[ads-post]

Banyak sekali bahasa untuk mendiskreditkannya, dari mulai Hetaira, Pelacur, Lonte, Slindet atau Telembuk sekalipun. Semata-mata bahasa tersebut hadir dengan sengaja untuk memberikan ruang yang mencela atau mencemooh seseorang melakoni profesi yang amoral tersebut. ditinjau dari beberapa perspektif, agama dan pendidikan sekalipun, maka pekerjaan tersebut merupakan sebuah pekerjaan yang hina-dina, akantetapi siapa yang menafikan sebuah siklus ekonomi yang erat kaitannya dengan iklim kerakusan di dalamnya?. Sehingga dengan adanya kerakusan yang bermuara pada korupsi yang jelas sekali menyengsarakan rakyat, maka sesuatu hyang masif pun dilakukan demi kelangsungan hidup seorang manusia. Yang dengannya pergulatan perekonomian menjadi chaos dalam tiap sektornya, dari mulai produksi dan yang berahir pada konsumsi.

Dalam novel Telembuk besutan Kidung Darma Romansha dari Indramayu, menceritakan peliknya kehidupan seorang Safitri alias Diva Fiesta alias Susi bahkan juga dalam ending novel tersebut menjadi perdebatan antara Pipit dan Safitri tersebut. dengan banyaknya nama penokohan yang mengambil nama tersebut dari nama-nama orang khas desa, seperti Kaslan, Carta, Mukinin dan masih banyak lagi. Namun yang lebih penting dari deretan nama tersebut ialah Mang Alek dan Mak Dayem, sebab Mak Dayem dalam cerita tersebut sebagai seorang mucikari atau germo atas Diva sendiri.

Novel tersebut terdiri dua bab besar. Pada fshl pertama terdiri dalam 43 dan yang kedua terdiri dari 29 bagian dan dalam prolognya merupakan suatu sambungan atas cerita Kelir Slindet yang hingga kini menjadi Telembuk itu sendiri, namun perlu dijelaskan bahwa penulis mengasumsikan bahwa slindet ialah istilah yang dipakai untuk menyebut wanita tuna-susila yang dalam umur belasan atau yang pada saat ini lebih populer dengan sebutan kimcil. Dan trlrmbuk sendiri ialah untuk usia yang sudah dewasa, atau bisa klasifikasikan kisaran usia 20 tahun ke atas. Kembali, bahwa novel tersebut banyak bercerita mengenai perempuan yang menggeluti profesi sebagai penyanyi organ (baik panggung atau keliling) yang, seperti Safitri atau Diva merangkap sebagai telembuk itu senndiri. Selain itu dalam novel tersebut di ceritakan sejarah mengenai konflik agraria antara petani dan perhutani pada tahun 1964, selain juga menceritakan tentang pergerakan DI/TII (Darul Islam), sejarah Cikedung sendiri, yang dalam hal ini menjadi setting bagi novel tersebut. di barengi dengan bahasa Indramayu, seperti koplok, kirik, kopok dan lain sebagainya.   

Yang menjadi keunikan atas novel tersebut ialah tokoh yang keluar untuk memprotes sang penulis (dalam hal ini Aan) yang terselip dalam bagian novel tersebut. dan mungkin ini menjadi tema besar penulis yang ingin keluar dari pakem penulisan novel-novel mainstream. Sebab secara umum penulisan novel mengalir dalam dialognya, tanpa menyendat cerita dengan munculnya para tokoh dalam novel tersebut, apalagi untuk memprotes. Hingga pembaca dungu seperti penulis ini menerka bahwa novel tersebut berangkat dari sebuah realitas nyata pada daerah tersebut, walau kadang penulis juga melihat bahwa persolan telembuk itu sendiri bukan hanya ekonomi semata, lebih dari itu persoalan psikis yang yang dialami oleh telembuk pada masa lalunya, seperti yang di tutur oleh Safitri dalam bagian-bagian ahir cerita.         

