[ads-post]

Pict : Google
Siapa aku dalam kubangan eksistensi? Tiada, aku hanyalah sampah sampai di pungut oleh pemulung yang baik hati. Masih dalam kubangan eksistensi, yang hingga kini merajai cakrawala kehidupan, aku masih tersudut dalam diam, menata dan menyapa siapa aku dalam kehidupan ini. Tiada menghasilkan apa-apa, serta hanya menjadi beban bagi bagian terkecil negara, keluarga, untuk menutupi rasa malu atas keluarga, maka dengan lapang dada mencoba sekuat hati untuk tidak mengeluh sedikitpun atas apa yang terjadi, contoh terkecil adalah ketika makan dengan nilai gizi yang sangat sedikit. Catatan terburuk dalam hidup adalah ketika ia menjadi pengangguran.

Maka menjadi konsumen di tengah derasnya arus konsumtif, demi eksistensi itu sendiri, tak menghasilkan suatu apapun!. Iya, hingga semua pun seolah tak mengenalku, barang sedikitpun, mereka sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, dan aku siapa bagi mereka? Hanya sampah!. Kadang sedikit berpikir bahwa inikah yang disebut dengan sampah, sampah yang menyumbang di antara arus selokan, yang dengan adanya menjadi sebuah bencana. Kurang lebih memang demikian. Atau barangkali seorang bijakbestari mengatakan “diam adalah mati,” yah memang seperti itulah adanya eksistensi diri pada saat ini, semuanya tertutup rapat, dan gelap yang merajai alam pikiran ini. Akan pada siapa lagi mengadu? Pada rumput hijau yang mengalun di antara deru angin? sudah terlalu sering. Di gulungan ombak? Ia bisu kadang pun menertawakan.

Sekali lagi bahwa diam sama dengan mati! Camkan dalam hati, bukan dipikiran serta angan kosong para pemimpi – seperti aku. Jalan yang tertutup, pintu penghasilan yang belum terbuka adalah sebuah masalah bagi seorang pemuda yang beridiri di tengah masyarakat yang menuntut seorang pemuda haruslah berpenghasilan, terlebih kaya raya. Sebab kata seseorang lagi, bekerja bagi seorang laki-laki adalah harga diri! Ya sebuah harga diri, yang harus ditebus dengan mahal oleh semua orang yang menginginkan pangkat serta derajat, tak peduli cara serta jalan apa yang di tempuh, asalkan bekerja!. Apa yang hendak diharapkan dari seorang pengangguran, yang segala tindak-tanduknya hanya di kicaukan oleh manusia sekitarnya, that’s right itulah manusia. Manusia yang hanya mempersoalkan bagaimana seorang itu harus kaya, untuk membeli segalanya, hingga pekara rasa dari seorang manusia itu sendiri pun bisa di beli!.

Di sana-sini sudah banyak kicauan yang ‘terdengar merdu,’ kalimat sarkas hingga metafora menjadi sebuah kata yang nyata akrab di dengar. Betapa asiknya menyaksikan ucapan demi ucapan manusia itu, ia mengeluarkan bisa namun tak terasa olehnya. Sikap sinis berlebih adalah makanan sehari-hari, tinggal bagaimana menyikapinya dengan penuh keacuhan, jika bisa dengan ucapan kegilaan, sebab efek dari ucapan adalah depresi untuk satu waktu yang panjang. Ya, depresi yang terus hinggap di kepala yang hingga pada ahirnya mengutuk diri, adalah perasaan paling lemah yang di miliki oleh manusia, namun dengan ucapan-ucapan seperti itu bisa menajdikan cambukan bagi diri ini, untuk terus mecari cara untuk terlepas dari kubangan konsutif itu. Betapa sakitya!. Apa yang di katakan adalah hal biasa jika di bandingkan dengan tatapan prejudis – manusia lagi, yang hanya menyiratkan tanya bagi diri ini, lebih baik di ucapkan meski sakit!.

