[ads-post]

Gambar: Global.Liputan6.com
Langit begitu gelap dengan taburan kebencian terhadap bumi yang gersang, duan kutub yang saling menjanjikan hal lain bagi para penghuninya dengan, segala bentuk kemalangan dan kesengsaraan tiada berpangkal, pada ritme waktu yang tidak ditentukan semua penduduknya berlomba mewarnai langit dengan sekijur kemalangan yang tak berujung, menghiasinya dengan asap serta polusi kebencian, sehingga tiada lagi keinginan untuk beristirahat dan kedamaian sebab hal itu hanya menimbulkan ketidakadilan [i] bagi sapa saja manusia yang memelihara ketamakan serta kerakusan di dalamnya. Dari gumpalan asap yang silih berganti dengan alur tak begitu jelas, seperti menyampaikan pesan kebencian terhadap manusia lainnya yang hidup dengan tuna-bahagaia, yang menggerogoti bibir pantai hingga abrasi tak bisa dihindarkan, yang memangkas hutan sebagai asumsi bahwa seolah mereka adalah seorang juru barber shop piawai dalam mengeksploitasi ruang untuk hidupnya sendiri serta tanpa disadari mereka telah melakukan pembunuhan semi-sengaja yang imlikasinya akan dirasakan nanti saat bencana menyapa, dan semuanya saling menuduh dan klaim pembenaran serta menjatuhkan lawannya yang sama denga muslihat hebat.   
               
       Seorang gadis kecil dan malang tersungkur dalam himpitan asap keserakahan berbalut kesombongan dengan serta merta ia ingin mengutuki mereka yang telah berhasil merampas hak-haknya untuk hidup dimasa depan dengan penuh kecerian, kebahagiaan, serta kedamaian. Akan tetapi kebahagian itu ia rasakan semu di depan manusia yang hyper-konsumtif dan menafikan mereka yang tak berpunya serta terlalu papa meski untuk berjalan di atas bumi yang terlalu apatis ini. Namun gadis kecil itu selalu mengiang-iang kata yang tepat dari seorang Sade bahwa “kesunyian adalah kekuatan” yang di dalamnya ia bisa berkontemplasi dengan diri di dalamnya, dapat berdialog dengan alam kosmos yang memang memiliki mimpi yang sama dengan dirinya, kadang ia berpikir bahwa orang yang membenci kematian dan tuhan kematian, yang putus asa atas kehidupan pribadinya, ingin membeaskan dirinya dalam kekealan spesies manusia, namun di sisi lain ia berpikir pula bahwa selama kelompok itu (si tamak dan si sombong) masih mendominasi dunia selama spesies itu tidak memerintah, maka kematian memang di perlukan[ii]. Kegelisahan  demi kegelisahan serta kemalangan selalu diterima oleh sang gadis kecil itu, betapa tidak, ia harus sempoyongan memapah beban yang memang belumlah seharusnya menjadi beban bagi gadis semungil itu, sebab semenjak ia belia harus menyaksikan berbagai konspirasi yang memang akan mencelakakan hidup dan kehidupannya kelak. Tak paham bagaimana ia mempersepsikan cinta, kebenaran, kebaikan dan apa yang di sebut Tuhan yang begitu banyak dan bergam konsep tentang Tuhan itu, walau ia tau bahwa Tuhan memang satu, kemudian apa yang dilakukan si tamak seolah sepertinya ia juga memang sedang menyenangkan Tuhannya, demi bisa melakukan ritual-ritual agamanya dengan khidmat, tanpa ada rasa kurang satu apapun, tak peduli ia telah menyakiti tetangganya, temannya, kliennya bahkan, sebab yang dipahaminya ialah harus beruasaha mencapai kebahagiaan dan keluarganya tercukupi sandang, papan, dan pangannya sebagai asas kebahagaian.

