Pict : Google |
Masih dengan hujan di penghujung tahun yang begitu setia, seolah
tak ada celah untuk matahari meski hanya untuk mengintip bumi. Awan gelap
menjadi instrumen serta kawan sejawat manusia yang mengeluhkan rutinitasnya
yang tersendat, meski sebentar, tapi air laut itu tiada berhenti menyiram bumi
dengan bersama kawan-kawannya. Sepotong tunas memberi tanda kehidupan baru
setelah hujan pergi, bersama halimun tebal, tanda sejuk segera tiba. Debu
tersingkirkan berganti tetesan air yang tiada henti, betapa menyaksikanya
adalah kedamaian. Iringan orkesta katak tak kalah serunya dengan suasana sepi
jalan desa, seolah menahan penduduk untuk keluar dari balik tembok-temboknya
yang kokoh itu. Beranda rumah adalah tempat nyaman menyaksikan serbuan air menuju
tanah, siapa yang membuka kran besar di atasnya hingga bumi basah kuyup seperti
ini? Entah, semua mengatakan sama, hujan adalah rahmat dari yang maha kuasa,
dengan memberi dua iklim dalam bentangan katulistiwa.
Berduyun-duyun orang meninggalkan sawah saat awan gelap hendak menyelimuti
bumi, menutup pancaran surya dengan hembus angin sepoi, dan tanpa aba-aba sawah
mendadak sunyi seperti saat malam, namun belum juga terdengar suara alunan
katak. Keburu hujan menerkam sebagian bumi beralaskan beton, dan penduduk telah
berleha-leha di dalam rumahnya masing-masing, didera suara hujan dengan sedikit
gemuruh. Dari kejauhan galak tawa anak-anak bersepeda pecah, membelah suara
hujan yang sedari tadi belum mencapai klimaksnya. Hingga sampai depan beranda
rumah seseorang menanyakan dengan sedikit penasaran.
“ana apa cah gemuyu sampe enak temen kuh?” tanya mang Burhan sambil menghempaskan
kepulan asap Apache dari sela jemarinya, tak jauh dari bibir mang Burhan yang
nampak hitam.
Dengan tawa tersisa Dul melirik mang Burhan “anu mang, mau Kipli di udag
kirik toli kegebur” sambil berlalu dengan sepedanya bersama Rudi dan rohim.
Beberapa meter dari beranda rumah du pun kembali mengulang tawa yang sama
denga ketiga temanya, meski tawa Dul yang paling keras terdengar “koplok
boca kuh bego temen ya hahahaha”. Mang Burhan pun masih melongok
memperhatikan mereka dari beranda rumahnya yang nampak sederhana.
“toli bature di udag kirik je pada meneng bae ya” sela bi Rati membuka percakapan dengan
suaminya tersebut.
“ya adate gah bocah semono, ana bature sengsara
gah ya malah nggo guyonan” timpal mang Burhan sambil meniup kopi buatan istrinya itu.
“kien kopi apa mi? Kosi kecut rasane? Di pai cuka
tah?” tanya mang Burhan
yang keheranan mendapai kopi yang di sajikan istrinya berbeda dengan rasa yang
biasanya ia nikmati.
Bi Rati pun tak kuasa menahan sedikit tawa “kun kuh kopi oli di pai ning
karso kang wingi sore, jare sh kopi sing jagat kanae” dengan sedikit tawa
bi Rati menjelaskan.
“biang kosi aneh mengkenen ya kopie wong kana-kana
kuh, duh bli dadi cangkeme reang sih” keluh mang Burhan pada kepada istrinya.
“yah adate gah kopi oleh-oleh kang, wis bli papa
mader kopi oli di pai, toli sampean kuh aja ngresula[1] bae
kah” sambil cengengesan
menahan tawa melihat suaminya yang terkejut dengan rasa kopi yang baru ia
terima dari tetangganya itu. Dan rintik hujan masih setia menemani sore. Ayam dan
kucing berlalu-lalang mencari tempat teduh setelah kedapatan bulunya klucut[2]
tersiram air sejak tadi.
“boca kah di udag kirik ning jagat ndi ya, padahal
sih jaman kien kuh kirik malah wedi ning menusa kuh mi” mang Burhan mencoba mengalihkan pembicaan
kekecewaan pada kopi pemberian tetangganya.
