[ads-post]








Dalam rangka mengenang Chairil Anwar serta dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) Dewan Kesenian Indramayu (DKI) Ke XVI Tahun. Dan Chairil Anwar sebagai penyair Angkatan '45 yang terkenal dengan puisinya yang berjudul "Aku".  Dan kemudian berkat puisinya itu, ia memiliki julukan 'Si Binatang Jalang'. Chairil (biasa disebut) banyak menelurkan puisi-puisi yang mayoritas bertemakan kematian, individualisme, dan ekstensialisme. 

Atas hal tersebut Dewan Kesenian Indramayu menggelar lomba membaca puisi Chairil Anwar dan Penyair Indramayu (naskah terlampir). Dengan ketentuan sebagai berikut.
Untuk Umum dengan Ketentuan lomba :
1. Mendaftarkan diri ke panitia lomba
2. Membacakan Puisi karya dari Chairil Anwar 1 dan dari karya penyair Indramayu 1.
3. Biaya pendaftaran Rp. 75.000,- mendapatkan Buku Antologi Cantik.
4. Pendaftaran mulai tanggal 5 Apri s/d 28 April 2017.
5. Technical meeting Jum at, 28 April 2017 pukul 08.00WIB - 11WIB
6. Pelaksanaan lomba akan ditentukan setelah technical meeting
7. Pemenang akan diumumkan pada saat acara penutupan Lomba.
8. Keputusan juri mutlak tidak bisa diganggu gugat.
9. Hadiah berupa Uang Pembinaan + Trophy & Piagam untuk juara 1,2, 3 dan 3 nominator
10. Peserta Umum/Pelajar/Mahasiswa (tidak ada kategori).
11. Kontak Panitia di nomor 089602778729- 081219350344
12. Hal-hal yang menyangkut teknis dikoordinasikan ke Panitia atau pada saat technicall meeting.
Dan sebagai acuan bagi peserta lomba baca puisi yang terpenting adalah bagaimana memahami gaya bahasa tersebut. Beberapa kriteria yang menjadi rujukan untuk penjurian adalah sebagai berikut :
1. Teknik interpretasi seperti kemampuan mengerti isi sajak, mengetahui ragam sajak, imajinasi atau kekampuan untuk memilih suasana isi sajak, kemampuan untuk menjolkan puncak sajak dan sebagainya.
2. Teknik vocal, meliputi materi suara, irama, intonasi dan aksentuasi.
3. Teknik penampilan meliputi kemampuan air muka (mimik), gesture (gerak tubuh), dan bloking (perpindahan gerak dari satu tempat ketempat lain).

Formulir lomba baca puisi
HUT-DKI & mengenang Chairil Anwar
April 2017

Tempat pendaftaran : Gedung Panti Budaya (Dewan Kesenian Indrmayu) Jl. RA. Kartini No.1 Indramayu
Nama                                                               : .......

Alamat                                                            : ........

Asal Sekolah (kosongkan jika tidak perlu)     : ........

Judul puisi yang dibacakan                             : 1. Karya Chairil Anwar ...........
                                                                        : 2. Karya Penyair Indramayu .......


Peserta wajib hadir di Technical meeting
Pendaftaran Rp. 75. 000,-      

Indramayu, 26 Maret 2017


                                                            ...............                                             ................
                                                            (Peserta)                                              (Panitia)

*Silahkan difoto copy dan dibawa saat Technical Meeting


A.      PUISI CHAIRIL ANWAR 


1.      FRAGMEN

Tiada lagi yang akan diperikan? Kuburlah semua ihwal,
Dudukkan diri beristirahat, tahanlah dada yang menyesak
Lihat ke luar, hitung-pisah warna yang bermain di jendela
Atau nikmatkan lagi lukisan-lukisan di dinding pemberian
teman-teman kita,
atau kita omongkan Ivy yang ditinggalkan suaminya,
jatuhnya pulau Ikinawa. Atau berdiam saja
Kita saksikan hari jadi cerah, jadi mendung,
Mega dikemudikan angin
- Tidak, tidak, tidak sama dengan angin ikutan kita …
Melupakan dan mengenang –
Kau asing, aku asing,
Dipertemukan oleh jalan yang tidak pernah bersilang
Kau menatap, aku menatap
Kebuntuan rahsia yang kita bawa masing-masing
Kau pernah melihat pantai, melihat laut, melihat gunung?
Lupa diri terlambung tinggi?