Satu waktu kadang akal ini tersadar; bahwa diri ini bukanlah apa-apa, bukan siapa-siapa, dan tak memiliki apa-apa. Hal demikian yang terkadang membuat segala langkah menjadi tak terkendali, dan ingin pergi jauh menuju masyarakat baru yang lebih produktif, sebagai acuan untuk terus mencari jalan, untuk suatu harga diri! Membuat sepenggal kalimat pun tak sanggup lagi, membuat orang di sekitar tersenyum atau tertawa bahagia – apalagi, terlebih menolong orang lain. Diri ini masih memerlukan uluran tangan orang lain, bukan makian, bukan cemoohan, dan juga bukan hinaan yang kerapkali di dengarkan serta di rasakan. Betapa terlukanya nurani ini, betapa bodohnya diri ini, hanya bisa melihat semua orang tertawa bahagia dengan kekayaannya, namun diri ini tak bisa melakukan apa-apa. Hanya sebaliknya – di tertawakan! Dan memang, setiap harinya hanya dipenuhi oleh angan-angan semu, mengepulkan asap tanpa makna yang lenyap terbawa angin lepas.

Dan di sinilah waktunya belajar untuk memahami pola perspektif masyarakat yang mendiaspora tersebut, akan apa yang di sebut pengangguran desa, dan bahkan pemuda desa dalam arti sempit ialah tiada jauh dari pengangguran itu sendiri. Sebab apa pemuda desa bisa di masukkan dalam grid pengangguran tersebut?. Pertama, desa bukan seperti yang ada dalam pandangan pada umumnya, atau dalam arti desa bukanlah sesuatu hal yang menarik bagi anak muda – yang telah lulus menempuh jenjang pendidikan, juga dengan hanya berorentasi kepada lapangan kerja seperti laiknya kota. Kedua, apabila ada instansi negara sekelas BUMN membuka lapangan kerja, pekerja profesional, maka pemuda desa yang tiada memiliki lobi atau koneksi (baca; orang dalam), sehebat apapun ia, secerdas apapun dia, terlebih progresif, maka besar kemungkinannya akan tersingkirkan oleh tradisi dan budaya nepotisme tersebut. Dan jelas ini semakin menambah kebobrokan atas regulasi desa tersebut. Ketiga, domniasi partai adalah menjadi manuver terhebat dalam ajang perkrutan tenaga keja profesional dalam membangun desa tersebut, setelah arus nepotisme yang tiada terbendung tadi. Kenapa partai? Ia adalah alat yang sangat kuat dalam tataran fraksi, sehingga apabila bukan kader atau simpatisan dari partai tersebut maka siap-siap di singkirkan. Keempat, apabila melamar pada perusahaan namun tanpa uang pelicin maka nasibnya pun tiada jauh berbeda; unselected. Dan seperti inilah dilema serta semrawutnya dunia alam kerja, siapa yang dekat dan siapa yang berpunya ia menang dalam segala hal, dan omong kosong moralitas. Menjadi penjilat atau penghianat adalah hal tak kasat mata, asalkan menghasilkan suatu benda maka itu adalah hasil dari kerja. Betapa menyebalkan.

Dan sekali lagi, adalah hal tiada mungkin aku dalam pusaran konsumtif dan eksistensi yang meraja mejadi paduka. Sampah yang akan selalu kalah oleh desir angin dan di tendang bergantian kaki. Kapanpun faktor X adalah keajaiban di tengah sihir materialisme, dan siapa pula aku dalam X tersebut, hanya pendosa yang selalu mengotori taburan bintang dengan ide jalang. Merupakan hal yang tak ternilai pada era ini apabila masih terdapat pemuda yang masih bertahan di desa, ya di tengah mahalnya sebuah obrolan saat bersua bersama teman sejawat. Namun tidak sesederhana itu, masyarakat perlu bukti konkrit, selelpas sekolah ya bekerja, dengn barometer keberhasilan kerjanya adalah motor. Sekali lagi persetan moralitas!. Empat pemaparan singkat tadi adalah sebuah kunci menuju dunia kerja idaman, dan jika mengabaikannya maka bersiaplah dengan stigma pengangguran yang di hujami dengan tatapan perjudis.                     

Selasa, 20 Desember 2017

Ahonk Bae

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.