[ads-post]



Menjadi biasa apabila terdapat pemberitaan mengenai prilaku yang dalam masyarakat kita masih menjadi sesuatu yang tabu, seks. kemudian seksualitas merupakan kata yang begitu lekat di telinga kita, serta ia merupakan seseuatu yang tabu ketika dibicarakan di depan halayak ramai, mengapa? Karena anggapan bahwa seksualitas hanya dipandang sebagai aktivitas biologis semata, lalu apakah karena ia merupakan seseuatu yang sikapnya inklusif yang per-se, dan hanya boleh dikonsumsi oleh kalangan tertentu dan untuk selainnya terdapat indikasi pelarangan yang sarat akan sebuah klasifikasi yang disebut kedewasaan, jika tidak umur sebagai tendensinya. Karena juga agama sebagai kontrol atas kehidupan yang mengatur segala aspeknya. Sehingga ia menjadi sesuatu yang abstrak hingga menjadi sesuatu yang semi-dilarang pamali apabila di bicarakan oleh anak-anak yang dalam masa pendidikan, dan walaupun instansi pendidikan masih sangat jarang menerapkan kurikulum sex-education karena memang beberapa kalangan menolaknya dengan alasan yang beragam. 

Dalam sejarahnya, seks merupakan ‘alat’ atau media dalam hierarki kekuasaan (politis) dan juga sebagai media dari ritus pemujaan kepada para dewa, demikian yang dilakukan oleh bangsa primitif-nomaden, meski seperti dalam beberapa teks Hindu mengatakan bahwa orang bijak harus acuh tak acuh pada ikatan sesama manusia (seksualitas) dan pada saat yang sama dewa-dewa dan orang bijak pula yang mengajarkan tentangkenikmatan dan cinta kepada manusia[i]. Namun seiring rotasi waktu yang menekankan moarlitas dalam kredo dari agama-baru, maka seksualitas menjadi kabur dalam pemaknaan sejarahnya, dan juga jarang terjadinya dialog-dialog yang membahas seksualitas yang memang sifatnya urgen, dalam sisi moral dan juga di jadikan ‘tameng’ atasnya, hingga apa yang terjadi hari ini (Free Sex) adalah sebuah sikap reaksioer dari remaja yang terjembab dalam lembah hitam karena kontrol akan kesadaran dari seksualitas tersebut diabaikan dan tidak diberikan sepenuhnya kepada anak-anak yang dalam masa pendidikan itu sendiri. Dan melihat fenomena free seks tersebut penulis rasa betapa urgensinya pendidikan seks yang di terapkan di instansi-instansi pendidikan misalnya, dengan harapan bahwa peserta didik memiliki kontrol kesadaran yang tinggi terhadap hal-hal yang dianggap negatif oleh khalayak ramai tersebut. 

Seperti Jean-Paul Srtre dan M. Foucault menyatakan hal senada dalam mendialogkan antara seks dan kekuasaan atau bahkan revolusi sendiri, yang erat kaitannya dengan kekuasaan tersebut, dan bukan tanpa alasan apabila raja-raja pada masa dahulu memiliki banyak istri, selain sebagai selubung politik juga sebagai simbol kejantanan seorang pria. Dan dalam terminologi agama-agama dunia sendiri, poligami masih menjadi sesuatu yang belum final dalam adagium-adagium pemerintah, sehingga pro-kontra masih ditemukan dalam beberapa dialognya yang laksana kobaran api. Lantas bagai mana seksualitas dalam perspekitf tertentu? Sebagai ritus kepercayaan atau alat pemujaan di depan altar umapamanya? Apakah Masih pikran ini mengalami pensiun dini dalam membahas maslah yang dianggap tabu atau bahkan amoral sekalipun? Untuk itu penulis mengajak pembaca alam seksualitas dari bebrapa sisi yang dianggap penting serta mendialogkannya dengan konteks saat ini mengalami pergeseran makna menjadi prostitusi, karena memang konstruki sosial telah membentuk mereka menjadi objek kepuasan bagi.  Dan juga masih sama kerangka esensialnya dengan JP. Sartre atau M.Foucault paparkan dalam karya monumentalnya.       