Bi Rati pun menimpali dengan santai “bokat sih boca kuh maue mbebeda
kang, mulane di udag kuh” dengan menatap tetesan hujan yang mengepung
halaman rumahnya tak terlalu besar.
“duh kalesan ya ari boca kuh, tapi di cokot bli
boca kah” imbuh mang Burhan.
“ah jor bae kang ko gah baka di cokot sih tangga
kuh pada geger” sahut bi Rati
santai.
Angin sepoi berlalu menembusi kedua kulit manusia berbalut jaket yang
kurang tebal nan lusuh itu, dan tanpa basa-basi angin menerjang abu yang
tercecer di samping mang Burhan hilang terbawa angin sejuk itu, hingga kopi
yang di sajikan istrinya lupa kembali di santapnya, sebab lidahnya belumlah
beradaptasi dengan kopi yang di datangkan oleh karso itu.
**
Temaram mulai mengintip bumi dengan keindahannya, Dul dan Rudi menyenderkan
sepedanya di bahu jalan yang memang tak terlalu ramai, setelah rohim memutuskan
untuk pilang ke rumahnya lebih Dulu, dan kebetulan menjelang maghrib maka semua
penduduk pun tak terlalu ramai berlalu-lalang seperti biasanya, hanya beberapa
yang masih terlihat, itu pun mereka yang hendak pulang ke rumahnya selepas
bekerja di tempat lain.
Dan pada sebuah warung Dul hendak membeli rokok eceran dengan uang yang
hanya beberapa di saku celananya yang juga basah tersiram air hujan.
“bi udud Suryae gah telu bae” Dul menyodorkan uang 5000an.
Dengan malas, pemilik warung mengabulkan permintaan konsumenya itu.“telu bae tah nang?” tanya pemilik warung menyakinkan.
“iya bi, aja akeh-akeh bokat sangit cangkeme” timpal Rudi dari depan warung.
Sontak pemilik warung pun tertawa, “aih ya bli papa, sangit ya kumbah
cangkeme” sembari pemilik warung memberikan tiga batang rokok permintaan Dul.
Dengan sigap Rudi mengambil satu batang rokok kemudian menyalakannya dengan
korek yang tergantung di atas etalase warung tersebut. “kesuwun bi” ucap
Rudi kepada pemilik warung.
Tak jauh dari warung terdapat jondol yang sepi, untuk mereka berdua tempati
sambil menikmati jalan desa yang sepi ditemani rokok yang beru mereka beli dari
warung tadi.
“ah lamon ana kopi ireng sih beres kinih Dul” ucap Rudi sambil menyenderkan bahunya
pada tiang jondol tersebut.
“aih ya karuan. Jagat udan mengkenen ana udud,
kopi, toli gorengan gedang angetan mah ya laka padane Rud” Dul menimpali.
“kalesan wong ngayal ya enak temen, jagat udan ya
ngayale sing enak-enak”
mata Rudi menerwang menembusi asbes jondol bambu tersebut. entah apa yang di
lihatnya, namun asap terus mengepul dari bibirnya di sertai tatapan kosong ke
langit-langit jondol.
“Rud, ana bocah bagus Rud. Age delengen sapa
kanah?” tiba-tiba Dul
mengusir lamunan Rudi, dan cepat-cepat Rudi menengok ke jalan untuk menyaksikan
siapa gerangan yang lewat itu.
“gustiallah boca kuen ya, tambah bagus bae ya.
Kosi adem raine kaya kaya kipas mesjid” ucap Rudi di sertai mimik muka Rudi yang kosong
menyaksikan wanita sebayanya lewat menggunakan motor Beat itu, sambil menyebut
apa yang bisa ia sebut mata Rudi tak berkedip sedikitpun, dan pandangannya
terbawa oleh sesosok wanita yang barusan lewat terbawa besi besutan Jepang itu.
“kaen bocah ndi Rud?” Dul memecahkan lamunan Rudi.
“mbuh Dul, bagus temen rang” imbuh Rudi.