Dan juga
diangkat dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain
mengungsi dari kota satu ke kota lain? Aku
sekarang jalan dengan 1 ½ rabu.
Dan Pernah percaya pada kemutlakan soal …
Tapi adakah ini kata-kata untuk mengangkat tabir pertemuan
memperlekas datang siang? Adakah ---
                                                                        Mari cintaku
 Demi Allah, kita jejakkan kaki di bumi pedat,
Bercerita tentang raja-raja yang mati dibunuh rakyat;
Papar-jemur kalbu, terangkan jalan darah kita
Hitung dengan teliti kekalahan, hitung dengan teliti kemenangan.
Aku sudah saksikan
Senja kekecewaan dan putus asa yang bikin tuhan juga turut tersedu
membekukan berpuluh nabi, hilang mimpi, dalam kuburnya.
Sekali kugenggam Waktu, Keluasan di tangan lain
Tapi kucampur baurkan hingga hilang tuju.
Aku bisa nikmatkan perempuan luar batasnya, cium
matanya, kucup rambutnya, isap dadanya jadi gersang.
                                                                        Kau cintaku----
 Melenggang diselubungi kabut dan caya, benda yang tidak menyata
Tukang tadah segala yang kurampas, kaki tangan tuhan ---
Berceritalah cintaku bukakan tubuhmu di atas sofa ini
Mengapa kau selalu berangkat dari kelam ke kelam
dari kecemasan sampai ke istirahat-dalam-kecemasan;
cerita surya berhawa pahit. Kita bercerita begini ----
Tapi sudah tiba waktu pergi, dan aku akan pergi
Dan apa yang kita pikirkan, lupakan, kenangkan, rahsiakan
Yang bukan-penyair tidak ambil bagian.

Siasat, 26 April 1953
2.   Krawang - Bekasi

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
1957

3. MIRAT MUDA, CHAIRIL MUDA

Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
menatap lama ke dalam pandangnya
coba memisah mata yang menantang
yang satu tajam dan jujur yang sebelah.

Ketawa diadukannya giginya pada mulut Chairil;
dan bertanya: Adakah, adakah
kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahulah dia kini, bisa katakan
dan tunjukkan dengan pasti di mana
menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-nyawa saling berganti.
Dia rapatkan

Dirinya pada Chairil makin sehati;
hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan dera,
menuntut tinggi tidak setapak berjarak
dengan mati.

-di pegunungan 1943, ditulis 1949
4.  LAGU BIASA

Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam

Masih saja berpandangan
Dalam lakon pertama
Orkes meningkah dengan “Carmen” pula.

Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari

Ketika orkes memulai “Ave Maria”
Kuseret ia ke sana….
Maret 1943

5.  CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya

Di air yang tenang, di angin mendayu
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri
1946

6.     Cerita Buat Dien Tamaela

Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu

Beta Pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut

Beta Pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan

Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama

Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.

Mari menari!
mari beria!
mari berlupa!

Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!

Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau…

Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu
1946


7.  SIAP-SEDIA

Tanganmu nanti tegang kaku,
Jantungmu nanti berdebar berhenti,
Tubuhmu nanti mengeras batu,
Tapi kami sederap mengganti,
Terus memahat ini Tugu,

Matamu nanti kaca saja,
Mulutmu nanti habis bicara,
Darahmu nanti mengalir berhenti,
Tapi kami sederap mengganti,
Terus berdaya ke Masyarakat Jaya.

Suaramu nanti diam ditekan,
Namamu nanti terbang hilang,
Langkahmu nanti enggan ke depan,
Tapi kami sederap mengganti,
Bersatu maju, ke Kemenangan.

Darah kami panas selama,
Badan kami tertempa baja,
Jiwa kami gagah perkasa,
Kami akan mewarna di angkasa,
Kami pembawa ke Bahgia nyata.

Kawan, kawan
Menepis segar angin terasa
Lalu menderu menyapu awan
Terus menembus surya cahaya
Mamancar pencar ke penjuru segala
Riang menggelombang sawah dan hutan

Segala menyala-nyala!
Segala menyala-nyala!

Kawan, kawan
Dan kita bangkit dengan kesedaran
Mencucuk menerang hingga belulang.
Kawan, kawan
Kita mengayun pedang ke Dunia Terang!

8.  Kepada Kawan

Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,

belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah berkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!

Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!


9.  AKU

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan akan akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943

10.   Sebuah Kamar

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu.
“Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu!”

Ibuku tertidur dalam tersedu,
Keramaian penjara sepi selalu,
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!

Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan bapakku, karena mereka berada
d luar hitungan: Kamar begini
3 x 4, terlalu sempit buat meniup nyawa!

