Desa terpencil, namun tidaklah terlepas dari koneksi provider semisal jaringan internet, desa
Madangkarya menjadi desa yang nyaman untuk beraktifitas, sebab jauh dari polusi
dan galaknya desing mesin, layaknya kota. Namun menjamurnya internet menjadikan
generasi milenial tumbuh, hingga setiap orang tak lagi harus pergi ke kota
barang sekedar menyaksikan sesuatu yang baru. Dengan hanya menggenggam
smartphone maka semuanya dapat di akses dengan cepat, terlebih dengan adanya
mesin pencarian seperti google, yahoo, bing dan yang serumpun dengannya. Semua
orang yang memilikinya dapat berinteraksi dengan orang yang sama sekali belum
di kenalnya di dunia nyata, sama halnya dengan apa yang terjadi pada Marni atau
juga dapat berkomunikasi dengn orang jauh dengannya, misalkan TKI. Kemudian
roda perekonomian juga tidak mau kalah berperan dalam dunia tak kasat mata itu,
transaksi online kini semakin marak hingga seorang yang tidak memiliki lahan
untuk membuka toko laiknya ritel konvensional, dapatlah berjualan dengan adanya
internet tersebut.
“mangan durung
dul” sapa seseorang yang dalam kepala dul hingga
membuatnya kaget.
“aih durung
mang, ikih lagi wedangan bae” jawab dul cengengesan.
“aih ya
mangan. Sing uis ya uis dul, aja nemen-nemen di pikiri” seloroh orang barusan sembari
mengayuh
sepedanya lengkap dengan cangkul di belakangnya hendak ke sawah.
Dengan seksama
dul melongo dan tersenyum kecil, tak menyangka ada yang membangunkan lamunan
pagi tanpa smartphone di sampingnya. Ia menggaruk kepala namun tak sedikitpun
merasa gatal. Lamunannya masih konsisten dengan apa yang semalam di
bicarakannya dengan Rudi; gadis sendu bermotor beat. Maka ia angkat lagi teh
tubruknya yang masih menyisakan uap hingga tak lama kemudia ia kembali ke
kamarnya untuk mengambil roko Apache sisa semalam.
“dul abdul,
bocah ganteng dewek” suara
Rudi terdengar olehnya.
“iya rud, ko
dipit lagi gulati udud. Mbuh kesingsal mendi kanah mau bengi kah” jawab Dul dari dalam.
“cuan gah di
udud tikus maning” Rudi
menimpalinya dengan santai dan tak lupa mencicipi teh
buatan dul yang masih
nangkring di atas meja bundar yang di buatnya bersama rudi tempo hari.
“wis ikih ana
udud mah, endah bae sedekah ning satoan dul”.
“ira gawe teh
kaya wong sengit ya, sampe buket temen dul ampe kaya runtah” komentar rudi setelah mencicipi teh
buatan dul tersebut.
“komentare ko
bae ning pesbuk rud”
timpal dul yang kesal sebab rokoknya tak kunjung ia jumpai di sudut kamarnya.
“dul ira dina
kin arep apa” rudi
tiba-tiba membuka percakapan dengan aksen tak seperti biasanya.
“maksude?” jawab rudi penasaran dengan jari yang
jelalatan untuk membuka rokok yang rudi bawa.
“ya dina kien
kih ira arep apa? Molah tah, arep beresi apa tah. Bari aja celingak-celinguk
kaya wongedan ora galak kah” rudi menuturkan.
“ah mbuh rud,
arep apa ya” jawab dul
dengan menghempaskan asap pertamanya sekaligus menutup rasa kesalnya.
“arep usaha
modale bli gableg rud, arep kerja bli kieng ko di atur-atur bae ning atasan.
Wislah apa gebrage bae tamah”
“iya sih dul,
wongan kerja ning uwong semendi gaji gedene gah ya angger bae istilahe
kariyawan. Baka due usaha dewek sih bagen oli seketip mbuh robgketip gah ya
istilahe bos. Cuma kah, ari pendelengane tangga kuh ya sejen dul. Sing penting
due duit akeh, atawa lunga toli balik gawa motor tah mobil uwong bli kaken
takon misal kerja apa atau mekaya ning ndi. Sing penting hasile baka wong sejen
sih dul, prosese sih terserah bagen dalan duite korupsi, penjilat atau misal
kerja gah nyogok sih. Rudi
memaparkan dengan sabar seiring dengan sabarnya mentari yang mulai meninggi.