“ah tai sira sih Rud bli weru ya!!, lamon weru sih
tek sanjai bocakah Rud”
mata Dul menatap tajam ke jalan yang telah di lalui oleh wanita tadi.
“sinting ira kuh!, arep sanja ning boca kaya kaen
sih ngko di ladenie baka arep subuh”
“Maksude?” tanya Dul penasaran.
“ira kuh bego tah koplok sih Dul?!!” timpal Rudi, “boca kaya kaen sih sing
dolanie gah pirang-pirang Dul, singawit Ninja RR sampe Honda Jazz Dul. Dadi
bokat ira nekad dolan ya los olie subuh, kun gah Cuma di kongkon nutup lawang
umae sing jaba paling gah” Rudi menjelaskan dengan sedikit menghapuskan
hasrat temannya.
“aih iya ya, masa reang arep sanja nganggo sepede
bae. Ana-ana reang di darani tukang adol jam tangan kesasar” Dul menertawai dirinya dan juga hasrat
gilanya.
“kuwayang temen temen ya lamon dadi wong sugih kah
Rud” Dul mengalihkan
pembicaraan.
“ah dadi wong sugi ya angger Dul, ora enak. Masih
kurang terus jare mang Burhan lagi kaen kanda ning reang sih” Rudi mencoba memberikan pencerahan. “pejabat
bae uripe kurang bae Dul, buktie masih akeh sing korupsi bae, sing jare kita
uripe enak kah. Mangkat mendi-mendi ya numpak mobil, enak adem, pengen apa-apa
ya ketuku karo duit, pengen maksiat bisa gah ya bisa karo duit”. Dengan
sisa rokok yang mapir mendekati habis di sela jari tangannya, Rudi mengajak Dul
berimajinasi dengan apa yang di angankan oleh Dul tadi.
Adzan maghrib berkumandang dari speaker masjid, menggantikan alunan suara
ayat al-Qur’an yang di play melalui file dalam flashdisk. Memang
iramanya lebih merdu alunan ayat-ayat itu, sebab dari kaset atau telah melalui
proses penyaringan di dapur rekaman. Dul dan Rudi menyudahi pembicaraannya
mengenai wanita cantik yang berlalu itu, kemudian pembicaraan mengenai orang
berpunya juga.
“Dul mene gah udude tek suled reang bae” Rudi meminta satu batang rokok yang
terselip di atas telinga Dul.
“ceg Rud, blenak mader gah laka kopie rang ning
umae” sembari memberikan
rokok Surya yang tiggal sebatangkara tersebut.
“gah bubar yuh, wis maghrib rang, bokat ana
Sandakala wayamene masih nongkrong bae” Dul mengajak.
“yawis ayuhlah. Ko tas isa reang meng umahe ira ya
Dul bari gawa kopi” Dul
mengiyakan dan kemudian kedua pemuda itu mengayuh sepedanya dan berlalu
meninggalkan jondol tadi kembali kepada kesunyiannya seperti alam tanpa
penghuni.
Di pertigaan mereka berdua berpisahan, rumah Rudi di sebelah selatan dan
rumah dul sebelah utara. “rud ko WA bae ya baka arep meng umah reang”
dul mengingatkan.
“ok sip” Rudi mengangkat jempolnya.
**
“nok Marni ikih ana bature” suara lantang itu datang dari rang tamu.
“iya mi, ko dikit lagi nugas kih tanggung” jawab Marni dari dalam kamar. Ibu itu
mempersilahkan tamunya masuk ke dalam rumah sembari menunggu Marni yang masih
asik khusyu dengan tugas kuliyahnya.
Rumah berwarna kuning muda itu hanya di huni oleh Marni dan kedua orang
tuanya, langit-langit rumanya memakai gipsum mahal disertai ornamen mewah,
sehingga terkesan megah saat memasuki ruang tamu dan melihat sovenir antik yang
nongkrong dalam display bupet ruang depan tersebut.
Dengan sabar kedua pemuda itu menunggu Marni yang sedari tadi belum juga
belum nampak batang hidungnya, namun keduanya hanya bisa mengeluh dalam hati.