11. Diponogoro

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu

Sekali berarti
Sudah itu mati

MAJU
Bagimu negeri
Menyediakan api

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai 
Jika hidup terus merasai 

Maju
Serbu
Serang Terjang
 (Februari 1943)

Budaya, Th III, No. 8 Agustus 1945

 
B. PENYAIR INDRAMAYU




KISER PESISIRAN  

Karya; Yohanto A. Nugraha

Akulah Wilalodra yang bersahabat dengan burung-burung.
Menawarkan kesejukan jiwa bagi sunyi waktu menerjemahkan bagaimana matahari dan bulan mengitari bumi.
Aku tersekap dinding belantara sebuah kuil di sini cahaya khatulistiwa melebarkan sayap sebelum buldozer meratakan bumi moyangku menidurkan segala impian.
Gerbang cinta yang dibangun runtuh bersama bar-bar jalanan menyuguhkan tarian salsa membutakan orang-orang dalam bayangan sinar lampu melahap segala catatan sungai-sungai menghitung detik waktu.
selalu digeluti kecemasan bersama yang menggumpalkan kerinduan ombak adalah angin menyejukan senyum.
Pasir-pasir jadi saksi kita melaut menjaring ikan yang sekarat bersama limbah televisi menayangkan dalam berita sore gambar perahuku.
Bias terseret topan dari sisa-sisa sejarah.
                                                                                                                        Balongan '98





SAJAK KEMATIAN
Karya; Sri Sunarti

Dengan kekuatan yang merobek perut bumi
Engkau mengutuki luka atas tubuhku
dan dengan angkuh
ditatapnya darahku bergantian

Satu-satu
Kurobek kesumat dalam dadamu
Satu-satu
Kusapa do'a, lewat tasbihku
Dan,
Gagak hitam berlari menebarkan bau amis
di dada-dada telanjang penggali kubur

Kini darahku telah kupahat
pada gerimis yang terakhir
lewat denganmu
dan semua yang ada pada tapamu
tercekik di pusara
sementara gumam mereka semakin jelas;
Kematian, gambaran kedua





BARANGKALI RINDU ADALAH 
Karya; Kuswointan 


Barangkali rindu adalah pusara rasa terakhir yang bisa kutatap lewat jalur-jalur ranting flamboyan yang rebah menyentuh retak wajahmu. Belasan tahun lalu, aku adalah bocah kecil yang gembira melayarkan satu dua perahu kertas. Kubayangkan mengarus lurus, menjumpa kapal-kapal yang bergerak perlahan menjauh, bertemu lautan.

Atau barangkali rindu adalah kenang-kenangan terakhir yang bisa kuhirup dari cerita masa lalu yang tunduk pada pelupuk matamu. Kemarin, aku mendadak jadi orang asing yang gembira menjumpamu. Kubayangkan kau adalah gadis yang baru mengenal bagaimana caranya bersolek, malu-malu menyapa lalu bertanya untuk apa. 

Dan barangkali rindu adalah jejek-jejak terakhir yang bisa kueja lewat gemuruh yang melupakanmu. Hari itu, aku terkesiap pada kuasamu yang masih tersisa. Di televisi, kau adalah garis lurus mendangkal, mencari celah yang tersisa agar sampai kemuara; menemuiku, saat masa lalu pelan-pelan tidak bisa lagi membuktikan diri.

PUISI DENGAN SEJUTA GOYANGAN

Karya; Kedung Darma Romansha (Buat Lie Keng Hoek)

"Puisilah yang membuat kita awet muda" kataku,
setelahkau mencolekku dengan puisi
yang katamu salah alamat itu.
Tahun-tahun memudarkan warna rambutmu
dan tanaman hiasmu yang tak pernah tumbuh besar.
Seperti puisi yang yang sembunyi dari asin laut,
padi-padi, minyak, dan goyangan penyayi dangdut.

Barangkali kita Wiralodra
yang ditolak cintanya oleh Endang Darma.
Sebab cintanya adalah tangan ibu yang tak pernah berdusta.

Aku mencuim bau amis dari kota
yang tiba-tiba tenggelam di mataku
kota dengan sejuta keajaiban di dalamnya
kota penuh sulapan dengan sejuta tipu muslihatnya.