“iya rud
bener. Angel jaman kien kuh dadi wong bener kuh ya, mesti bae kudu kotor bari
kedelenge bagus kuh ya”
Dengan hati-hati
dul mulai mencerna apa yang di katakan oleh teman duduknya, dan sedikit
memahami tentang pola-pola kotor atas apa yang dilakukan oleh manusia yang
kurang sehat akalnya – terlebih nuraninya. Dan alasan tanpa sebab adalah hampa.
Mencari nafkah berang sekedar mengisi perut semata namun dengan cara yang naif,
tetap di posisikan lazim. Begitulah dul memahami realitas yang sebenarnya, ia
hanya terpaku dengan apa yang di hadapi keluarganya, adiknya yang harus terus
sekolah sementara penghasilan orang tuanya hanya sekedar untuk makan hari ini
dan esok semata.
“ya wis dul
aja mlongo bae, sing penting sadar lan akal nuranie waras bae baka kien kuh era
jajahan maning. Lebih parah sing jaman bengen malah. Jajahan sing awit
pendidkan, ekonomi, budaya, politik karo sejen-sejene kedik. Delengen bae
panganan geblog karo getuk sampe manjing internet, regane larang pisan. Ning
kene wis angel lurue.” Kembali
rudi membangunkan tatapan dul yang kosong.
“iya dul ente
bener. Kudu bergegas baka mengkenen kondisie sih ya. Masa kita kudu tuku terus
apa-apae, kapan wong sejen atau wong negara sejen tuku ning kita kah. Dul mulai memutar otaknya dengan wajah
yang tenagadah ke langit yang hampir mendung.
“gah udud
dipit bari aja koplok pikirane” secepat kilat rudi mengambil rokoknya dan menghembusnya perlahan.
Entah apa yang
ada di dalam pikiran mereka. Ayam berlalu lalang kesana-kemari mencari cacing
ataupun bebijian, demi mengisi isi lambung dengan cakarnya yang tajam serta tak
ketinggalan, menyisakan cacing serta bebijian itu intuk anak-anaknya, dengan
mengajari anak-anaknya bertahan hidup kelak. Tak ayal apa di lakukan manusia. Mengajarkan
segala sesuatu kepada anaknya, namun tak semulus binatang, sebab manusia harus
beradaptasi dengan lingkungannya, sehingga apa yang di ajarkan oleh orang
tuanya tentang kearifan memudar seiring saluran irigasi mengalir.
“sikile rud,
reang jokot hape dikit”
dul menggerser kaki sahabatnya yang seenaknya diletakkan di atas meja.
“iya deleng
youtube dul, bokat bae ana sing kena di dadiaken pekaya” rudi menyingkirkan kakinya dan membiarkan
dul berlalu memasuki rumahnya.
Rudi hanya
melakukan aktifitas menghisap dan menyemburkan asap setelah dul memasuki
rumahnya, pikirannya hanya di sesaki oleh ide-ide yang bisa menghasilkan
pundi-pundi rupiah. Apa yang hendak ia lakukan dalam himpitan modal dan
pertarungan valas yang tiada henti bagai setan dan malaikat yang berebut hati
manusia. Ia masih tetap memandangi setiap orang yang berlalu lalang sembari
menyapanya untuk menjalin rasa solidaritas sesama penduduk desa, kenal atau
tidak tak jadi soal. Tiba-tiba ia mendengarkan suara alunan muasik tarling yang
dikemas dengan perhelatan sandiwara, membuatnya spontan menebak bahwa itu
adalah pedagang es cuing yang biasa berkeliling kampung. Namun setelah suara
itu kian mendekat, ternyata tebakkannya meleset. Ia adalah pengamen yang
menenteng tape yang di selendangkan pada lehernya, terkejut rudi
menyaksikan pengamen yang juga membawa kedua anaknya, yang satu membawa plastik
bekas bungkus permen dan yang satu masih di gednong oleh ibunya.
“anapa rud?” dul membuyarkan lamunan iba rudi.