Hingga tak ayal, kekacauan tersebut memaksakan manusia seperti Safitri dan Pipit yang, dalam entitas terkecilnya dapat tergelincir pada lembah yang dikatakan hitam oleh kalangan umum. Dan profesi telebuk memang hadir di tengan kekacauan tersebut, sebagai sebuah representasi dari adanya ketidakstabilan akan ekonomi tersebut – selain sebagai profesi mapan – pada saatnya. Dari berbagai motif dan berbagai modus telembuk memang ada, dan tak dapat di pungkiri bahwa pekerjaan tersebut merupakan sebuah pekerjaan yang tergolong instan, yang memang tidak di perlukan modal yang terlalu banyak, hanya postur tubuh yang indah, kecakapan dalam berkomunikasi, serta relasi yang luas (baca; jaringan). Yang dengannya maka pundi-pundi rupiah akan segera di dapatkannya dengan mudah dari hanya ‘menjual’ tubuhnya tersebut. Kembali, dalam berbagai persoalan tentu memiliki konsekuensi di dalamnya, tak terkecuali telembuk sendiri, selain ancaman virus HIV dan AIDS ancaman dari pihak keamanan setempat juga menjadi sebuah ganjalan akan kelangsungan pekerjaannya tersebut. Pekat, atau penyakit masyarakat yang seringkali melakukan sweping pada saat-saat tertentu – ramadhan contohnya. Menjadi suatu ancaman serius untuk kelancaran bisnisnya. Meskipun muchikari atau germo kadang memberi ‘salam tempel’ kepada pihak keamanan tersebut, tetap saja, pendapatan untuk hal itu harus di ganti oleh anak karyawannya yang dalam hal ini telembuk itu sendiri.

Dan dari sisi medis ancaman HIV dan AIDS sendiri telah luput dari perhatian, sebab telembuk merupakan suatu pekerjaan yang di luar struktur ‘normal’, sehingga hanya tiap personalnya saja yang dengan sadar memeriksakan dirinya pada pihak medis tersebut. Maraknya keduanya penyakit tadi tidak membuat surut profesi yang terus di jalankannya itu, malah semakin ‘gencar’, hal ini tentu di dukung oleh kemampuan teknologi yang mapan pula, katakan saja prostitusi on line yang memiliki jumlah follower yang tidak sedikit setidaknya menjadi qarinah atas menguatnya kecenderungan akan adanya ketertarikan akan individu pada ‘kupu-kupu malam’ tersebut, walau dalam novel tersebut fasilitas seperti internet belum merambah, hanya sebatas ponsel atau HP yang bisa mengirimkan pesan. Dan sekali lagi, siapa yang menafikan ekonomi dalam himpitan korupsi yang meraja? Di saat semua kebutuhan dasar manusia primer hingga tersier mencuat dengan dahsyatnya. Sementara pendapatan hanya dalam posisi stagnan, dan sudah di pastikan penghasilan tambahan di perlukan sebagai penunjang kelangsungan hidupnya.

Prostitusi tidak hanya hadir di kota-kota urban, sub-urban yang hingga kini telah merambah pada desa serta pelosoknya, meski tidak secara terbuka atau tertutup sekalipun, akantetapi prostitusi dengan segala fasilitas yang mendukung atasnya –teknologi, menjadikan kemudahan akan transaksi untuknya menjadi sesuatu yang real. Dan apa yang terjadi pada Safitri dan Mak Dayem merupakan sebuah representasi atas sebuah ketidakstabilan sosial yang di kemas dalam sebuah novel dengan judul Telembuk.

Novel:
Ukuran 14x20
Halaman xiv+414

“Jika kamu menganggap semua orang itu jahat, itu memperburuk nasibmu. Dan jika menganggap semua orang itu baik, itu juga akan memperburuk nasibmu.”- Mak Dayem

“Biar kamu tahu, bahwa hidup kadang dipaksa untuk melakukan dosa.” – Mak Dayem


Kamis, 15 Juni 2017

Ahonk Bae        

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.