Kadang aku tyertawa sendiri
kadang muak dan geli.
Meskipun begitu aku selalu terhibur dengan goyangan kotamu
yang jujur dan polos
seperti anak-anak ingusan
yang berkejaran
menghirup bau asap knalpot
atau meminta uang dari poesawat yang melintas.
Ya, masa kanak-kanak memang selalu membuat kita melankolis

Tak ada yang boleh mengekspor kebahagiaan kita
aku tak mau segala yang kucintai
meninggalkanku dengan tangisan
biar puisiku yang bertambat ke pantaimu
o, kota dengan sejuta goyangan
aku datang memerasmu dengan cinta telanjang.

"Puisilah yang membuat kita awet muda" kataku,
setelah kau pergi dengan puisi sejuta goyangan di kampungmu.
                                                                        Yogyakarta, 2012

DONGENG CIMANUK
Karya; Sapitri Indah

Ma yuk berkisah padaku, tentang sungai besar yang punya banyak cerita dari setiap mulut ke mulut.
Satu sungai dengan drai arus perkasa yang menumbuhkan hamparan hijau disekitarnya,
Satu sungai dimana Nyi Endhang ayu menyatu bersama aliran air yang entah kemana bermuara.
Ma yuk berkisah padaku, tentang kerinduannya di tanah rantau yang tak terbayar akan satu sungai tempat buyut Kosim selulup mencari ikan, juga buyut Dunyar mencuci baju.
Ma yuk menangis memelukku, ketika berkisah padaku, betapa rindu ia akan arus sungai yang pernah menghanyutkan selendang nawang pemberian abah Qodir, pujaan hatinya kala itu.
Satu sungai yang memberi hidup pada Ma yukjuga ma yuk lain yang beginya tak harus bersusah payah menadahujan pada kemarau untuk mengair sawah buyut Kosim
Aku selalu penasaran, tentang dongeng cimanuk yang selalu
dikisahkan padaku menjelang tidur
Dongeng yang tidak akan pernah kau temui di gerai dongeng manapun
Dongeng tentang cimanuk yang menjadi saksi sejarah babad dermayu, saksi bisu yang tidak akan membisu melihat keringnya perswahan buyut-buyut terdahulu, maupun buyut-buyut yang akan datang
Dongeng cimanuk, yang akan selalu hidup dalam benakku,
tentang saksi kehidupan yang akan terus hidup tanpa mengenal mati dan henti.
                                                                                                Indramayu, 25 September 2016


SAWADDEE KRAB, BANGKOK 

Karya; Moh. Hery Saripudin

Kurasakan keramahan wajah-wajah akrab menyambut
Sawaddee krab. Aku hanyut dalam lembut hatimu
Dalam rimba lalu-lintas Bangkok. Sopir taksi mengusikku
Dan aku terus terjaga mangingat rambu-rambu untuk kembali
Pengembaraan primitif bisa berawal setiap saat malam ini

Kurasakan keakraban wajah-wajah ramah memanjakan
Laparku. Melayap pada warung-warung makanan sepanjang silom road
Turis-turis asing mengabarkan keceriaan pada kafe dan botol-botol kosong
Segala cerita tidak mungkin bisa saja terjadi pada malam ini
Bangkok telah menyediakan segalanya dan penuh ramah menyapa siapa saja
Sawaddee krab.
                                                                                    Bangkok, 17 Oktober 2000


PERBURUAN RERE 

                                                                        Karya; Dedi Apriadie Raswin

Berlepasan cahaya rere di taman-taman
kota telah runtuh dan gemetar
dalam rengkuhanmu.
Bergegas dalam perburuan
paling sunyi, kita terus mencari.
Pelabuhan kian menepi dan tekanan musim yang paling berat
terbujur dalam kamar persetubuhan ini berlayar menuju kecemasan dan kekosongan semuanya mengunci.
Keheningan merentang tak kuasa menahan. tangisan.
Penantianmu pengembaraan jauh melipat awan. Dalam genggaman terbaring di taman-taman kota.
Menjelma kengerian dan kelengangan

Kita terus terkapar di belantara ini
seperti rumputan menebarkan belukar
tersesat di rimba-rimba perdaban dan dusta
tetapi kemana mengungsi kota-kota telah runtuh
hanya suaramu terpelanting di udara. menggempurmu
semesta yang kelam. kita terus merajut
airmata menjadi rendaman atau tikaman melapangkan jalan kesunyianmu
                                                                                                Indramayu, 1998

                                    SEMUA MENGEPUNGMU

                                                                        Karya; Supali Kasim

Semua mengepungmu. Kemana lagi ‘kan kau pergi
dari asap knalpot dan cerobong pabrik
kata-kata makin baracun. Paru-paru sesak
menjadi tajuk rencana koran kriminal
tak ada lagi tanah yang pijak atau kau hirup
udara segar. Semua telah menjadi polusi
bahasa.Menjadi buih dan busa
tercemar insektisida atau fungisida
kau hanya mampu minum sebotol air
mineral dari air bah, lautan, dan comberan
eufimisme. Sisa ekspor yang dipajang
emperan cina.