“oh wong
bebarang[1].
Bokat womh dagang es cuing rang”
Dengan suara
lirih rudi mengatakan “penghasilane pengemis luih akeh sing pegawe
pemerintah dul”.
Alunan lagu
Keloas buah karya Tati Mutia memecahkan suasana penyambutan siang mereka
berdua. Dengan seksama rudi merogoh saku celana bebalnya untuk memberikan uang
lima ratus rupiah kepada pengemis yang terlihat iba itu. Tanpa mengucapkan
sepatah katapun ibu kedua anak itu berlalu dengan selendang lusuh yang menutupi
kepalanya dan juga kepala anak yang ada dalam gendongannya.
“melas temen
ya rud”
“tapi wis
dalan urip atawa pestene mengkonon sih angel ceritae ya. Tapi ya ikuh bocae
rang sing luih melas sih, benere sekolah masa melu luru duit karo emboke. Duh
biang cah ya sampe ngenes delenge gah” seloroh dul yang telah duduk sembari memainkan
ibu jarinya mengusap-usap layar smartphone-nya.
“igih rud
keren-keren kerajinane, larang pisan regane” dul mengalihkan konsentrasi rudi yang masih saja
menatapi ibu dengan kedua anaknya yang berlalu itu.
Spontan rudi
terkejut, “koplok bli weruh ana wong lagi ngenes kah ya!”
“Lamon gableg
duit kah arep tek sekolahaken rang bocah-bocah sing sekolahe mandeg nang biaya
kuh” sumpah rudi.
“tapi untuk
mencapai kata lamon itu berat dul, bukan hanya kerikil tetapi ranaju di pasang
di setiap sudut kesempatan”
“wis gah maria
gegancame” tukas dul.
“ikih jare
pengen deleng hasil kreatifitas barang bekas tapi regane larang!”
“iyalah ncang
deleng kayangapa” imbuh
rudi yang mulai mendoyongkan badanya untuk melihat smartphone dul.
Angin selatan
perlahan berhembus ke utara menebas abu bekas rokok yang berserakan di tanah,
kedua manusia itu masih asik dengan topik pembicaraan ekonomi kreatifnya.
Sementara bedug telah di pukul beberapa kali oleh marbot masjid menandakan
waktu dzuhur telah di muka.
**
Sendal jepit
membunyikan irama kasar yang bersua dengan pasir tersapu langkah kaki, juga
dengan lenggak lenggok cara manusia berjalan menembus belaian angin segar
selepas dzuhur.
“hmm ikih
bocae” langkah
tergopoh-gopoh kipli mendekati dul dan rudi yang asik dengan pembicaraannya.
“ira sih gawe
reang wirang bae ya, toli sampe mang burhan weruh reang kedungsuk ning sawah”
Spontan empat
mata yang duduk manis itu tertawa “irae di di gasak mang burhan tah pli?” dul
menambahi.
“mbuhlah,
pokoke sih harkat, derajat lan martabake reang turun mengkenen sih” jawab kipli masih terengah-engah.
“martabat pli” sela rudi.
“nggih pak
guru. Salah maning bae tamah” kipli menimpali dan menjongkokan badannya di hadapan mereka berdua.
“lagi deleng
pilem ‘anu’ tah? Ya ncak gah kirim-kirim ora cah” kipli melongok apa yang dul genggam.
Dengan kesal rudi
menimpali “bocah otake sempak ya kaya kenen, puguh lagi deleng-deleng sing
kena dadi duit. Pilem wong gawe itar bagen”.
“aih ya bokat
kah” wajah polos
bercampur dengan cengengesan tergambar dari air muka kipli.
“ya wis duh
baka bisnis tah meluan gah cah, masa urip blenake kedarwasen ya bosen,
sekali-kali sugih ya bli papa”
Ketiganya larut dalam pembicaran krusial atas hidup, saling
berpendapat dan menyangkal. Angin
segar menggiring awan hitam untuk segera menutupi desa Madangkarya itu,
sesekali gemuruh dan petir datang bergantian untuk mengisyaratkan bahwa hujan
segera turun, selain juga mengagetkan
ketiga manusia yang masih asik dengan diskusinya. Rintik hujan telah datang
menyapa permukaan bumi, tepat dengan berkumandangnya adzan ashar, suasana hujan
yang tenang telah menghantarkan ketiga manusia itu dalam dalam keseriusan dan
pula kadang tawa terdengar.
