[ads-post]



Menjadi pahlawan bagi bangsa ini ibarat menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang di dalamnya terdapat sebuah tantangan tersendiri, dengan segala talenta serta potensi yang dimiliki oleh seorang manusia baik laki-laki atau perempuan, keduanya merupakan sesuatu yang abash terjadi di berbagai Negara, seperti di Indonesia sendiri, begitu banyak jumlah TKI yang mengais rizki di negeri orang. Dan dalam Wikipedia dijelaskan secara sarkes bahwa TKI adalah sebutan bagi warga Negara Indonesia yang lowlife dan unskill yang bekerja di luar negeri (seperti Malaysia, Timur Tengah, Taiwan, Uganda dan Somalia) dalam sebuah hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dan menerima upah. Namun istilah TKI tersebut dikonotasikan dengan pekerja kasar karena TKI sejatinya memang adalah kumpulan tenaga kerja  unskill yang merupakan program pemerintah untuk meminimalisir angka pengangguran. Dan TKI perempuan seringkali disebut dengan TKW. 

Serta dengan berbagai hipotesa dari adanya faktor yang mendorong seseorang tersebut menjadi TKI ialah lapangan pekerjaan yang sempit serta skill yang belum menemukan tempatnya, sebelum dijadikan sebagai alternatif akan sebuah modal yang terakumulatif. Seperti di Indramayu-Jawa Barat misalnya, jumlah buruh migran asal Indramayu mencapai angka yang fantastis, yaitu 60.000 orang yang di dalamnya terdiri dari laki-laki dan perempuan, dengan jumlah yang begitu besar tersebut maka dapat dijadikan sebuah pijakan berpikir atas sebuah keberpihakan Pemerintah Daerah dalam meminimalisir angka pengangguran tersebut?, namun lagi-lagi hal tersebut tersendat pada sebuah regulasi yang ‘disempitkan’ dengan berbagai kredo-nya (jenjang pendidikan dan life skill), yang dalam hal ini dapat membuat mereka akhirnya memutskan pergi ke tempat lain dengan membawa banyak harapan; terutama materi. Hingga pada pada akhirnya banyak berbagai kasus yangdialami oleh ‘Pahlawan Devisa’ tersebut dan fix agen maupun Dubes (Duta Besar), juga hilang tertelan tumpukan uang. Seperti yang telah menimpa Sumarti, Erwiana, atau Rusmini merupakan sebuah ketledoran dari aparatus hukum yang berada di sana atau juga di sini, dan sebagai buruh menurut Iman  Soepono yang sedikit satire; “Sosiologi buruh adalah tidak bebas. Sebagai manusia yang tidak mempunyai bekal hidup lain daripada tenaganya itu, ia terpaksa untuk bekerja pada manusia lain. Dan majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat itu.” Seumpama buruh atau TKW tersebut mendapatkan majikan yang bisa memperlakukannya secara profesional dan bijaksana, maka hal itu merupakan sebuah anugrah. Namun apabila sebaliknya, di perlakukan kasara serta tidak manusiawi, entah itu dalam hal upah atau kesehariannya terhadap para TKW tersebut, maka bisa dikatakan hal itu merupakan sebuah musiabah. Dan di sini seharusnya peran dari Dubes serta agen yang menghantarkannya itu, bukan berarti lepas tangan pasca lepas landasnya pesawat, akantetapi mereka para TKI/W harus terus mendapatkan dampigan serta dukungan dari berbagai pihak, hingga kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dapat direduksi sedemikian rupa, seperti pelecehan seksual yang kerapkali menimpa para TKW serta perkelahian yang terjadi diantara TKI kita menambah daftar panjang catatan hitam angka kriminalitas para buruh kita yang berada di sana, maka peran pendamping sangat di perlukan apabila hal tersebut telah terjadi, dan alangkah lebih baiknya jangan sampai terjadi. Sperti yang telah dilansir dari berbagai media, bahwa dalam tahun 2015 terdapat kasus yang menimpa TKI/W atau buruh, 10 kasus diantaranya;
1.      Gaji yang tidak dibayar.
2.      Overstay (kelebihan waktu).
3.      Ingin dipulangkan.
4.      Meninggal dunia di Negara tujuan.
5.      Gagal berangkat ke Negara tjuan.
6.      Putus hubungan komunikasi.
7.      TKI/W sakit dan rawat inap.
8.      Kekerasan majikan.
9.      Pekerjaan tidak sesuai kontrak awal.
10.  Tidak dipulangkanmeski kontrak telah habis.  