Semua mengepungmu. Kemana lagi migrasi
dari kalimat berkarat
menjadi besi tua.Tenggorokanmu makin berjamur
saat berbincang di televise swasta
tak adalagi oksigen atau pengharum
udara. Debu dan ludah berhamburan
pencemaran wacana dan lapisan ozon
alinea demi alinea dari pergulatan titik-koma
yang kembali menjadi sampah. Mestinya kau menjadi
pemulung. Hanya menjadi pemulung
di lautan euforia
kau punguti saja
                                                                                    Indramayu,2000
                       


                        SURAT CINTA SANG PERJAKA UNTUK KEKASIH

                                                                                   Karya; Ilham Soleh

Kekasihku,
Tujuh belas gairah
Kupasrahkan bagimu
Mu

Debar ombak di pantai
Adalah debur jantungku
Gelora cintamu
Mu

(Sam Pek berpulang
Didera derita asmara
Eng Tay menyusul kabur
Kesetiaan sepasang kupu-kupu)

Bidadariku,
Ketika aku menatap kilau mripatmu
Rembulan ranum bercahaya
Lenyaplah kehampaan
(Ratminah gila
Tenung kasmaran

Ketika Baridin komat-kamit lepas malam
Gendam aroma dendam)

Sihir mengendarai gelombang angin
Aku anti japa mantra kegelapan

                        TELAH KUSIMPAN BAU SAJAK

                                                                        Karya; Saptaguna

Seratus abad telah kusimpan bau sajak
Wangi Tardji dan aroma Malma
Telah mengantarkanku pada pintu-pintu tanpa Dewa

Kutulis Rumi :
Penaku bergemuruh menumpahkan lautan tinta
Kubuka halaman demi halaman,
Tak ada percakapan Mahatma atau Teresa
Hanya di sudut taman sekuntum bunga meranggas
Karena tak lagio menerima cinta

Kini kucoba lagi mereguk lautan tinta itu
Seperti Karen Armstrong yang menggigil dingin
Mendekap Tuhannya.
                                                            Indramayu, Juli 2001
                       
                        BACALAH
                                                            Karya; Ope Mustofa
Gurun nan gersang........kejam
Hutan lengang.....menakutkan desa terpencil
Sampai tengah hiruk pikuknya
Kota metropolitan

Dalam suasana suka dan duka tidak mengenal
Tua dan muda
Kalam-Mu ya Tuhan semesta alam
Dibaca-dihayati-diamalkan menguak lengang
Mengusir gersang menghilangkan takut menemtramkan
Dinamika kehidupan
Diawali kalimat ta’awudz berlindung kepada-Mu
Dari godaan syaitan yang terkutuk
Diakhiri tasbih dan iman
Maha benar engkau ya Allah dengan segala firman-Nya

Menjadi pedoman dalam kehidupan
Sungguh....sebaiknya ibadah
Membaca al-Qur’an mubin
Semoga amal ibadah kita diterima Allah Swt.
                                                Kroya, 27 Maret 1996
                       
UJUNG MALAM
                                    Karya; D. Wardana 

Di ujung malam yang kemarau
Ku-tunggui kubah-kubah masjid
Dengan banyu mata mbrebes mili
Terdengar dentingan tasbihmu mengeja
Di setiap jari yang gugur bersama bibir-bibir merah
Tak putus suaranya memekik, mengaung
Di jiwa-Mu
Allahu-Akbar
Allahu-Akbar
Allahu-Akbar
Walillah-ilham
Hanya lengkingan
Dari seorang pemabuk dalam gamang
Di ujung malam-Nya
                                                Idul Adha, 2006

                        LAGI, KEMATIAN

                                                            Karya; Candra N. Pangeran

Satus dina peteng wit kiara
Singub kedeleng disawang

Angin hanya lewat
Sayap pinus di sisi jurang
Basah. Entah kabut tak hingga
Tirai sejauh bulan diam dipanggut
Kala. Kau
Kembali pada kematian melunaskan
Segala puisi serupa do’a masih
Tercecer di setiap saku celana dan
Laci meja yang kau sembunyikan bagi