“ko dipit cah
arep luru kopi dipit”
tukas kipli.
“gawa karung
pli, bari oli akeh” sahut
dul.
“hmm lekas ira
sih” dengan berlalu dari
tempat diskusi tersebut, dan rudi hanya melemparkan kerikil kecil ke celana
kipli yang berlari kecil menghindari serangan hujan.
Kopi telah
tersaji dan hujan semakin menderu menyapu debu yang telah menghinggapi atap
rumah penduduk. Pembicaraan masih berlanjut, tanpa memperdulikan lagi siapa
yang lewat di depan rumah, barang sekedar menyapa. Mereka sibuk memutar otak,
mencari peluang-peluang yang mungkin bisa di masuki dan mendapatkan dewi
fortuna atasnya.
“dul ira
nandur pare karo boled lagi kaen sih priben?” tanya kipli menginterupsi dialog yang sedang
berlangsung.
“ya wis
ngalami ngunduh wonge sih, lumayan nggo lawuh mangan karo njabur mah” jawab dul.
“ya
nandur-nanduran bae cah jare reang sih, asal nandure sing akeh karo amba
tempate. Ko gah oli bati akeh” kipli menuturkan idenya.
“kipli, bocah
ganteng dewek. Kin kuh lagi mikiri modal awal nggo mengmono, nyewa lemah amba,
tuku obat semprot, alat-alat. Arep nandur ning awang-awang tah irae pli?” dengan sigap dul menyangkal ide klimaks
kipli tersebut.
“aih iya-ya
modale. Duh klalen ira cah” jawab kipli mengiringi hembusan asapnya.
“Ya wis
mumpung ko bengi ana pasar senggol, coba deleng-deleng bahan sing ana. Biasae
ning wong dagang aksesoris kah akeh sing kena di tiru toli di bagusi maning
kah” klimaks dari diskusi
yang di temani rintikan tersebut.
“wah iya
sapatau ketemu karo boca kaen ya Allah” harap dul dengan senyum sumringah dari wajahnya.
“sapa dul?
Wong wadon tah?” tanya
kipli penasaran.
“wongedan
mangan kesed!!” sahut
rudi kesal.
“pokoke sih,
ko tas isya plesir ning pasar senggol. Ndeleng-ndeleng aksesoris. Kone tek WA
bae ya” rudi menjelaskan
dengan asik menjepit sebatang roko yang hanya sebatangkara.
“wah ya kita
hapene laka WAne cah, SMS bae gah” kipli menyahut.
“ya wis pli ko
tek tlepon duh”jawab
rudi.
Ketiganya telah
sepakat untuk mencari referensi untuk kembali di inovasi menjadi sovenir yang
memiliki nilai jual dan tidak memakan biaya produksi besar. Meski demikian
berbeda dengan niatan dul yang berharap menemui gadis yang beberapa waktu ini
berkelindan dalam pikirannya, hingga ia berencana mengenakan pakaian yang
elegan di pandang yang tentu saja di duetkan dengan pomade sebagai pelengkap
raiting performanya.
Lepas maghrib
dul, masih tersenyum-senyum sendiri di depan cermin. Dari jauh suara katak
bersahut-sahutan dengan intonasi yang monotonnya, namun jika tanpaorkes selepas
hujan itu maka desa takanlagi menjadi tempat yang di rundukan oleh para
perantau. Dengan menggunkan kemeja berwarna hijau tosca dan jeans yang
mengendap di lemarinya.
“muga-muga bae
ketemu gusti. Boca kaen kuh ya gawe pating greges bae gusti”.
Ia berbicara
dengan dirinya di hadapan cermin yang kusam, tak lupa ia menyiapkan bahan
pembicaraan untuk gadis misterius itu, meskipun belum sepenuhnya yakin akan
bertemu dengannya, namun dul telah memepersiapkannya dengan harapan ia tak
gugup apabila berhadapan dengan wanita itu.