       Dalam masa hidupnya gadis kecil itu berjalan tanpa peduli dengan apa yang terjadi, karena memang lingkup sosialnya mengkontruksikan ia ‘mesti’ seperti itu, walau terdapat kontradiksi pada gejolak intelektualnya, ia selalu terngiang apa yang dikatan oleh Pramoedya Ananta Toer ; seorang pelajar harus adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan [iii], tapi apa? Dunia tidak seadil itu. Dunia keadilan idealnya hanya dimiliki oleh mereka yang terobsesi akan sesuatu yang immortal, sebabb ia menyaksikan bahwa dalam jagat peradilan, dan yang ulung, pada akhirnya, sebuah ras (kaum papa) yang berbuat salah akan diseret tak henti-hentinya menuju ketidakbersalahan yang tidak mungkin, di bahwah tatapan garang para penyelidik [iv], dan bagi siapa pun yang memiliki kasus, meski sebiji sawi, ia akan terjerat dengan kata yang dipenuhi oleh ambiguitas ; pasal. Seseorang pernah mengisyaratkan bahwa adil ialah sesuatu yang bersifat ‘proporsional’ tidak selau seperti apa yang tergambar dalam neraca pengadilan, yang tidak berat kanan atau kirinya justice for all, namun gadis itu kembali berpikir sejauhmana keberlakuan ‘proporsional’ itu dalam sengkarut dunia yang selalu di sesaki oleh kong-kalikong ini? Apa ini yang harus diterima dari kinerja si rakus dan si tamak itu dilembaga hukum yang hari ini mulai sangar itu? Jika memang demikian adanya apa gunanya orang yang menuntut keadilan sebab ‘ada yang dirampas’ dalam kehidupannya, namun kontras bagi ‘sang perampas’ itu, lebih baik tidak ada hukum sekalian pikirnya dengan langkah gontai tak menentu, sebab hukum lagit dan bumi hanya dipelintir bagi mereka yang berkepentingan, dengan merekayasa delik hukum serta suap-suapan layaknya balita-balita yang memang tingkahnya selalu mengocok perut.

         Pada sudut lain, apa yang di lihat oleh sang gadis dalam tempatnya menimba cahaya (baca : sekolah) tidak jauh berbeda dengan apa yang dilihat serta dirasakan olehnya mengenai representasi dunia, meski ia belum berani menyimpulkan dan berbicara pada teman sejawatnya bhwa dunia ini seperti ini atau seperti itu, sebab perjalannya masih panjang dan pasti akan ada banyak kejutan, kesedihan serta lainya yang akan menghampirinya dalam kurun waktu yang tiada ia tau kapan itu terjadi , sebab ia hanya berpikir bahwa “kemarin adalah sejarah dan esok adalah misteri” sehingga ia hanya berani berikhtiar dalam menapaki bumu dengan dua kutub gersang ini. Dirasakan olehnya bahwa apa yang diterimanya dari sekolah telah using dengan teori-teorinya yang lapuk yang tidak lagi relevan dalam menjawab persoalan yang di hadapinya di era modernitas ini, belum lagi ia kembali mempersepsikan apa yang dikatan Paolo Freire bahwa ia (peserta didik) merupakan sebuah aset investasi dari mayoritas keluarga (investor) yang nantinya akan memberikan bunga bagi keluarga itu sehingga ia berasumsi bahwa hari ini sekolah tidak lebih dari opium, yang di dalamnya bisa membuat siswa dan siswinya terlena dalam dimensi sakral budaya elitis, yang hanya menyambung estafet pendahulunya dengan membarter satu lembar kertas (ijazah) dengan secuil uang demi mempertahankan status quo yang mentereng dilencana seragamnya, namun minim implementasi terhadap sesama, terelebih kepada alam sekitarnya, sebab ia telah berevolusi menjadi si tamak seperti par pendahulunya. Dengan kesehariannya yang di penuhi kebutuhan akan uang dan uang si gadis itu mulai beranggapan bahwa sekolah hanya milik mereka yang berpunya, semenjak prakitik pungli berbalut kata indah dalam agama ; shodaqoh di gunakan untuk menghisap peserta didik maka ia perlahan mulai menegasikan sikap optimisnya terhadap kata suci ; pelajar, yang gadis itu sering