[ads-post]

Dalam beberapa hari terahir, khususnya pra-ramadhan atau di bulan ramadhan seperti saat ini, masyarakat sering disuguhkan dengan beberapa iklan komersial di televisi, baik dari iklan makanan dan minuman dari berbagai merk terkenal, sebagai pendukung dari kekhusyuan dalam menjalankan ibadah puasa. Dengan berbagai macam varian rasa yang tentu menggoda selera, di tambah dengan cara penyajian yang unik, sehingga dapat membuat si pengelihatnya menelan ludah dalam-dalam, yang dengan kalimat persuasifnya dapat menghipnotis para konsumen untuk sesegera mungkin mendatangi swalayan atau toko yang menyediakan ‘benda-benda’ tersebut. dan jelas, parameter iklan seolah menjadi level terbaik dalam menunjang keafdolan saat di bulan ramadhan ini.

Iklan komersial terebut sengaja dipersiapkan jauh-jauh hari dalam menyambut datangnya bulan ramadhan tersebut, sama halnya dengan baliho bertuliskan “Marhaban ya Ramadhan,” yang dengan maksud dan tujuan yang amat mulia; mengajak mayarakat untuk lebih meningkatkan kualitas ibadahnya – mungkin. Hemat penulis hal demikian memang mengejawantahkan sebuahkan kualitas dalam sisi spritualnya yang, bersinergi dengan kuantitas konsumtifnya. Dengan bergelimangnya iklan-iklan di televisi tersebut, setidaknya kita dan sebagian besar masyarakat tertarik akan apa yang disampaikan oleh kancah persaingan televisi, baik iklan atau pun program-programnya saat bulan ramadhan ini. Dan bahwa bukan saja seperti makna asli istilah itu media adalah sarana penyebaran informasi. Ya, meski pun lepas dari kandungan pesan yang didiseminasikan lewat media, kemudia lambat laun media itu sendiri yang membentuk cara berpikir dan cara hidup konsumennya.

Televisi menyajikan berbagai hiburan dan tontonan yang ‘berakhlak’ pada saat ini, dengan adanya bulan ramadhan ini maka, artis serta aktrisnya pun konstruksi sedemikian rupa dengan mengenakan pakaian yang ‘islami’, programnya pun tak jauh dari masjid didukung dengan back sound Timur Tengah yang meliuk-liuk menambah ke-khas-an suasana ramadhan tersebut. Akantetapi dalam ihwal makanan, minuman, pakaian hingga program tersebut berbeda dengan kondisi yang disaksikan mata, dan pada ramadhan tahun ini (1438H), lonjakan harga bahan pokok dan kebutuhan dasar masyarakat kita mengalami kenaikan yang berarti. Tarif kenaikan listrik dan sembako di pasar membuat masyarakat dengan perekonomian menengah ke bawah merasa ketar-ketir, pasalnya pendapatan yang tidak berbanding lurus dengan pengeluaran pada saat ramadhan ini. Dengan berseliwerannya iklan dan icon-icon ramadhan yang dapat membuat masyarakat berpikir dua kali untuk medapatkan benda-benda ‘ajaib’ itu , karena baik program di televisi ataupun iklan yang ditampilkan olehnya, tidak serta-merta tanpa pesan persuasif yang hendak ‘menyeret’ khalayak ramai menjadi hyper-consumtif atau lebih konsumtif dari biasanya.

Baik pihak penyelenggara atau konsumen menjadi menarik, sepintas tak ada yang aneh dalam infografis atas dunia media tersebut, namun yang harus diperhatikan bagaimana mereka atau pemangku media tersebut berlomba medapatkan konsumen yang dengannya dapat menaikan raiting-nya dan tentunya, didukung dengan iklan dan program yang sesuai dengan kondisi saat ini, atau dengan memanfaatkan moment. Dan pada ahirnya relasi kuasa tetap terbentuk dalam bulan ramadhan ini, kaum kaya dan papa tetap ada, televisi pada saat ini adalah bagaimana mendulang laba sebanyak-banyaknya dan dengan menggunakan momen dominan sebagai batu loncatannya. Sirup, mie instan dan pakaian atau yang lainnya menjadi icon pasar ramadhan dengan segala serba-serbinya. Dengan suguhan program yang ‘tidak biasa’ juga menjadi pertanda bahwa media atau jagat peretelevisian kita belum memiliki jati diri, atau setidaknya sebuah prinsip yang di pegang. Meski pun sadar bahwa masih sangat jauh dari nilai edukatif yang disampaikan oleh jagat pertelevisian tersebut, jika tidak infotaiment maka comedi sebagai master pice dari televisi tersebut. Hingga bukan cerita lama lagi apabila sinetron yang tampil perdana di bulan ramadhan ini menjadi konsumsi saban hari.     

Semuanya berorientasi dengan masjid, jilbab, pakaian yang menutup aurat atau semuanya yang bercorak Timur Tengah. Dan lagi, Islam dipersepsikan dengan hal-hal demikian, karena bukan tidak mungkin apabila program-program televisi yang dikonsumsi pada saat sahur dan berbuka menamankan akar pemikiran jumud tersebut. Kemudian berjibaku perdebatan mengenai budaya yang di bawa oleh televisi tersebut, pesan atau nilai-nilai universal islam pun terabaikan sama sekali dalam spektrum juang ramadhan yang semakin kehilangan eleginya, sebab tak ayal konsumsi tersiernya sebagai pelengkap ta’jil-nya adalah televisi yang, masyarakat di giring menuju era utopian dengan keglamorannya. Lalu masyarakat kita diajak cerdas dengan memfilter acara-acara televisi tersebut? Caranya bagagaimana, toh Lembaga sensor pun sudah tidak bisa membedakan tayangan yang mengandung unsur kekerasan, pornografi atau yang kurang layak di lihat – terutama oleh anak-anak. Semuanya blur menjadi satu dengan hanya menaruh label D, BO, A atau lainnya. Dan lagi, hal itu belum menjamin akan filter atas acara yang selama ini di dengungkan oleh segenap pengamat media, terlebih dengan di dramamtisir oleh media sosial yang hampir melekat pada setiap tangan, tanpa batasan umur pula.

Dengan demikian lantas apa parameter untuk filter acara konvensional pertelevisian kita adalah dengan menon-aktifkan televisi tersebut, terutama ketiaka orang tua sedang tidak berada dalam  rumah, atau apabila di rumah pun orang tua harus menahan hasrat akan keinginannya untuk melihat tayangan yang sekiranya tidak patut unutuk di konsumsi bersama anak-anak. Dengan bergelimangnya fenomena janggal – jika tidak bsurd, yang dilakukan oleh anak-anak sekolah dasar (SD) dengan mengkonsumsi rokok seperti orang dewasa. Dengan derasnya informasi, baik berupa tekstual atau pun visual maka solusi atas permasalahan tersebut adalah menjauhkan anak dari madzarat yang ditimbulkan oleh televisi atau benda keramat bernama gadget tersebut, sebab hal ini dinilai efektif meskipun akan memberikan efek dasyat atas terjadinya istilah kudet bagi anak-anak yang kini sudah akrab dengan istilah yang, entah bagaimana sabab-musababnya.          

Minggu, 04 Juni 2017

Ahonk bae

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.