Hampir 45 menit berlalu kedua pemuda itu bermaksud pamit pulang, menggugurkan
niatnya untuk bertemu dengan Marni, namun tak di sangka Marni keluar menemui
mereka berdua. Dengan wajah yang berbinar dan senyum sinetris dan tak
ketinggalan kerudung persegi berwarna pink yang ia kenakan untuk menemui
tamunya itu.
“aih maap ya sing mau nonggoni” Marni membuka memecahkan keluhan hati
kedua tamu tersebut. “soale ana tugas dadi ya punten” di sertai senyuman
manis dari Marni sebagai ekspersi atas permintaan maafnya.
“oh iya mar bli papa, ora sue orapa” sahut Toni.
“iya igih kita gah lagi kanda mader gah dadi ya
bli krasa sue mar” imbuh Ispa
yang mencoba membuang jenuhnya menunggu.
“Ora kesasar ya ngulati umae kita” Marni membuka obrolan, “padahal mlosok[3] tapi
ketemu ya” disertai senyum datar dan ibu jari Marni tak lepas memainkan
smartphone yang menempel di tangannya.
“ora mader ana google map mar, dadi ya kalem bae” sambut Toni basa-basi “toli gah enakan
ya umae pinggir sawah dadi akeh suara kodok umae” Toni melanjutkan
basa-basinya.
Dengan mata yang fokus pada layar smartphonenya Marni menimpali “ya
maklum umahe kita sih plosok dadi ya ana konser bae”.
“Ari mamae sih mendi mar?” tanya Ispa juga sama; basa-basi.
Jam merangkak menuju angka 10 malam hanya kurang 15 menit, suara anjing
makin keras terdengar. Alunan malam kian menambah sedapnya aroma desa yang
sedari sore di guyur hujan dan aroma ampo[4]
masih menusuk hidung.
“mar, ari ira nulis status ning FB kuh lok bli
ngerti kita sh, bahasa menusa bae gah nggoe” Toni mulai membuka percakapan, dan membuat Marni
sedikit mengakat dagunya.
“aih iya tah?, mbuh irah ton ilok keder kah baka
gawe status kuh” Marni
menjelaskan “nulis galau bae watir kaya bocah, nulis kempong misale watir
dikomen “maaf ini bukan warteg” ning warganete” Marni memaparkan. Dan
membuat kedua teman yang baru ditemui di dunia nyata itu tertawa sebab merasa
kalimat itu adalah metafor untuk mereka berdua.
“aja santer gemuyue bokat mimie kita kaget” Marni mengingatkan.
“aih sorry mar, yakin kegugu pisan” jawab Ispa.
“adah kesindir kih ya” Marni mengejek sembari meletakkan smartphonenya,
merasakan tak menemukan lawan bicara yang sesuai, Marni pun menunjukan
kemalasanannya dengan gestur sebab aabila bertutur ia akan merasa, bahkan di
klaim sombong oleh lawan bicaranya. Setelah
merasa bosan dengan pertanyaan dari temannya yang monoton Marni memberanikan
diri untuk menguap.
“ngantuk tah mar?” tanya Toni yang melihat Marni menguap dan menutup
mulutnya dengan telapak tangannya. Terlihat jelas warna kulitnya yang kuning
langsat.
“iya lumayan, gara-gara tugas numpuk kih” jawab Marni enteng.
“ya wis gah mar, reange pamit” berselang Ispa pamit undur diri.
Dan keduanya pun berpamitan hyanya kepada Marni, sebab orang tuanya telah
tertidur pulas di ruang tengah. Setelah mengantar kedua tamunya sampai depan
bibir pintu, Marni pun mengunci rapat pintu tersebut, mengingat beberapa hari
lalu terjadi pembobolan rumah yang di lakukan oleh sekelompok tamu tak di
undang.
**
Mendung berlalu berganti teriakan
mahluk nokturnal dengan
hiruk-pikuknya menyambangi bintang yang mulai terlihat di sela-sela awan yang
tersisa. Alunan malam menerka siapa saja dengan gagah berani membelah kabut
malam.
“dul kopie asat kih” bentak Rudi membangunkan lamunan dul yang sedari
tadi fokus dengan smartphonenya.
“igah banyu sumur kebek rud. Ko gah tanggung igih
lagi ana berita viral irah rud” dul menjelaskan alasan maksud lamunannya.
