[ads-post]



Rakyat hanya menunggu selama dua jam lebih
Judul di atas sengaja kami sajikan kepada pembaca yang budiman. Tempo hari atau pada hari jum'at 29 Desember 2017. Selepas dzuhur, telah terjadi ujuk rasa di depan kantor kecamatan Tukdana yang dilalukan oleh sekelompok warga yang terkena imbas dari sumur milik Pertamina yang meresahkan warga Sukarpena bagian barat, Cangko dan Pagedangan namun sepi dari pemberitaan.  Puluhan warga yang datang didominasi oleh petani dan buruh yang datang dengan segudang kekecewaan terhadap PT. Pertamina.

Warga yang hanya ingin mengajukan tuntutan kepada pihak Pertamina dan pemerintah, namun realitasnya, warga yang hendak menyampaikan aspirasi tersebut di perintahkan untuk membubarkan diri oleh seseorang yang penulis duga adalah pihak pemerintah kecamatan. Beberapa orang spontan menolak perintah tersebut dan di ikuti oleh warga lainnya, maksud dari pembubaran tersebut ialah pemerintah desa termasuk beberapa warga dan juga pihak pertamina hendak melakukan audiensi secara tertutup dan sudah barang tentu di fasilitasi oleh pihak kecamatan. Dengan alasan kondisifitas yang tidak mengganggu jalannya audiensi tersebut maka warga dengan sukarela menunggu hasil keputusan tersebut. Meski terdapat beberapa warga yang meminta untuk di adakannya audiensi secara terbuka, dengan maksud seluruh warga yang hadir dapat melihat bagaimana jalannya audiensi tersebut, namun di tolak oleh pihak yang memfasilitasi itu. Sehingga dengan membuat perjanjian spontan warga rela menunggu namun tidak akan membuat kegaduhan sehingga mengganggu jalannya audiensi tersebut.

Selama hampir dua jam lebih warga menunggu keputusan namun tak kunjung di dapat. Dan dengan terpaksa, seorang demi seorang membubarkan diri, microphone yang disiapkan untuk menyampaikan aspirasi dan juga orasi dari warga tak terpakai. Dengan alasan kondisifitas. Hingga setelah dua orang keluar secara bergantian dari gedung langsung diserbu oleh warga lainnya dengan hujaman pertanyaan, namun apa yang di dapatkan? Hanya segudang kekecewaan. Alasan klasik dan juga tak logis. Bahwa seburan lumpur bercampur gas tersebut bukanlah di bawah otoritas pihak pertamina, dan jelas pertamina angkat tangan dengan hal itu. Dengan kalimat "itu murni bencana alam. Jadi bukan wewenang pertamina" warga yang kecewa juga dengan spontan mengatakan "jangan mau di suap!", memang penulis mengamati orang tersebut, juga dengan air muka yang bereda dari sebelumnya. Warga yang terlanjur kecewa langsung membubarkan diri dengan melampiaskan kekecewaannya dengan memainkan knalopt sepada motornya.

Betapa kecewanya penulis dengan adanya realitas yang demikian. Padahal di situ terdapat wartawan namun sampai detik ini siaran pers tak kunjung naik cetak, padahal banyak yang menayangkan siaran langsung melalui kanal-kanal sosial media namun tak satupun masuk dalam rilisan grup lokal kabupaten. Miris. Dengan microphone yang bisu pun sekiranya dapat di tebak arah demokrasi kita yang di bungkam ini. Jika saja hendak melakukan audiensi secara tertutup maka puluhan masa di persilahkan untuk menyampaikan aspirasi atau bahkan orasinya. Meski lazim bahwa sasaran aksi sebagian besar adalah pecundang (jika bukan pengecut) yang tidak mau menemui rajanya (baca; rakyat, warga) dan hanya di siapkan 'topeng' atau asisten untuk meredam masa, dan tentu kanan-kirinya telah di siapkan aparatus pemerintah seperti TNI, Polri dan Satpol PP. Dan semestinya jika hendak melakukan audiensi maka wargalah yang mengeksplorasikan permasalahnannya dan pihak pemerintah menjawabnya, bukan sebaliknya. Dan penulis yang mengamati jalannya alur demokrasi kecil tesebut tak menyangka, bahwa dalam menangani kasus yang sekrusial ini saja aspirasi di redam, microphone bisu dan lagi, pembicaaran atau audiensi tersebut berjalan lamban seperti disengaja untuk mengulur waktu supaya masa segera membubarkan diri sebab bosan dengan keadaan semacam itu.

Jika hendak jujur, bukankah kejadian tersebut bermula dari hari senin 25 Desember lalu, dan kejadian semburan lumpur tersebut di lokasi yang dekat dengan sumur milik pertamina, namun mengapa jawabnnya sedemikian konyol. Dan banyak titik baru bermunculan lumpur di pemukiman warga yang hampir membakar rumah milik salah seorang warga, sebagian lagi semburan api dari dalam tanah di sekitaran rumah warga. Jika memang ini murni bencana alam, maka sudah seyogyanya pemerintah desa setempat mendatangkan pihak geologi untuk memeriksa unsur tanah yang ada pada wilayah tersebut, kemudian melalui pemerintah hal itu di sosialisasikan kepada masyarakat untuk dapat segera mengambil tindakan demi tidak terjadinya hal yang tidak di inginkan. Dan apabila memang itu adalah dampak dari adanya sumur milik Pertamina, maka jelas sebagai BUMN mereka harus bertanggungjawab. Sebab tidaklah mungkin tanah yang di gali itu tidak merusak tatanan tanah di sekitarnya. Begitupun bumi. 


Kejadian serupa juga telah terjadi pada tahun 2015 lalu, namun hanya di sekitaran sumur milik Pertamina, sehingga tindak antisipasi segera di lakukan. Namun jika seperti ini pihak pertamina mangkir maka jelas mereka menyalahi AMDAL juga mungkin menyentuh ranah perdata. Tapi sekali lagi penulis menegaskan; apa yang tidak bisa dibeli dengan uang. Hanya orang nomor wahid desa saja yang warga harapkan atas kejadian ini, semoga bisa dengan bijak menyelesaikan persoalan akut ini, tanpa kong-kalikong dan tanpa diplomasi sabun.

                                                           Jum'at, 29 Des 2017
                                                                          Ahonk bae

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.