Seks Dalam Ritus Kepercayaan

Sebagian masyarakat telah mafhum dengan sebuah mistis,  mistis yang memang erat kaitannya dengan sebuah ritus pemujaan terhadap dewa atau roh nenek moyang suatu bangsa yang diyakini akan menjauhkan malapetaka apabila mereka yang masih hidup secara kontinyu melakukan ritual tersebut. Seperti dalam beberapa literatur dalam tradisi India, epik Mahabarata umpamanya, dewa Siwa merupakan representasi dewa seks sekaligus dewa asketisme Yoga[ii] dan pada beberapa bagaian di dataran India terdapat kepercayaan bernama Digambara yang kabarnya mengambil ajaran dari Dewa Mahavira, dimana anggota sekte ini tidak perlu berpakaian (baca; telanjang) dalam kondisi dan tempat apapun. Atau pada masa Babylonia, terdapat istilah Bacchanalia yang sejatinya merupakan sebuah pesta yang diadakan sebagai bagian dari perayaan untuk memuja dewa Tammuz, yang dianggap sebgai perlambang dari simbol cinta dan simbol kesuburan. Dan juga apa yang dilakukan oleh bangsa Mesir kuno pada saat melakukan penghormatan pada Dewa Tertinggi mereka yaitu “Ra” dan “Sekhmet”, konon dalam glamor dan sakralnya pesta tersebut orang bebas bercinta dan minum sesuka mereka sepanjang malam sampai matahari terbit. Karena memang bangsa terdahulu begitu lekat dengan sebuah mitologi atau seringkali di kait-kaitkan dengan kemarahan Dewa yang dalam ritus pemujaannya dilakukan dengan cara-cara yang ‘tak lazim’ atau amoral jika dilihat dengan kacamata modern seperti pada saat ini.

Dan jika kita tarik seks dalam relevansinya sebagai mitologi, maka di Indonesia pun masih ditemukan praktik seks yang dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat, atasnama pesugihan biasanya, seperti apa yang pernah terjadi di gunung Kamekus yang masyhur dimasyarakat sekitar sebagai wisata seks karena di tempat ini orang bisa sesuka hati mengkonsumsi seks bebas dengan dalih untuk menjalani laku ritual ziarahnya, dan itulah syarat jika mereka yang datang ingin kaya dan berhasil. Sehingga apa yang terjadi dalam seks yang di persepsikan sebagai ritus pemujaan kemudian berhadapan materialisme? Adalah nihil ketika berbicara norma, terlebih norma agama, meskipun Islam contonya sebgai agama yang mengatur segala aspek kehidupan manusia dengan segala kebijaksanaannya, juga membicarakan seksualitas dalam teks skripturalnya, seperti dalam surat ar-rum ayat 20 dan juga dalam surat al-baqarrah ayat 187 yang mengatur pola kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dlam seksualitas. Namum, sesuatu paradoks yang sering terjadi ialah dalam hal penyampaiannya, bahwa seksualitas seperti yang telah di sebutkan hanya sebatas aktivitas biologis semata yang hanya boleh dikonsumsi orang-orang dengan kriteria tertentu, sehingga seksualitas terus menjadi tabu dan menjadi semacam mitologi tersendiri bagi beberapa kalangan. Meskipun dalam sejarahnya yang begitu banyak telah disebutkan bahwa seksualitas menjadi semacam kebutuhan dalam beberapa situasi dan kondisi keadaan masyarakat, serta seksualitas yang memberikan implikasi besar terhadap khalayak ramai dalam kepercayaan tertentu.

