiknya konstelasi yang
sudah-sudah, semerawut dan urakan. Tanpa mengindahkan sebuah instruksi maka apa-apa
yang menjadi aturan tiba-tiba terkesan paradoks. Pemilu bisa menjadi klaster baru
dalam pandemi meskipun hal ini di tampik oleh mereka yang berkepentingan dalam pilkada
tersebut.
Di Indramayu sendiri berseliweran berita yang mengabarkan soal pelanggaran
protokol yang dilakukan oleh pasangan calon (paslon). Seperti kampanye bermuka perlombaan
atau bahkan kampanye secara langsung. Sedangkan Diskominfo Indramayus endiri mengabarkan
perhari jum’at 02 Oktober 2020 bahwa; terkonfirmasi 187 orang (+3), meninggal
10 orang, sembuh 121 dandalamperawatan 56.Inijuga di perkuat dengan petasebaran
Covid-19 pada akhir September 2020 bahwa; terdapat 20 zona merah, 7 zona
orange, 4 zona hijau dan 0 zona kinung. Dari data di atas dapat terlihat bahwa Indramayu
masih dalam zona berbahaya dalam angka penyebarannya.
Soal standar kesehatan siapa yang bisa menjamin?, apakah APD dan Protokol
kesehatan yang nantinya terpasang pada setiap TPS bisa memastikan kesehatan para
pemilih?. Lalu siapa yang menjamin keamanan dari rasa cemas daripandemi seperti
hari ini?. Simpatisan, terutama kader partai pengusung atau juga timsesnya atau
soal akumulasi suara, bukan jaminan rasa aman para pemilik suara itu sendiri.
Urgensi pelaksanaan Pilkada nampaknya menjadi sebuah libido
kekuasaan yang menjadikan posisi rakyat pemilih menjadi korban atas 'pesta
demokrasi' tersebut. Pasalnya rakyat hanya menjadi objek atas libido kekuasaan
yang kian hari kian tak berarah, jargon cuma sekedar jargon, yang pada hari
esok akan melunak begitu saja, seiring 'pesanan' yang berdatangan sesudah
investasi. Jadi lupakan saja hal-hal yang meninabobokan kepentingan rakyat di
masa depan.
Tolok ukur infrastruktur kadang menjadi barometer suksesi atas apa
yang di lakukan seorang pemimpin, begitu kira-kira yang sering di jadikan
sebuah penghargaan atas sebuah suksesi pembangunan. Hal ini tentu menjadi
sebuah paradoks atas sebuah pembangunan manusia atau SDM yang selama ini
menjadi persoalan urgen di daerah. Barangkali pembanguan manusia di daerah itu
juga di laksanakan, akantetapi di laksanakan dengan keep silent dengan
para tim suksesnya, melalui program ini dan itu. Siapa yang di untungkan atas
pilkada dalam kondisi seperti saat ini? Sudah pasti timses, simpatisan serta
broker politik yang licin.
Menjadi absurd jika Pilkada di laksanakan dalam kondisi pandemi
seperti hari ini, lantas bagaimana dengan kondisi desa dalam masa pilkada?
Pemasangan APK yang semerawut hingga deal to deal para kepala desa,
sebagai simbiosa atas suksesi salah satu calon yang akan di menangkan oleh
perangkat desa dengan segala manuvernya. Contoh kecil dari deal to deal
tersbut ialah distribusi mobil siaga yang tidak merata, tidak semua desa
mendapatkannya.
Persoalan desa memang tidak sekompleks dengan apa yang terjadi di
kota yang memiliki jumlah populasi penduduk lebih banyak dari desa, akantetapi
desa dalam konteks ini merupakan tonggak pendulangan suara. Berbagai kebijakan
yang menggiring penduduk untuk mendominasi salah satu calon sering terjadi,
mengapa sebab? Jawabannya sudah barang tentu kebijakan daerah yang mementingkan
segelintir orang dalam pola relasi kekuasaannya, maka deal to deal
terjadi.
Persoalan desa bukan hanya soal infrastruktur semata, lebih dari
itu desa juga setidaknya tidak di stigmakan dengan pertanian semata, sebab
potensi desa yang sering luput, bahkan di abaikan, jika dalam tak terdapat
afinitas di dalam jajaran birokratisnya sehingga roda perekonomian desa hanya
berkutat pada sektor pertanian semata. Dan dalam hal Pilkada, bujuk rayu paslon
ketika di desa adalah, lagi-lagi, soal infrastruktur. Padahal yang hari yang
dibutuhkan oleh petani ialah kesinambungan harga antara produksi yang tidak
berbanding lurus dengan laba. Tapi itu sama sekali tidak di singgung dalam
kampanye-kampanye pada umumnya.
Tidak ada yang lebih menggiurkan dari pada Pilkada. Kesehatan,
kesejahteraan apalagi menyoal adil, adalah term yang jauh dalam praktik
kekuasaan, sehingga pola yang sama terus berulang. Pada hari ini yang seharusnua
menjadi fokus pertama dalam kinerja pemerintahan ialah penanganan sebaran
pandemi dengan upaya semaksimal mungkin bukan sebaliknya, hanya libido kuasa
yang meraksasa.
Tanggal 05 Oktober 2020, Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law
resmi di sahkan DPR pada malam hari, terkesan terburu-buru dan belum melalui
berbagai uji materi yang melibatkan banyak ahli di dalamnya. Lalu korelasinya
dengan pilkada ialah terbukanya celah bagi koruptor dalam semua aspek yang
justru hal ini di tamengi oleh Undang-undang tersebut, terutama sekali ialah
konflik agraria yang kerapkali terjadi dalam satu dekade ke balakang, hal ini
justru menjadikan Omnibus Law menjadi peluang empuk para pemegang tampuk
kekuasaan, terlebih lagi hal ini di topang oleh fraksi partai yang juga jelas
ikut andil di dalamnya. Meskipun
gelombang protes terjadi pada tanggal 08
Oktober kemarin para wakil daerah juga ketua DPR memberikan pernyataan di depan
para demonstran dengan menandatanganinya secara langsung namun bukan berarti
ini adalah sebuah kemenangan, namun lebih kepada upaya meredam amuk massa.
Posting Komentar