Ruang-ruang api menyala
Menyalak. Angin kembali
Hanya lewat
Semua gelap liarmu
Tersangkut nisan di atas
Pusara. Kau

Serupa malaikat yang iseng
Membuat Tuhan menjadi bingung

Sendirian. Menanti kau
Kembali dilahirkan
                                                2010

RATU
                        Karya; H.A Dasuki

Wahai burung pipit
Hanya dikaulah sahabatku di tempat sunyi
Jauh dari kota yang sibuk sepanjang hari
Di sana orang sibuk menumpuk rizki
Tak pulang kurang sibuknya memilih ratu
Dicarinya di segenap penjuru
Hari ratu konde besok ratu kebaya
Lusa ratu batik menyusul ratu wisata
Entahlah ratu apalagi ‘kan naik tahta
Ah, ratu, lagi-lagi ratu
Seribu ratu, selaksa raja
Asalkan repeh rapih tata raharja
Bukan aku tak merindukan ratu bukan ratu kepala batu
Melainkan ratu adil palamarta
Penyantun si kecil pelindung rakyat jelata
Amboi, ratumu hanya ada dalam suratan
Pujangga pikun merindukan keadilan
Biarlah aku ‘kan menanti
Di tempat sunyi
Burung pipit menghiburku sepanjang hari
                                                            1968

                        JIHAD ANAK PALESTINA
: Zionis
 
                                    Karya ; ipang Riva’i Alfien

Hai
Engkau penyembah berhala anak sapi – ini aku
Anak Palestina pewaris tanah leluhur
Aku musuhmu sejak Isa engka manipulasi disalibkan
Ayo, kita
Berhitung sampai bumi dan langit lebur menjadi satu
Walau sungguh
Tongkatku adalah senapanku
Tasbihku adalah pelorku
Sajadahku adalah pesawat tempurku
Tumpukan mayat anak-istriku adalah bentengku
Air zam-zam dan buah kurma adalah ransumku
Dzikirku adlah peluru kendaliku
Kiblat dan kitabku adalah peta perangku, dan
Pekikan takbirku adalah komandoku :
Allahu akbar! Allahu akbar!
Kubakar dengan api hati
Lalu ku tempa jadi satu
Menuju: Tuhan
                                    Indramayu, medio 2009
           
            LALU KITA PUN BICARA

                                                Karya; Syarofin Arba MF

Lalu kita pun bicara
Bersenandung makan dan minum
Kau mengajakku beransa
Mengantarkan irama abad-abad lalu
Tuts gelas sampanye menggetarkan tubuh
Di sudut taman bibirmu merekah
Menidurkan pokok-pokok akasia
Malam berputar di atas piring dan mangkuk sup

‘le violette du monde..... penyayi berambut pirang
Mengulang refrain yang kesekian

Kau berbisik selirih angin
Ketika melodi mengantar gelas terakhirku
Mimpi-mimpi berloncatan
Dan mawar yang kau sulam di gaunmu
Berapa abad sudah kita lumat
Percumbuan ini?

Lampu-lampu violet meredam
Setiap suara yang disembunyikan
                                                            1997


            -SURAT REFORMASI UNTUK IDA-

                                                                        Karya; Acep Syahril


Ida hari ini orang-orang menuliskan sejarah dengan
Genangan darah atau air mata di antara kebengisan
Wangi nyawa dan tebaran kamboja spanduk dan
Grafiti terus bicara di situ hati nurani berkumandang
Terang seperti kilatan-kilatan mata pedang kobaran amarah
Membakar segala dinding jiwa kata-kata berubah
Jadi api yang menghanguskan lapar dan ketertindasan
Para penjarah yang dulu tertawa kini kembali dijarah
Wajah mereka pucat kota-kota jadi satu warna
Riuh dan gemetar

Ida jelanglah anak-anakmu yang bermain di ladang
Dan pematang sawah milik kita kabarkan pada mereka
Kalau kekuasaan zalim di negeri ini pasti akan mati
Kabarkan juga pada Marno pengamen yang selalu dihina
Sebagai peminta-minta itu atau pada Kasini yang masih
Menjual diri karena perlakuan mereka yang pernah
memiskinkan hidupnya   

pohon kejahatan yang pernah mereka tanam di seluruh
pekarangan negeri ini sedang dicerabuti dari akarnya
bergalon-galon peluh saudara yang dulu beku kini
cair ke muara-muara penuh tuju
untuk itu jangan tinggalkan kampung halamanmu
tetaplah di sana hidup dengan memetik buah kelapa
membuat sayur lodeh dengan bedara cina
pucuk ubi kembang turi kacang kedelai atau daun
dan kembang labu
sebab itu tetap lebih bergizi untuk menghidup-suburkan
tubuh dan sel syaraf pikir kita sambil belajar atau tentang
dunia yang nantinya akan berputar kencang seperti panggalan

ida sekali lagi tetaplah kau di sana berdo’a dan
bermufakatlah dengan Tuhan di sini aku tetap mencintaimu
bau kota dan amis darah yang terpanggang atau mereka
yang selalu kehilangan pegangan