Seks Sebagai Selimut Kekuasaan
           
Persetan dengan moralitas pekik Nietzsche, Adalah hal yang begitu bersinggungan apabila menyandingkan kekuasaan dengan seksualitas, karena dengan kedua hal tersebut maka sebuah kerajaan atau pemerintahan akan ‘terlihat’ aman, dan oleh karenanya pula M.Foucault berpendapat bahwa seluruh sistem ekonomi, sosial dan politik memiliki keterkaitan yang begitu erat, bahwa seksualitas juga erat kaitannya dengan populasi dan juga kebebasan sekalipun karena di dalamnya terdapat emosi, rasa haru dan senang. Juga bagi Vatsyayana penulis Kama Sutra mengatakan bahwa merasakan cinta adalah substansi manusia. Namun dalam kenyataannya ekspansi dalam sebuah kekuasaan diperlukan bagi keberlanjutan serta kemsyhuran kerajaan tersebut, sehingga tak heran jika seorang raja memiliki banyak istri dan selir diberbagai tempat yang pernah di singgahinya. Seperti apa yang dilontarkan oleh Jhon F. Kennedy bahwasannya ia merasakan pening jikalau tak mendapatkan wanita dalam tiga hari [iii], dan karena kekuasaan secara alaminya menemukan titik sinkron dengan seksualitas sebagai mana ambisi, nafsu, dan hasrat dan yang pada ahirnya perempuan menjadi subordinat melatarbelakangi terjadinya seksualitas dalam balutan kekuasaan, entah sebagai bentuk gratifikasi atau dengan kata lain ia bisa berevolusi menjadi semacam pelicin dalam kekuasaan. Dan dalam beberapa hal, seks ternyata berbicara lebih kuasa daripada kekuasaan itu sendiri. Dan apa yang disebut pia fraus oleh Nietzsche merupakan sebuah ‘dosa putih’ yang erat kaitannya dengan moralitas –politik, yang dengan segala absurditasnya menyesaki lini-massa dalam dekade belakangan.
            Kisah Caesar Justinianus yang harus lengser oleh perkara seksualitas dengan pelacur rendahan, namun pada ahirnya berhasil merebut kekuasaannya tersebut telah manis dinovelkan oleh Paul I Wellman. Atau masih banyak lagi fiksi yang diangkat dari realitas nyata, dalam pergulatan seksualitas di mata sang raja. Dan seperti yang dipaparkan oleh Bill Clinton bahwa “Politik memberi seseorang kekuasaan besar yang cenderung membuatnya berprilaku buruk terhadap perempuan,” dan fenomena yang terjadi di dalam negri pun tak kalah menariknya, ketika melihat serangkaian skandal-skandal yang dilakukan oleh politisi kita sebagai, entah apa namanya, yang jelas pemeo serta cibiran tak lepas dari rakyat yang telah menyaksikannya dalam serangkaian Head Line News televisi swasta. Dan prilaku seksual-politik binal yang dilakukan oleh politisi kita merupakan sebuah klise terhadap representasi politik di hadapan dunia, betapa memamlukannya. Etika politik serta minimnya kontrol kesadaran menjadikan mereka lupa bahwa sebuah politik dalam “pemerintahan adalah pengelolaan terhadap warga negara sedemikian rupa sehingga mereka tidak mampu dan tidak ingin menentangmu,”[iv] tullis Niccolo Machiavelli, apa yang terjadi dalam pergulatan politik? Lawan politik umpamanya, yang sengaja memasang perangkap untuk lawannya tersebut? Memang pertentangan yang dilakukan oleh rakyat masih sering dilupakan dalam benaknya, namun lawan yang nyata bagi para politikus itu politik itu sendiri, yang memaksa mereka harus tampil ‘cantik’ di muka publik. Dan kembali bahwa perempuan sampai dalam posisi ini masih mengalami kejumudan dalam statusnya sebagai solusi atas libido tak bertuan tersebut, lantas siapa yang menjadikan atau mengkonstruksi mereka sehingga mereka terus tersnyum dalam lukanya yang dalam.                
                      
Prostitusi Sebagai Solusi

  
          Di muka ruko atau di tempat yang remang adalah tempat yang ‘sakral’ bagi kupu-kupu malam, begitu kira-kira mereka diistilahkan, dengan solekan kapitalisme yang tergantung di bibir gincu serta senyumnya yang manja sebagai daya tarik atas marketing, marketing dirinya sendiri yang harus dijajakan kepada laki-laki yang berkantong tebal. Balzac menuliskan “Perempuan yang telah menikah adalah budak bagi seorang yang harus dapat menetapkan singgahsananya,” dan begit seterusnya status patriarkhi serta subordinat terhadap perempuan masih melekat kepada Second Sex tersebut, dan apabila mendiskusikan pelacuran atau prostitusi tersebut memang tiada berpangkal, namun kali ini penulis ingin melontarkan sebuah tanya mengenainya, yang penulis anggap sebgai pahlawan tersebut. Apakah seksualitas sendiri merupakan sebuah sindrom akut yang merekat pada diri seorang perempuan sehingga ia terus di eksploitasi oleh sebuah keadaan yang memiskinkannya? Hingga seorang St. Thomas dengan sinis mengutarakan “Para pelacur bagi suatu kota ibarat pipa-pipa pembuangan air kotor dalam sebuah istana,”[v] sangat kurang bijak bagi seorang pemuka agama ketika memandang manusia hanya dengan nafsunya semata, atau Schopenhauer yang dengan angkuh mengucapkan “Pelacur adalah tumbal manusia di altar monogami” 

