Dengan hilir-mudiknya berbagai fenomena yang terjadi seperti saat ini,
telah banyak merepresentasikan kemunduran-kemunduran atau degradasi yang
dilakukan oleh masyarakat, seperti mejadi sebuah degradasi masal yang telah
merenggut kebebasan serta kemerdekaan yang telah di perjuangkan oleh berbagai
element masyarakat dalam sisi hierarki sosialnya, dengan begitu buanyaknya sumbu
pendek atau manusia yang serba kaget dalam merespon fenomena sosial,
setidaknya telah menjadi sebuah parameter kemunduran serta kejumudan yang terus
menggerogoti nakal waras manusia, terutama mahasiswa, wabil khusus
teman-teman pergerakan.
Meski siapa yang mampu meredam pergerakan dan siapa yang dapat memenjarakan
kata-kata? Yang pada awalnya menjadi statement menarik dari aktivis
sedari dulu. Dan pergeseran ide dari peregakan tersebut kini telah masuk dan
menyeruak dalam berbagai organisasi dan juga ormas yang dengan berbagai backgrond
yang variatif; agama hingga nasionalis. Widji Thukul, Marsinah, Munir
adalah menjadi tameng gagah dari aktivis, atau khilafah yang dieluh-eluhkan
oleh ormas berbandrol islam tersebut menjadi alibi atas label seorang yang
hendak disebut peka dengan isu kemanusiaan. Lebih dari itu, ketulusan akan
perjuangan tersebut banyak yang mengabaikan sisi kemanusiaan tersebut dan juga
sedikit sekali yang memperjuangkan hak-hak konkrit yang dirasakan oleh kaum
proletar. Dan pada akhirnya perjuangan atau deretan massa aksi telah alpa dari
loyalias serta dedikasi akan nilai-nilai universal, semuanya direduksi dan
berevolusi menjadi sebauh ajang elitisme perjuangan tersebut, kemudian populisme
mejadi sesuatu yang betul absurd dalam kancah perhelatan massa, memang benar
menunutut kenaikan harga BBM, benar mereka menuntuk keadilan, atau memang benar
mereka hendak mengawal kausus korupsi atas mega proyek E-KTP, malah penista
agama. Benang merah atau point of view dari perjuangan hari ini adalah
tidak lebih dari ‘pesanan’ tokoh partai yang hendak melakukan kudeta, atau
membuat stabilitas negara ini runtuh (baca; makar), dan sudah pasti absen dari
kesatuan, kesejahteraan. Setelah si pembonceng sampai pada tujuan, maka amplop
bertukar nomor rekening adalah alat komunikasi yang sekiranya mampu
memenjarakan kata dan membelokan arah massa tersebut. siapa tau? Dan meski
terdapat sebuah kaidah fiqh (islamic theory) atas apa yang tejadi saat
ini, seperti;
تصرّف الأ مام على الرّعيّة منوط
بالمصلحة عامة
“kesejahteraan
atas pemimpin mengikuti kesejahteraan masyarakatnya”
Akantetapi, kaidah tersebut juga hanya bagi pelajar yang mapan akan sebuah
fenomena dalam merespon realitas sosial – selain refleksi atas sebuah
kepemimpnan yang timpang. Namun fatalnya, kaidah tersebut jarang dieksplorasi
dalam dunia akademik atau pun pergerakan dalam sebuah organisasi, dan yang
ditanamkan hanya benih megalomaniak, ego-sentis, atau alat penunjang dari truth
claim tadi.
Dengan surutnya budaya membaca yang menghinggapi wajah pelajar Indonesia,
semakin menambah geris keprihatinan kaum tua dalam menyerahkan estafet
perjuangan yang, dulu sebelum jejaring sosial ada direbut dengan nyawa dan
darah tersebut, sedangkan membaca sendiri adalah gerbang menuju pengetahuan,
dan apa yang terjadi di hari ini adalah rasa keengganan untuk hal itu
(membaca). Baik aktivis maupun pelajar pada umumnya, hari ini sangat sulit
sekali membaca, padahal, jika dilihat secara fasilitas seperti internet yang
telah dimiliki oleh setiap orang, maka segala macam buku dapat diakses dengan
begitu mudahnya, namun lagi dan lagi harus terbentur dengan ke khusyu-an
pada jejaring media tersebut, baik menghujat atau juga memuji, dan apabila melihat
sebuah buku maka setidaknya terlintas kata seperti ini;
القلم ابقى اثرً واللسان اكثر
هدرًا, لولا الكتاب لاختلّت اخبار الماضين, وانقطع اثر الغا ئبين.
واِنّما اللّسان شاهدٌ لك والقلم
للغائب عنك, الكتاب يقراُ بكلّ مكانٍ ويدرس في كلّ زمانٍ
“Jejak
goresan pena lebih abadi (karena) suara lidah acapkali tak jelas, Andai tak ada
buku, tak adalagi cerita masa lalu dan terputuslah jejak mereka yang telah
pulang. Kata-kata hanyalah untuk yang hadir, pena untuk yang tak hadir. Buku
dibaca di segala ruang, dikaji di segala zaman.”
Namun apalah daya apabila buku hanya di ambil
sebagai quotes semata, yang menghiasi berbagai macam dinding keangkuhan serta elitisme kaum
aktivis tersebut. dan apa pula hubungan antara urgensi membaca dengan aktivis (mujahid)
tersebut? maka terdapat garis demarkasi yang teramat vital, yaitu pengetahuan
dan keluasan berfikir yang secara tidak langsung dapat menstimulasi hati yang
sudah brang tentu erat kaitannya dengan perasaan. Seperti sifat kemanusiaan
yang sudah terlanjur berisik di dengungkan, nilai-nilai pluralisme yang
mengerak, dan keadailan meriak – tentunya.
Kesemuanya merupakan sebuah kinerja awal dari
bacaan terhadap teks dan konteks yang matang bukan yang tunduk pada budaya
oral, mendengarkan, sehingga proses pengetahuan murni seseorang akan terbentuk
dengan sendirinya, tanpa dogma, apalagi doktrin. Yang selama ini di
gembor-gemborkan oleh mujahid tersebut. Manusia kagetan, adalah istilah
yang dipakai belakangan ini, dan menurut hemat penulis istilah tersebut begitu
relevan di aplipkasikan kepada mereka yang terlalu shock terhadap sebuah
wacana “basi” namun dianggap baru.
Rabu, 17 Mei 2017
Ahonk bae
Posting Komentar