                                                Jakarta-Indramayu, Mei 1998


                                    BALONGAN

                                                            Karya; Abdul Aziz Ha Em. El-Basyroh
                                                            (Persembahan buat: Para aktivis Gerakan Hati Nurani)
    
Menyaksikan kemegahan pipa-pipa besi baja
Mengalirkan darah dalam genangan air kehidupan
Bagai ular besar berbisa lembaran dolar
Membius manusia dengan dongeng-dongeng kemajuan
Menidurkan aku bersama berpuluh-puluh ribu kuningnya
Padi-padi di petak persawahan buruh petani
Mimpi indahnya menjadi santapan mulut rakus buldozer
Dikunyah-kunyah lalu dihancur-leburkan dalam
Perut ego ambisi penguasa yang tiran

Burung-burung pun enggan ntuk menyanyikan
Orkesta alam dengan barisan pepohonan 
Puisi, karena tikus-tikus telah merusakkan
Dalam pagelaran sandiwara di paanggung Sang Hakim
Melakonkan perang Baratayudha di bumi Pantura
Ketentraman menyembunyikan dirinya
Dalam jubah kenabian
Di tengah ganasnya gurun keterpurukan
Cinta telah menjadi oase yang sulit diraih

Mengapa api-api kecil kesalahan melahirkan
Kebencian, kemudian membakar tatanan taman firdausi
Hingga menjelamakan debu-debu jalanan
Yang mengkhutbahkan cahaya kesadaran petani dan nelayan
Mentasbihkan senyuman bahagia, meski penderitaan
Telah menjadi tempat tinggal abadinya

                                                            Jatibarang, 19 Juli 2000


                        REUNI AIR MATA 

                                                            Karya; Saptaguna
                                                            Bagi : Desaku

Kembali aku menapaki jalan terjal itu
Kerikil dan debu mengabarkan musim ketiga
Seluruh padi merunduk setelah sekian lama
Tak tahan mengandung tangis lumbung padi
Dan jerit petani papa

Sungai-sungai hanya menawarkan luka
Tela yang menganga masih terus mengabadikan
Leng-leng kesedihan dan duka
Entah sampai kapan air akan mengalirkan deras rindu dan gemericik cinta

Aku lalu menyampaikan salam purba
Tak ada tawa burung cici atau tiupan batang padi
Aku hanya disapa gelisah daun kelapa dan rintihan batang bambu tua

Kecemasan demi kecemasan terus kita rajut menjadi pintalan air mata :
Ibu-ibu tak sudi lagi merwat burkat pengantinnya,
Sebab anak-anak yang dilahirkannya hanya menjadi kafilah senja

Dari setiap tajug masih kudengar pujian  yang pahit dan sholawat yang getir:
Seperti raungan para kiai yang menyaksikan santri merobek-robek kitab kuningnya.
                                                                        Srengseng, Agustus 2001


BINGKAI SEBUAH MIMPI

                                                                                                Karya; Nunung Sutarsah


Aku lelah dikejar bayangan sendiri
Dan ketika kutemui orang-orang
Makin banyak bayangan yang mengejar
Mengejar dan terus mengejarku
Sampai kakiku lelah
Sampai hatiku lelah
Sampai kakiku tak bisa lagi kugerakkan
Sampai hatiku tak bisa lagi merasakan

Dan bayangan-bayangan itu
Tersenyum sinis ke arahku
Yag kemudian menyeringai, tertawa
Tertawa dan terus tertawa
Sampai telingaku tak kuat lagi
Untuk mendengarnya
Walau kututup dengan kedua belah telapak tanganku
Suara itu terus menggema,
 Menggema dan terus menggema
Aku tak ingat apa-apa lagi

Dan aku terjaga ada suara
Lembut memanggil namaku
Tapi suara it begitu aku kenal
Dan rasanya suara itu tak pernah
Terpisah dariku
Sepanjang usiaku sekarang
Mungkinkah itu aku?