“berita apa sih dul?, kosi ora ketip-ketip acan
ya” tanya Rudi penasaran.
“ana wong kesamber gledeg rud, ning desa Purwa,
jare beritae sih sebab kesambere kuh gara-gara gawa hp ning sawah pas jagat
udan karo gledeg jemeder rud” dengan sedikit konsentrasi dul menjelaskan kepada temannya yang mengeluh
karena kopinya hampir ngampas.
Belakangan sering terjadi kejadian yang senada, manusia tersambar petir di
pematang sawah. Dan pihak pertanian. Baik pemerintah atau kelompok tani
belumlah terdengar adanya sosialisasi tentang bahaya membawa ponsel jatau
smartphone ke sawah pada saat cuaca hujan lebat, terlebih dengan banyaknya
petir.
“ah berita
umum kun sih, saban usum udan, berita bli adoh-adoh banjir, longsor, wong
kesamber gledeg” Rudi
menapik kehebohan pikiran dul.
“lamon beritae ning salah siji daerah ana udan
duit mbuh udan lamuk kah ya nembe ebat dul”
“wongedan mangan kesed baka sira gah rud” dul menepiskan narasi Rudi yang wajahnya
mulai terlihat tak menyenangkan.
Dengan sedikit tertarik Rudi menjelaskan kepada kolega ngopinya “ya
adate gah jagat maya dul, berita mbuh kapan jamane di repost maning, di tambai
setitik, di ubah waktue, atau berita sing bli pentingkah di geger-gegeraken.
Yah adate gah wong luru duit ning jagat sing serba apa-apae cukup di duil. Coba
bae perhatiaken berita sing mambu-mambu agama, pasti rame bli puguh dul”.
“bagen hoax atau berita bohong gah, sikat bae” dengan juga mata yang sama fokus ke layar
smartphonenya Rudi masih menguraikan komentarnya.
“mbuh gah rud, durung ngarti tamah” dengan menghempaskan asap yang mengepul
dari mulutnya, dul mulai mencerna apa temanya ucapkan barusan.
Di pelataran rumah dul yang lumayan luas, di kelilingi reumputan yang liar
serta beberapa jenis tanaman bunga, keduanya duduk berhadapan namun dengan
pembicaraan yang irit, sebab kedua-duanya sibuk memperhatikan layar
smartphonenya masing-masing. Sehingga apabila dari kejahuan maka yang terlihat
hanya pancaran wajah kedua manusia tersebut yang di hasilkan dari pantulan
smartphone masing-masing. Empat batang rokok Apache masih tersisa di bungkusnya
dan satu gelas kopi yang hampir menysakan ampas masih terlalu setia untuk di
terkam oleh kedua manusia yang sibuk tersebut.
“rud, ira kelingan boca wadon sing mau sore liwat
bli?” dul mencoba membuka
pembicaraan setelah hampir jenuh dengan smartphonenya.
“boca sing pien dul?. Sing raine pengok tah sing
cungure ning batuk?”
dengan cengengesan Rudi menjawab sekenanya.
“kah, kumat bli kunuh. Ih sing mau sore numpak
motor Beat kah Rudi boca plonger” dul menjelaskan dengan sedikit kesal kepada temannya itu.
Sambil mengangkat kepalanya ke langit lepas, Rudi mencoba menerka-nerka
ingatannya kepada sesosok wanita yang di lihanya temaram tadi.
“oh iya boca kaen kah, ya allah mahluk ciptaane
pengeran sing bagus kah dul. Kaya Putri Iklan lamon jare lagu sih” dengan mengecapkan mulutnya“raine kosi adem, awake bapuk beli, gering ya
beli. Proporsional atawa semok jare uwong-uwong sih, ditambah kudungan pisan ya
tambah gembelng mayeng ya boca kah dul” tanpa sadar, kembali Rudi memuji apa yang telah di
saksikannya, meski berlalu tapi imajinasinya liarnya masih bisa
mengilustrasikannya dengan mudah.
“ah lebay baka rainira gah rud. Bagus kanah rud,
kayae lamon ngomongkah suarane kayangapa ya?” dul menampik apa yang barusan di ilustrasikan
temannya itu.