**
Bunyi smartphone
milik dul telah berteriak di atas tumpukan baju yang belum di rapihkan, pertanda
rudi telah siap menuju pasar senggol, maka dul pun bergegas menuju tempat
pertemuannya dengan rudi dan kipli di jondol. Ia berpamitan dengan orang tuanya
yang sedang asik di depan layarkaca dengan adiknya yang juga telah menguap-uap
sedari tadi.
“arep mendi
nang, kosi dangdan seporete kuh?” tanya ibunya keheranan.
“arep luruh
demenan ma” jawab dul
santai dengan mencium tangan orang tuanya.
“aih dadi lagi
berag tah?” ibunya
tekekeh dengan jawaban dul yang langsung menutup daun pintu.
Selang beberapa langkah dari rumahny, dul mulai membaca ‘mantra’ yang akan di bacakan ketika ia menemui pujaan
hatinya itu, dengan wewangian yang di rasa cukup untuk menebarkan pesona kepada
setiap orang, dul melangkah dengan elegan dan penuh wibawa. Setelah melewati
rumah mang burhan dan sampai pada tempat yang telah di janjikan sewaktu siang
hari, dul mulai melihat sosok rudi tanpa kipli dari kejauhan.
“kiplie mendi
rud?” tegur dul
tiba-tiba.
“ari sira kosi
poret temen dandane dul, arep luru demenan tah?” tanya rudi yang heran
dengan penampilan dul yang nampak necis dengan celana jeans dan kemeja yang
jarang sekali di pakai olehnya.
“yeh, baka
sira gah. Semana reang lagi awan ngomonge gah ya. Bokat bae ketemu karo sing
due motor beat kah rud”
dul menjelaskan dengan perlahan.
“ya wis gah
mangkat bae, endah kiplie kon nyusul bae asale lagi tahlilan dipit je” ajak rudi.
Keduanya berjalan
menuju pasar senggol di desanya, dengan menembus gelap dan di temani kicauan
jangkrik serta lalu-lalang manusia yang telah bertolak dari pasar tersebut.
maklum di desa Madangkarya, biasanya waktu yang tepat bagi orang-orang untuk
menuju pasar senggol ialah selepas maghrib atau selepas asar, namun sewaktu
asar tadi hujan telah menerjang desa tersebut maka orang-orang memilih waktu
selepas maghrib.
Keduanya berjalan
melewati jalan desa yang masih minim penerangan, hanya lampu milik warga yang
di pasang di depan rumah saja sebagai penerangnya dan juga nyala lampu motor
yang saling bertabrakan kemudian berlalu begitu saja. Dengan seksama dul
memperhatikan setiap motor yang melewatinya, namun tak ada satupun penunggang
motor beat yang wajahnya seperti seperti sediakala.
“lamon ketemu
arep di apakaken bocae dul?” tiba-tiba rudi menanyaka apa yang membuat hatinya berdebar selepasnya dari
daun pintu rumahnya.
“ya di obroli,
jaluk kenalan, jaluk nomer WA, Fb karo sejen-sejene” jawab dul enteng namun dengan air muka yang
berat.
“ya wis aja
kesuen di ‘sebrak’ bae baka wis ketemu karo wonge sih, aja kaken lewa kaya
bocah dau berag dul”
dengan mata yang foku ke depan rudi menasehati dul.
“iya gah rud
kalem bae, semoga bae bli grogi ngomonge rang”
“lamon ketemu
kah dul, reange minggir ya bari irae aja keganggu toli blenakan ongkoh ning
wadone. Masa garep kenalan je grudungan. Kampungan temen kesane kah dul” rudi mengusulkan.
“ya ya sih aja
meluan ira sih rud, bokat mlayu deleng wongedan mangan kesed kaya ira kuh” dul tertawa lepas sembari mulai merogoh
kantong jeans-nya untuk mengambil sebatang rokok.
Dari kejauhan
terdengar suara kipli memecah kesunyian jalan. Dengan sepedanya kipli
menghampiri kedua sahabatnya yang hampir sampai pada titik yang di tuju, pasar
malam desa.
“kodipit cah
ngos-ngosan kih, kebut bae rang. Melang ketinggalan ndeleng wongayu” kipli mulai menuntun sepedanya, mengikuti
jejak kedua sahabatnya yang berjalan di depannya.