Sebuah sunnatullah atau kausalita tidak bisa tidak, itu merupakan sesuatu yang pasti terjadi dalam kehidupan manusia, meliputi segala sesuatu tak terkecuali dalam hel ekonomi. Dalam relasi buruh dan majikan, dari para TKI/W tersebut telah menjadi sebuah representasi dari kehidupannya di rumah, dengan sebuah istilah Jawa di gambarkan bahwa "Priwe ngko uwong ngajangi sira, kuh tergantung ira ngajangi uwong sejen,"  hal itu memiliki keterkaitan kuat antara buruh dan majikannya di sana, terlebih dalam hal produksi yang selalu identik dengan rumah ataupun pabrik. maka apabila prilaku yang dilakukan oleh buruh tersebut buruk maka ia akan mendapatkan majikan yang memperlakukannya tidak secara manusiawi. Dalam skup kecil, pedesaan umpamanya, dalam bidang ekonomi dan bukan dalam bidang seksual, ia mengalami penindasan, karena di pedesaan perempuan petani mempunyai peran penting dalam bidang petani; (terkadang) mereka diperlakukan tak ubahnya seperti seorang pembantu.

Relasi TKI/buruh-majikan merupakan sebuah simplifikasi dari relasi industri, sebagai fenomena sosio-ekonomi yang pada dasarnya dipengaruhi oleh; Pertama,  peran, hubngan, institusi, proses serta aktifitas-aktifitas industri dan jasa. Kedua, menacu pada aktifitas sosial dalam pabrik yang mempengaruhi dan dipengaruhi aktifitas sosial-ekonomi kemasyarakatan. Ketiga, relasi industrial dipengaruhi oleh pandangan, nilai, serta agresi sosial yang berkembang dalam masyarakat sebagai ekspresi sosial, ekonomi dan politik masyarakat tersebut. Namun, ketika kekuasaan ekonomi jatuh ke tangan para pekerja/buruh, menjadi mungkin bagi pekerja perempuan (TKW) untuk meraih berbagai hak dan privilese yang tidak pernah diperoleh oleh perempuan patrialistik, bangsawan, atau kelas menengah. Meski pada kenyataannya para TKW juga mengikuti berbagai organisasi buruh di sana, sebagai bentuk reaksioner bagi majikan yang memperlakukannya, temannya, atau siapapun yang masih satu negara dengannya. Peran penting dari organisasi buruh tersebut adalah sebagai sebuah wadah atas aspirasi yang juga di dalamnya terdapatkeluh-kesah atas apa yang diterimanya, dengan harapan besar mereka mendapatkan perlindungan dan juga tempat bernaung atas tindakan-tindakan yang diterimanya dari majikan tersebut.

Oleh karenanya banyak dari TKI kita, khsusnya yang menjadi pembantu rumah tangga mendapatkan perlakuan yang tidak sepatutnya dari majikan, entah dengan alas an profesionalitas kerja atau faaktor lain yang pada akhirnya dilampiaskan pada TKI kita, akantetapi bagi mereka yang bekerja di pabrik setidaknya tidak mengalami hal-hal yang tak etis tersebut, karena lingkup sosialnya sama seperti kehidupan karyawan pada umumnya. Namun dari mereka kebanyakan adalah perempuan, maka kasus semacam trafiking terus menghantui mereka, karena dengan derasnya informasi, maka mereka setidaknya mengetahui perihal trafiking tersebut. Dan kareana mereka adalah perempuan yang kadang menjadi TKI juga menjadi semacam Bloomerisme (semuanya hancur menjadi bahan tertawaan) apabila mereka atau salah satunya telah tertimpa hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh sebab itu, mereka yang menyandang gelar Pahlawan Devisa tersebut harus menerima kenyataan yang memilukan apabila ia terus mendapatkan perlakuan di luar batas akal manusia.
Pahalwan merupakan sesuatu yang di dalamnya terdapat sisi ambigu apabila hanya penyematannya hanya di letakkan pada mereka yang telah bejuang mengusir para penjajah, akantetapi pahlawanan ialah sesosok manusia yang bermanfaat bagi orang lain, dan dalam skup kecil para TKI adalah ia telah menjadi pahlawan keluarga, dengan segala feminimitas serta terpaan yang menyadungnya.

والله تعال و أعلم

Selasa, 11 April 2017
Ahonk_bae

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.