“kaya tikus kegencet lemari”
“ya kaya konon iku dul abdul. Toli kon kayangapa?
Kaya Syahrini tah suarane? Tah kaya bayi bocah dau blajar ngomong konon? Sembari membuka tawa lepas Rudi mengejek
temannya yang mulai di hingap rasa penasaran dengan sosok wainta bermotor beat
itu.
“ya bli kah rud, lamon ketemu kah arep kenalan
rang busung. Daripada kebayang bae, kayae seumpama turu-turu gah bli lali,
mangan-mangan yan bli ngeli” senyum mulai mengembang dari bibir abdul yang telah selesai menerbangkan
kepulan asap dari mulutnya.
Dengan sigap Rudi memegang jidat temannya dengan telapak tangan bagian
luarnya “adah bature reng lagi fallin in love rasane mah”
“tapi ya bli papa. Allhamdulillah, dari pada saban
dina dolane karo sabun bae” dengan tawa yang sama Rudi mengejek temannya.
“angger sira sih rud. Temenan rud, ko ya kapan bae
waktue baka tinemu dalane mah pasti ketemu maning. Jare rohim sih gravitasi
bumi juga pasti bisa memepertemukan dua hati yang sejatinya berjauhan” nada optimis dul mulai terpancar.
Rudi meletakan smartphonenya, dan dengan rasa penasaran akan apa yang
menggandrungi pikiran temannya, Rudi memperhatikan mimik dan gestur temannya.
“ya wis dul, baka irae niat sih ko gah ana dalan,
sing penting kelawan niat jare wakajie kah”
“wong gulati fbe ya keder ya baka bli weru arane
sih, arep takon-takon ning sapa wong lagi mau sore kah laka uwong-uwong ning
jondole kah ya” Rudi
menyakinkan temannya.
“ok rud, semoga bae ya dadi dalan” mata dul kosong.
“dalan banyu? Dampyang[5] tah?
Rudi kembali dengan
humornya dan mengambil satu batang Apache yang sejak tadi belum terjamah.
“koplok!!, dalan jodoh tah priben wong mah. Kun
sih dalan banyu je”
kekesalan dul mulai tampak.
“ya sing jelas dul ngomong kuh” Rudi meyela.
“nyangkne gah irae berdo’a sing kerep dul, bari
teori gravitasi sing di ajaraken ning rohime kah butul bin mempan”
“ok siap rud” dul kembali menampakan keoptimisannya.
Angin malah lambat-lambat menghujami kulit kedua manusia itu, nyanyian alam
pun tak mau kalah dengan bintang yang mulai menumbul dari balik peraduan.
Sementara nasib kopi yang sedari tadi tak terjamah hanya bisa meyaksikan kedua
manusia yang membicarakan romantisme basi, namun raungan kucing yang hendak
menyampaikan birahinya telah memcahkan kehangatan percakapan kedua manusia itu.
“Kucing koplok!!” mulut Rudi dengan cekatan menyumpahi.
“kawin ya kawin bae kah aja ganggu mahluk sejene,
kalesan satoan!!. Bli weru jagat bengi apa ya” Rudi menampakan kekesalannya.
Dengan tertawa dul menimpali “lamon menusa kawin modele kaya konon kah
bangkar ya”
“live steaming, aja kesuen” Rudi menambahi.
“setan!”
**
Halimun mulai terkikis semenjak sang fajar mulai meninjukan sinarnya, ayam
yang telah mbedal[6]
sudah terlihat asik mengaruk-garuk tanah untuk mencari secuil makanan yang
tersisa. Angin pun masih enggan berhembus, menyaksikan manusia yang dengan
segala rutinitasnya mulai memadati jalan silih-berganti, ada yang berseragam
sekolah dan menuju balai pendidikan tersebut menggunakan motor bagi yang
berpunya dan bersepeda bagi mereka yang hidupnya serba pas-pasan. Mang Burhan
masih asik di depan rumahnya setelah menyantap sarapan buatan istrinya dan
sekarang hendak menuju ke sawah. Dengan mimik muka kosong dan Apache kretek
terselip di jari tangannya, mang Burhan asik menyapa siapa saja yang lewat di
depannya, seolah ia tak punya salah dan familiar terhadap semua manusia yang
dari tadi berlalu lalang di depan mukanya.