                       
                        In Memorian Kota
                        : Yohanto A. Nugraha
                                                            Dedi Apriyadi Raswin

Bagai sebah sajak, kata-kata meluncur seperti sebuah alegori
Di penuhi bunyi dan tanda sepertinya arus sungai kota tua ini,
Juga telah membelah arah perjalanan, sisa-sisa kenangan,
Kelenteng tua, juga jukung yang ditarik tambang, engkau sebrangi
Mencari-cari tanda arah pedukuhan yang bakal kita sambangi,
Menyusuri penganjang pabean, babadan, sisa arsitektur kolonial
Nampak muram dan berdebu kita tersekat disini, menambatkan
Impian ditepian patok-patok kayu penambat perahu yang lapuk,
Seperti menyimpan sebuah lanskap miniatur yang sunyi dan sendiri
Kita tersekat dipusaran air, bayang-bayang masa lalu yang kelam
Melengang dalam pikiran

Akulah Wiralodra, desahmu di penghujung waktu yang entah,
Mengingatkanku pada sejarah bahwa kita memang telah membuka
Padukuhan ini, ladang-ladang baru, menyemai sawah dan palwija
Kanggo anak putu Aria Wiralodra, sembah pangabakti kageman
Negeri, padukuhan alit naminipun Dermayu, kembali mulih harja,
Tanda nipun yen wonten pertala, ‘ula nyeberangi
Jembatan, geni gemlobyor tanpa patra.
Maka akulah penyair itu.    

Sang Aria Wiralodra, membuka ladang, mengolah sawah bukan
sekedar impian dan kata-kata

lalu, kau pun bercerita tentang mitos itu, perempuan berparas
cantik, perempuan digjaya sakti mandraguna, Endang Dharma Ayu
namanya telah meluluhlantakkan hati sang Aria yang perkasa
begitulah kemudian lagit disekitar nampak muram seperti rona
senja yang kusam, digigir kelam seperti sebuah sajak, kau susuri
lagi metamorfosis kata-kata, menyusuri kelam, epitaf-epitaf
seribu suluk berseliweran dengan narasi yang miris, diantara sesaji
dan wangi sunyi sebuah sendang : aroma di tubuhmu, berbaur
dikedalaman malam ditingkahi, kiser, jerit sinden dan desir tarling

                       
PESAN CINTA
: Kepada Jodohku              
                                                                        Karya; Ayu Puspa Dewi

Ketika rasa menggoyak sukma
Ketika rasa menjelma dalam sebentuk cinta
Ku kira itu adalah kau
Namun ternyata engkau masih jauh entah dimana
Wahai pemilik tulang rusuk ini
Aku masih sendiri menata hati
Tak masalah aku kan terus menanti
Asal tak layu oleh mimpi
Kekasih, dalam subuh ini
Suaramu dan suarak saling menyapa dalam do’a
Dan memandang langit yang sama
 Di sinilah tatapanmu dan tatapanku bertemu

Aku selalu merindukanmu dalam setiap
Hembusan nafasku
Tapi, apakah kau masih ada dialiran darahku?

                                                            10 Juli 2014


                                    HUJAN SORE HARI
                                    -Wr Dalam Catatan
                                                                                    Karya: Yohanto A. Nugraha

Dalam hujan sore hari dan dingin
Sudut-sudut kamar yang bersijingkat
Mencari mata pisau sungguh aku lupa
Siapa yang memindahkan wajahmu
Memaksaku merabah seluruh tubuh
Menarik kepusaran yang paling jauh
Dan asing kukira engkaulah peri penggoda
Matamu memancarkan seribu telenovela
Berenang mengarungi lautan bercampur limbah
Yang kian mengubah wajahmu sebab aku hanya
daun terbawa arus atau kumasuki mimpi
wiralodra yang kasmaran menanti nyi Endang
mandi besar setelah perang tanding yang membuncah
di antara bantaran. Sebagai tanda bahwa di sini
telah ada bencana di hamparan baro-baro yang luka
dan amis darah pinangeran mengubur kesombongan
selendangmu tak sekedar berkibar tapi terbang
membawa kunang-kunang yang gemerlap
meski padepokan itu harus kau hancurkan
tapi jangan seret aku dalam peristiwa aku hanya
sayap kata-kata dan perkenankan puisiku melingkari
persetubuhan sebab aku sulit membedakan
malam dan siang meski ricik airmu menjelma

lembayung dan kukira aku telah melukai
dengan kata-kata pilihlah dimana akan kutancapkan
cakarmu agar melengkapi kesempurnaan hidup
dan terbebas dari dendam masa silam
    

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.