            Kupu-kupu malam sudah terlanjur akrab dengan cibiran seperti yang disetiap saat dilontarkan oleh orang-orang di sekitarnya baik yang bersinggungan dengan moral ataupu kultural, ia selalu dikonotasikan dengan hal-hal yang negatif serta kotor, namun siap yang mengotorinya? Dan ada apa di balik semua itu sehingga ia di persepsikan oleh khalayak ramai degan hal-hal semacam itu?. Pekerjaan adalah anomali untuk menyebutkan sisi kewajibannya sebagai seorang manusia serta bertanggung jawab bagi dirinya sendiri serta keluarganya yang sulit sekali mendapatkan peluang yang sama seperti perempuan pada umumnya. Dengan berbagai motif serta keterbatasannya ia hanya menyerahkan sebagian umurnya di tangan muncikari atau germo demi mendapatkan pelanggan setiap harinya. Dan dalam Undang-Undang Nomer 21 tahun 2007 secara general hanya membahas praktik perdagangan manusia atau trafficking belum secara spesifik membahas mengenai prostitusi tersebut. Dan penyebab mereka yang tercengkram dalam dunia ‘hitam’ tersebuta antara lain (1) desakan ekonomi, (2) dekadensi moral, (3) budaya eksploitasi, (4) ekonomi laissez faire,(5) benturan budaya. Dari lima penyebab tersebut, motif ekonomi menjadi dominan atas prostitusi tersebut, yang karenanya dari beberapa penyebab tersebut praktik prostitusi mudah sekali ditemukan di kota-kota dengan bentuk yang berbeda; Pertama, prostitusi yang terdaftar dan terorganisir atas pihak medis umpamanya serta Vice Control dari pihak kepolisisan. Kedua, prostitusi yang tidak terdaftar dan non-organisir atau dalam arti mereka melakukannya secara individu (single oprator) atau berkelompok dengan sejawatnya. Dan prostitusi menurut tempat dan kelasnya menempati tiga bagian; Segregasi atau lokalisasi yang terisoalsi yang terpisah dari komplek penduduk, Rumah-Rumah Panggilan (call houses, parlour) atau jasa internet pada saat ini, kemudian seperti yang telah ditulis di atas bahwa prostitusi yang bersarang di balik front organisasi juga bisnis-bisnis ‘terhormat’ (salon kecantikan, rumah makan mewah, panti pijat dll) merupakan sarang bagi mereka yang menjualdirinya berdasarkan laissez faire tadi, yang berujung barter dalam jika dalam sistem klaisknya. Dan negara belum mampu menangani hal semcam ini meskipun dengan binaan serta pelatihan-pelatihan yang sering digalakan.             

                  Bukan hanya prostitusi saja yang menjadi permasalahan saat ini, namun kenakalan reamaja atau Free Sex juga menjadi ancaman besar generasi penerus bangsa ini. Married By Accident (MBA) atau hamil di luar pernikahan belakangan menjadi sebuah problem yang begitu berarti, dan langsung kep okok permaslahannya terhadap akses yang begitu mudah dalam ‘mengkonsumsi’ budaya-budaya yang bertentangan (jika tidak bertabrakan) dengan dengan ke-Indonesaia-an, serta pola hidup hedon dan yang menjadi titik urgensinya ialah mimimnya kontrol orang tua terhadap anaknya yang sedang mengalami masa puber dan remaja tersebut. Dan seperti yang telah disinggung bahwa dalam skema pendidikan yang di tempu oleh remaja tersebut belum measukkan kurikulim pendidikan sek yang berarti, dan telah menjadi sesuatu yang wajar namun harus segera dihapuskan ketika seorang anak tertimpa MBA tadi mendapatkanperlakuan diskriminatif serta perlakuan verbal semacam pemukulan sebagai reaksi awal ketika mendapati anaknya positif hamil, dan yang sering dihadapi oleh para bidan dalam kasus semacam ini adalah ketekutannya dalam menjalankan proses persalinan yang dasyat, dengan resiko kematian, entah ibu atau bayinya,dan itu pun belum menghitung transfusi darah yang setidaknya membutuhkan 5 kantong, bisa dibayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan dari proses persalinan tersebut.

            Dan sebagai konsklusinya, penulis ingin menegaskan bahwa seksualitas begitu terkait dengan kekuasaan atau kuasa, baik dalam relasi yang berskala kecil; laki-laki dan perempuan atau skala besar kekuasaan dan seksualitas,  keduanya saling bersinergi dalam dinamika kehidupan manusia, dan karena dominasi laki-laki dalam dunia politik maka mereka (laki-laki) tidak bisa mengelak dari beberapa fitnah atau cobaan di dunia; Harta, Tahta, Wanita yang dalam telah diceritakan dalam sejarah. Dan sebagai penutup penulis mengutip ungkapan Lecky bahwa “Jenis perbuatan busuk yang paling busuk, adalah mereka para pengawas susila.”  


[i] Geoffrey Parrinder, Teologi Seksualitas, terjemahan Amirudin & Asyhabuddin, LKIS cet-1, 2005 Yogyakarta. 
[ii] Ibid
[iii] R. Panca Dahana, Kebudayaan dalam Politik, Bentang cet-1, Yogyakarta 2015.
[iv] Niccolo Machiavelli, The Art Of War, terjemahan E.Setiyawati Alkhatab & Toni Setiawan, Narasi-Pustaka Prometha cet-II, Yogyakarta 2015.
[v] Simone De Beauvoir, Second Sex (Fakta dan Mitos), terjemahan Toni B. Febriantono, Narasi cetakan ke-I, Yogyakarta 2016.

Posting Komentar

  1. Umaaaar... Amazing your idea of this post articel. :)

    BalasHapus
  2. Umaaaar... Amazing your idea of this post articel. :)

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.