“mangkat nok?” sapa mang Burhan
pada segerombolan anak-anak remaja tanggung yang hendak menuju sekolahnya.
“iya mang. Mangga” salah satu dari mereka membalas sapaan mang Burhan
dengan senyuman ABG yang khas.
“sing pinter-pinter cah sekolahe” sahut mang Burhan.
Dengan tatapan kosong mang Burhan merasakan sesuatu dalam pikiran dan juga
hatinya, seperti merasakan sebuah kehampaan tanpa di milikinya seorang
buah hati. Dan memang sudah sejak
lama mang Burhan dan bi Rati belum dikarunai seorang anak pun, sehingga apabila
ia melihat iring-iringan anak yang menuju ke sekolah selalu terenyuh hatinya. Segala
upaya yang telah di tempuhnya belumlah membuahkan hasil. Dari medis hingga
magis pernah dilakoni oleh pasutri itu, namun sepertinya Tuhan memiliki rencana
lain untuk keduanya.
“ayuh mangkat kang” suara bi Rati merobek lamunan mang Burhan.
“kih wis tek gawa pesenane dika kang, iwak peda
karo jangan asem wis ning rantang kabeh” dengan langkah yang berhati-hati berjalan keluar
menuju rumahnya. Kakinya yang terkena ceceran keong mas tempo hari belumlah
sepenuhnya sembuh, hingga terkadang ia harus menggunakan tetekan[7]
untuk berjalan menuju mushala setiap maghrib.
“jare kita kuh wis aja meng sawah maning mimikuh,
ngumah bae uis. Sikil masih kaya konon kah ya” dengan memperhatikn cara berjalan istrinya, dan
dengan memikul cangkul mang Burhan memasang air muka yang cemas.
“wis gah endah kang, mader semene bae sih biasa” dengan nada tegar bi Ratih terus
memperbaiki caranya berjalan.
Belum terlalu jauh dari rumahnya, terlihat Kipli sedang menikmati secangkir
kopi hitam dengan rokok kretek kesukaannya, juga masih dengan menegenakan kaos
bergamar logo Marlyn Manson dan bawahan hanya mengenakan boxer bermotif
kotak-kotak. Dengan tatapan penasaran, mang Burhan teringat dengan apa yang dul
ucapkan kemarin sore.
“pli, jare sira kuh di udag-udag kirik wingi kuh?”
tanya mang Burhan
bersamaan dengan buyarnya lamunan pagi Kipli.
Dengan aksen yang datar Kipli menjawab “alah boca tlenges kanah mang,
batur sengsara malah gemuyu bae toli di tinggal kloyong lunga mbuh mendi” kepulan
asap kretek memang lebih banyak dari rokok jenis filter aapalagi mild, hingga
air muka Kipli terlihat samar oleh kepulan asap hasil ulah mulutnya sendiri.
“aih dadi bener?. Ya sira kuh toli mlayu kedik ya,
benere sih baka kirike nyokot ya cokoten maning” ledek mang Burhan sambil berlalu dengan teman
hidupnya.
Dengan nada yang kesal, Kipli mencoba mengalihkan fokus pertanyaan “ari
dika arep ning sawah ndi mang?.”
“sawah sing laka kirike pli” jawab mang Burhan santai.
Dengan berlalu dan membiarkan Kipli ke dalam lamunan liarnya, ditemani kopi
hitam dan rokok kretek kesukaannya Kipli masih sibuk dengan aktivitas jemarinya
yang di sibukan dengan menjepit sebatang rokok menepiskan sisa mimpinya
semalam. Dalam benaknya terpikirkan kedua sosok temanya yang kemarin
meninggalkannya, dul dan Rudi, hingga mang Burhan mengetahui peristiwa yang
menurunkan reputasinya sebagai pemuda yang sangar dan terkenal dengan
kebengalannya.
“awas bae boca kah, gawe reang isin bae rang” merasa harkat dan martabatnya sebagai berandalan
kampung terusik, Kipli mulai komat-kamit mengeluhkan apa yang kedua temanya
informasikan kepada tetangganya itu.
Posting Komentar