[ads-post]

Beberapa hari ini tak lagi mendengar kata kemanusiaan atau biasa di lontarkan dengan kata humanis, yang sering di dengungkan oleh banyak manusia yang sedang belajar menjadi manusia, lelah atau tak mendapatkan dukungan, mungkin sudah saatnya kata itu tidur, mungkin. Kata itu biasanya timbul dari sanubari atau dari hati yang dalam, biasanya, kemudia juga yang mendengungkannya merupakan manusia yang berbudi dan memiliki kepekaan yang ekstra, katanya lagi. Tapi entahlah.

Oh ya, hari ini adalah hari tepat di mana manusia baru lahir. Ya manusia baru, kata manusia itu terlalu sakral, jika hanya di dengungkan dalam lisan semata, artinya nihil dalam praktiknya. Sehingga kata yang sakral itu kini berubah pemaknaanya menjadi sesuatu yang umum atau lumrah, sebab apa yang melatarbelakanginya, masih misteri tentunya. Pasalnya hari ke hari kata itu semakin lanyah diucapkan oleh banyak lisan, tapi tetap, tidak berimbas kepada apapun. Kalimat sarkas serta nynyir masih di jumpai di sana-sini, hujatan merajalela, kedengkian tumbuh subur sebab berbeda. Manusia? Lupakanlah. Skema bisu kemanusiaan telah pergi bersamaan dengan perginya idealisme atau prinsip seorang manusia itu sendiri, jadi lupakanlah. Menjadi diri sendiri pun sulitnya tak terbayangkan, apalagi memberikan khotbah-dogmatis dengan harapan pendengarnya seperti apa yang dikhotbahkan tersebut. so is crazy. Tapi inilah realitanya, semua orang kadang dipaksa untuk ikut dengan kita, seperti kita, yang dengan asumsinya telah menjadi manusia, meminjam istilah Nietzsche Uber mens “Manusia Unggul”, memang menggiurkan dengan apa yang ucapkannya, terdengar asik dalam imaji, namun gersang dalam implementasinya. Oh shit.

Terdapat sesuatu yang janggal sepertinya, ketika memasuki gerbang menuju bulan kemerdekaan, namun di dalamnya masih saja terdapat sekelumit permasalahan, sosial tentunya. Sehingga kembali pada manusia itu, apa itu manusia? Apa sebatas mahluk hidup yang berakal, sebuah kelebihan katanya, tapi apa yang di lihat dan di dengar berbeda ya, mungkin kata itu memang bagi mereka yang secara jasadi merasa telah menjadi manusia, tak apa nir-maknawi juga. Manusia baru dalam penghujung Juli, menjelang umbul-umbul kemerdekaan dalam raung tangis menuju kemerdekaan, dalam peliknya suatu persoalan menuju kemerdekaan itu. Merdeka yang sejatinya merdeka, bukan retorika atau epigram-epigram dalam baliho, namun merdeka sejak dalam pikiran, kata Pram jika ditarik sedikit, dan memang mahal kemerdekaan itu, sehingga kadang tangis bayi menjadi saksi sebelum ahirnya darah tertuang dalam tanah, demi merdeka. Persoalan manusia, manusia yang yang ideal, yang tidak terseret oleh gelombang besar dan mampu berdiri dalam terpaan angin adalah manusia baru, baru dalam arti langka, sebab menjadi diri sendiri pun sejatinya adalah merdeka itu sendiri. Tidak terbawa oleh arus dominan. Tidak membual kemanusiaan namun tanpa mengerti apa itu manusia, yang kini disaksikan dan dipertajam dengan media yang juga tak kalah lantang mebicarakan manusia. Apa tidak cukup mengerti dengan tangisan dan darah yang meti tercecer? Bukankah itu juga manusia dan persoalan kemanusiaan itu sendiri. Tapi manusia tidaklah menjadi heran apabila melupakan kemanusiaannya. Hanya memenuhi insting-instingnya semata, hingga pada ahirnya manusia adalah hanya populasi kebencian yang terakumulasi dalam perihal kemanusiaan, dan bukan sejatinya manusia.

Didekatkan dari manapun manusia sejatinya adalah proses, sebab dibekali akal jika orang-orang mengatakan, hingga bagaimana ia kelak menjadi manusia maka peranan aka itu yang akan bermain di dalamnya, kemudian hati sebagai pangkal dari aka itu. Tataran tertinggi dalam proses menuju manusia itu, adalah hati. Manusia menemukan kemerdekaannya dalam ketundukan penuh pada kehendak Negara. Jika individu sepenuhnya sadar dengan misi besarnya di dunia dan makna kehidupan manusia, ia tidak membutuhkan agen di luar kesadarannya tersendiri untuk menunjukan arah tindakannya. Tetapi manusia tidak dibentuk demikian; sebenarnya ia hanya tau bagaimana menggunakan kebebasannya untuk memenuhi naluri dan keinginannya sendiri. Oleh karenanya, sudah tiba masanya manusia “kembali pada visi kedudukannya yang sebenarnya dalam semesta; sudah tiba waktunya bahwa ia belajar mengekang dan menguasai dirinya sendiri; sudah tiba masanya bahwa kebebasannya dicabut darinya jika ia menyadari tujuan tertinggi dari kehidupan: perkembangan Roh. Begitu kata Palmieri dalam sebuah esainya.  

Sabtu, 29 Juli 2017


Ahonk bae

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.