“ya wis
mbuntut bae ira sih pli. Idep-idep reang dadi bodyguard kah” sambut rudi tanpa menoleh.
**
Marni yang sedari
tadi sibuk memandangi smartphone-nya di teras rumah untuk menemani keponakannya
ke minimarket di desa sebelah, telah mencapai titik didih alias kebosanan,
sebab keponakannya tak kunjung selesai berdandan, meskipun sesama perempuan
namun marni tak sedikitpun ambil pusing dalam merias diri, simpel dan elegan
tanpa polesan produk iklan televisi, marni yang hanya suka mengenakan kerudung
persegi berwarna pink kemana pun melangkahkan kakinya, maka kerudung itu tak
lepas barang sejengkalpun dari kepalanya.
“oy gage
dandane, wis bengi kih jagate, udan pisan kone kuh” seru marni.
“iya kodipit
yu, depat maning lagi bengesan kih toli uis” jawab keponakannya dari dalam.
“aja
wangi-wangi maning bokat akeh sing naksir kone kuh, toli gah wangine ilang
kenang motor sih” dengan
enteng menasehati keponakannya dari luar.
Sepuluh menit
kemudian keponakan marni keluar dari dalam rumah, dan tanpa basa-basi marni
langsung menyambar kuda besinya yang hanya beberapa meter dari tempat duduknya,
dengan seketika marni menyiapkan step untuk keponakannya yang hendak duduk di balik
kemudinya.
“aja
santer-santer ya yu”
keopnakannya mengingatkan.
“tenang, weruh
tekang genah bae pokoke sih” jawab marni kesal.
Dengan cepat,
marni melesat menuju tempat perbelanjaan desa dengan motor kesayangan serta
keponakannya di belakang. Meskipun sebenarnya marni sedikit sungkan untuk
menginjakkan kakinya di tempat itu sebab suatu hal, namun marni kali ini harus
rela membuang kesungkannya itu karena keponakannya yang sedari sore memintanya
untuk menemani.
Di jalan, marni
memandangi orang-orang yang berpapasan di hadapannya, baik yang menggunakan
sepeda motor ataupun anak-anak ‘bau kencur’ yang asik bersenda gurau di samping
jalan. Terkadang marni pun tak luput dari siulan jahil anak-anak yang asik
nongkrong di tempat yang berbeda. Marni pun menyadari bahwa hal tersebut
termasuk dalam kategori pelecehan non-verbal yang di terimanya, namun ia
menyadari bahwa konstruksi budaya telah menjadikannya tak berdaya menghadapi
serangan psikis tersebut.
“yu, bocah kuh
laka sing ganteng temen ning kampung kuh” tanya keponakannya spontan.
Dengan sedikit
tertawa marni menjawab sekenanya “baka luru sing ganteng ya mana ning Korea.
Kan ira kuh korban film”
“ya bli sampe
semonoe yu gantenge kuh”
tampik keponaknnya.
“ya mulane aja
bagus-bagus dandane. Eman bedak karo bengese, ari getun karna laka wong ganteng
sing deleng ira sih”
marni tertawa.
“wis adate gah
ning kampung, wong ganteng kuh laka, anae wong alay, norak, karo pura-pura
ganteng.”
“iya yu, keder
tamah ngomong karo dika kuh” jawab keponakanya.
Sebenarnya marni
tau, jika malam itu terdapat pasar senggol di desa yang kadang ia dan ibunya
sambangi untuk memebeli kebutuhan rumah. Namun kali ini ia tak mengunjunginya,
lagipula kebutuhan rumah pun belum habis, jadi ia tidak mau menghamburkan
uangnya untuk mengkonsumsi sesuatu yang kiranya tidak perlu, atau sekedar
pelengkap. Dan begitulah marni, selalu cermat membelanjakan uangnya, jika tidak
terlalu butuh bahkan perlu, maka ia urungkan keumuman sifat perempuan yang
sebayanya; berbelanja.
Sesampainya di tempat
perbelanjaan desa, marni langsung duduk di teras, tanpa memperdulikan ajakan
keponakannya untuk masuk.
“dikane bli
melu manjing tah yu?”
tanya keopnakannya.
