Dalam kehidupan terdapat beberapa yang
menjadi sebuah tendensi dalam menjalani kehidupan ini, seperti keyakinan dan
apa yang yang dipercaya. Keduanya berasimilasi menjadi satu dalam diri manusia,
sehingga pilihan-pilihan dalam kehidupan manusia pun akan disertai dengan
keyakinan-keyakinan tertentu – agama contohnya. Seperti dalam sebuah relasi
antar manusia dalam kehidupannya, sebab manusia tidak bisa hidup dengan cara
individualistis, manusia pasti memerlukan bantuan orang lain, dengan istilah zom
politicon yang pernah ditandaskan oleh Agus Comte, serta dalam realitasnya
memang demikian – saling membutuhkan atau simbiosa.
Dan keyakinan yang dimiliki atau dipegang
oleh seorang manusia merupakan sesuatu yang sangatlah primordial serta fundamental,
dan hal itu tentu tidak bias digangu-gugat oleh siapapun. Karena memang kayakinan adalah sebuah kinerja
akal setalah indera tak mampu merefleksikannya, seperti apa ayang dikatakan oleh
Immanuel Kant ; “faith start when reason stop.” Dan pula apa yang
terjadi pada tataran kepercayaan biasa, karena terdapat kata Trust dan Faith,
yang tetntu melahirkan out put yang berbeda dalam implikasinya, kata Faith
umpamanya, ia berlaku pada tataran keimanan yang erat kaitannya dengan agama,
kata Trust di peruntukkan untuk tingkat yang, setara dalam sebuah relasi
seperti kepada sesama manusia lain. Akantetapi kedua kata tersebut sering
direduksi pemaknaannya, atau lebih banyak menggunakan kata Trust
tersebut untuk keyakinan yang memiliki nilai agama. Dan seperti kata Nietzsche
bahwa “kekeliruan, apa pun saja, adalah konsekuensi dari degenarasi insting,
kehancuran kemauan.” Namun sudah semestinya bahwa reaktualisasi terhadap kata serta maknanya dalam kehidupan ini
tetapa terjaga, sebagai cagar budaya atau apapun penamaannya, karena dengan
kekeliruan-kekeliruan tersebut dapak fatal, lagi kata Nietzsche dalam sebuah psikologi
kekeliruan-nya; “dalam setiap kasusnya penyebab dikelirukan sebagai akibat;
atau akibat yang dipercayai sebagai benar, dikelirukan sebagai kebenaran;
atau keadaan sadar dikelirukan sebagai penyebab keadaan ini.”
Belum lagi dalam sebuah teori hukum islam
yang mengatakan;
اليقين لا يزل بااشكٍ
“keyakinan
tidak bisa dihilangkan dengan keraguan”
Oleh karenanya
menjaga dan merawat keyakinan adalah perlu, terlebih di tengah kemelut
kehidupan yang carut-marut seperti saat ini. Keyakinan, iman, atau ideologi
adalah menjadi mahal dalam derasnya arus ketidakwarasan serta keobjektifan
dalam memandang segala sesuatu, dan kebalikannya, subyektifitas adalah raja. Dalam
kasus pernikahan beda agama umapanya, sering menjadi cekcok yang hebat, karena
di dalamnya terdapat hal yang logis dan tidak logis. Logisnya; ialah sebuah
keberlangsungan kehidupan manusia dengan jalan perkawinan. Dan tidak logisnya;
agama melarang hal tersebut yang, bagi mereka hal itu merupakan sesuatu yang
dilarang, lengkap dengan hujjah-nya. Dan lebih menyakitkan adlah hal
tersebut terjadi berulang kali dalam kehidupan ini. Minimnya wawasan keilmuan
terkadang membuat seseorang gelap akan sebuah pandangan, karena keengganan
serta tadi, keyakinan yang terbentuk dalam dirinya telah kokoh bak beton, dogma
yang di dapatkan yang entah dari mana datangnya, namun telah membuatnya tegak
dan tak terpatahkan.
Keyakinan yang
kokoh (baca; prinsipil) kadang menjadi boomerang terhadap penganutnya, tanpa
adanya sifat yang lentur atau fleksibel dalam pola relasi-sosialnya, keberagaman
dan keindahan tak akan pernah ada apabila kita hidup dalam satu warna. Maka
keyakinan pun ahrus sesuai kadar dan proporsi yang tepat, serta toleransi diri
yang menjadi kunci atas kenyamanan serta keamanan semua mahluk, nilai
universalitas yang harus dijaga dan dirawat bersama. Keberagaman serta menerima
secara kaffah bahwa dalam kehidupan ini bukan hanya hitam dan putih
semata, masih banyak keyakinan-keyakinan yang tidak ada sangkut-pautnya sama
sekali, seperti para penghayat dan pelaku sinkretisme terhadap alam, tanpa
saling mendiskreditkan pemeluk agama-agama lain yang berbeda, saling
menghormati dan menghargai, sebab sesama mahluk Tuhan yang sama yang mana dari
semua mahluk menundukan egonya masing (ego-sentris). Seperti pernyataan iman
yang dituliskan oleh Karen Armstrong mengenai iman dalam Islam dalam Masa
Depan Tuhan-nya; “Iman adalah perbuatan yang dilakukan manusia; mereka bagi
keyakinan mereka, mengerjakan ‘amal yang adil’ (shalihat), dan
menundukan tubuh mereka ke tanah melalui tindakan knosis yang menipiskan ego (shalat).”
Dan oleh karenanya
keimanan memegang kendali besar dalam kehidupan seorang manusia, ia sebagai
sebuah kontrol kesadaran (baca; taqwa) dalam menjalani kehidupan seperti saat
ini, karena dengan keimanan yang kuat serta tidak kaku dalam menerima
hal-hal yang baru, maka kedamaian akan terwujud dengan sendirinya, karena
selain sebagai parameter keimanan, taqwa juga dapat menyambangi nilai-nilai
kemanusiaan yang sama sekali terbaikan saat ini. Anarkisme dan radikalisme yang
merajalela yang, lagi-lagi mengatasnamakan agama menjadi sebuah representasi
atas terreduksinya sebuah keimanan, karena keimanan tak ayal seperti sebuah
gelombang frekuensi yang tidak stabil sama sekali. Dan karenanya pula iman
perulah mendapatkan asupan gizi yang memadai, sebab kehidupan seorang manusia
tidak bisa lepas dari tiga faktor penting di dalamnya; moral, spiritual dan
intelektual yang saling bersinergi. Iman sambung Karen Armstrong, adalah
wawasan praktis dan komitmen aktif; tak banyak kaitannya dengan keyakinan
abstrak atau dugaan teologis.
pict by: google
Posting Komentar