“oralah, bokat
meriang ning AC kuh”
jawab marni cengengesan sembari menyalakan smartphone di tangannya.
Setelah bosan
dengan smartphone-nya, marni memperhatikan setiap orang yang berlalu lalang di
depannya, dari tua hingga anak-anak semuanya gemar memasuki pusat perbelanjaan
desa yang secara konkrit mendistirsikan pedagang-pedagang kecil di sekitarnya,
hanya karena AC dan tata tempat yang rapih, dan dengan metode transaksi yang
menggunakan komputerisasi saja, rata-rata orang desa tersedot untuk silih
berganti memasukinya. Lalu pasar senggol dan warung-warung kecil di gang-gang
desa yang hanya di ramaikan oleh hutang-hutang tetangga, dengan agunan hasil
panen yang tak pasti, kian sunyi dari pembeli. Marni berpikir pola konsumtif
masyarakat desa telah di hegemoni oleh sajian layar kaca, entah sinetron
ataupun smartphone. Tapi realita selalu mengatakan demikian, meskipun marni
terahir membaca kabar bahwa ritel kota telah kehilangan konsumen sebab
perbelanjaan online telah di minati oleh masyarakat, namun di desa-desa, ritel
tersebut mulai menggurita. Marni masih asik menyaksikan lalu-lalang manusia yang
seumur jagung bergandengan dengan pasangannya, dan marni hanya tersenyum
santai, mengetahui bahwa sampai saat ini marni masih trauma dengan apa yang
dilakukan oleh bocah seumur jagung tersebut.
“wis yu, yuh
balik mah” keponakannya
tiba-tiba membuyarkan lamunan marni.
“wis oli kabeh
pekakas nggo paes’e?”
tanya marni.
“wis yu”
“ok, yuh
balik” sahut marni.
Tanpa ba-bi-bu
marni dan keponakannya langsung meninggalkan tempat perbelanjaan tanpa tukang
parkir tersebut.
“laka tukang
parkire tah yu?”
keponakannya membuka pembicaraan.
“mader ning
kampung kah ana tukang parkir kedik” jawab marni enteng.
Di jalan, marni
matanya tak lepas mengawasi siapapun yang telah menyongsong laju motornya. Setiap
yang ia kenal, maka ia tak segan untuk menyapanya dahulu sebelum orang yang
berpapasan itu mendahului menyapa. Dan dari kejauhan sorot lampunya mengenai tiga
orang yang berjalan dan salah satunya membawa sepeda, ia sama sekali belum
mengenai ketiga sosok itu sebelumnya, hingga matanya fokus melihat ketiga sosok
itu, tiba-tiba laju motor marni yang pelan sebelum meninggalkan pedagang
terakhir di pasar senggol itu, motor marni hampir menubruk pedagang jagung yang
biasa mangkal di bahu jalan. Dan “aaaaaaaaa!!!” suara di balik kemudi
marni membuyarkan konsentrasinya.
“noookkk,
matae aja meleng bae”
tegur si pedagang.
“aih iya mang,
pangapurane ya” sahut
marni spontan.
“duh dika kuh
yu, diwara ati-ati sun. Malah arep nubruk wong dagang maning” keluh keponakannya dari belakang.
“iya duh, aja
geger bae kah. Masa apa-apaha” cletuk marni.
Dengan pelan dan
mata yang waspada, marni masih memerhatikan ketiga sosok yang asik dengan
gurauan serta cara ketiga orang itu berjalan, seperti tanpa memikirkan suatu
apapun, pikir marni. Semakin mendekat, semakin besar rasa penasaran marni untuk
sekedar menyapa, meski tidak mengenalnya, namun dari gurauan itu ia bisa
sedikit mengimajinasikan apa yang ketiganya bicarakan serta rasa solidaritas
yang tinggi diantara ketiganya.
Kurang tiga
langkah lagi motor marni hampir menyamai ketiga orang tersebut, dan marni telah
siap dengan lirikan manisya. Sekedar untuk mengetahui siapa sosok yang bisa
membuat konsentrasinya berhambur begitu saja ketika di atas motor, terlebih di
tempat ramai seperti kejadian barusan. Dan pada saat yang bersamaan lirikanya
langsung medapatkan respon dari ketiga sosok tersebut.
Posting Komentar