mendengar sentilan bahwa orang yang ‘makan bangku sekolahan akan enak hidupnya’ tapi dalam realitasnya ia gamang terhadap hal itu dengan realitas-realitas yang tidak sedikit 180 derjat bergeser dari esensinya, ia mlihat idealnya sepanjang pendidikan dibatasi hanya pada metode dan teknik pengajaran bagi peserta didik, sedangkan guru dalam mencermati realitas sosial – jika mereka benar-benar mau melakukannya – tidak lebih dari sekedar mendeskripsikannya [v] dan itu yang terjadi berulang-ulang dalam dunia pendidikian, jadi siapa yang ingin di cerdaskan serta diretas kebodohnnya, tetap gurunya atau muridnya? Ia beranggapan bahwa apa yang diterimanya belum bisa diterima oelh teman-teman sejawatnya, sebab guru hanya menyampaikan apa yang ada dalam buku tanpa dikomparasikan dengan ralitas sosial, hingga sepulangnya gadis itu hanya merasakan dehidrasi dalam pikirannya. Kadang terbesit sebuah tanda tanya besar dalam sunyi bacaannya, bahwa apakah pemenuhan administrasinya sebanding dengan yang ia dapat? Akan tetapi naluri negatif itu di terreduksi oleh sikapnya yang optimis dalam ‘fhoto copy’ transfer buku yang diberikan oleh banyak guru setiap mata pelajarannya, walau belajar (studying) itu merupakan pekerjaan yang cukup berat juga menuntut sikap kritis-sistematik (systematic criticak attitude) dan kemampuan intelektual yang hanya diperoleh dengan praktik langsung [vi] si gadis haya merasakan cukup dengan apa yang telah diberikan, sebab apabila ia mengkritisi apa yang telah diberikan maka ancaman serta intimidasi akan diterimanya bukan hanya saat itu, namun dalam buku nilai yang sudah barang tentu sangat sakral ; rapot, dan semenjak lembayung kemarin nilai (apapun bentuknya) sellu menjadi raja atas sebuah kerja dan meski nilai itu kadang menjadi boomerang bagi bagi pribadinya.
                Dalam kemelut sepak-terjangnya dalam kehidupan ia telah mnerima apa-apa yang seharusnya tidak diterima oleh manusia dengan kapasitas yang belum tepat usianya, karena ia bukan hanya telah mengenal baik dan buruk, benar dan salah yang seharusnya ‘diletakan’ pada alam pikiran manusia dewasa, segala bentuk kejahatan, baik yang terang-terangan maupun yang terselubung harus ia saksiakan hingga matanya lebam dengan adanya fenomena yang terus menghantui keberadaannya serta mengancam eksistensi kehidupannya kelak, telinganya tidak henti-hentinya mendengar cacian serta cibiran dari provokator yang lambat laun, juga berevolusi menjadi si tamak seperti kebanyakan. Gadis kecil itu selalu membayangkan fuzzy logic atau logika tandingan [vii] yang memang ‘semestinya’ ada dan hadir dalam setiap konflik yang menghampiri lingkungan sekitarnya, tidak di penuhi oleh pragmatis yang telah di ramu dengan politik golongan, dalam banyak kasus, baik dunia pengadilan atau dunia pendidikan, persoalan politik tak terelakkan, dari yang awalnya politik itu merupakan sesuatu yang bersifat suci, namun dalam kurun watu yang lama definisi hingga implementasinya telah terdegradasi  oleh ‘kepentingan’ yag menyeruak masuk kedalam tubuh-tubuh instansi, yang di dalamnya telah melakukan penyelewengan-penyelewengan serta tindakan yang bersifat otoriter terhadap objek politik itu sendiri. Si gadis pernah teringat adagium Burke ; ia (seorang politisi) harus sepenuhnya memperhatikan keinginan mereka (rakyat), menghormati pendapat mereka memperhatikan masalah mereka. Sudah sampai kewajibannya untuk mengorbankan waktu luangnya, kesenangannya, keinginannya, demi kepentingan mereka – dan terutama, bahkan bahkan dalam setiap kasus, lebih mementingkan kepentingan mereka daripada kepentingannya sendiri [viii], akan tetapi gadis kecil itu memendam kekecewaan yang mendalam dan menyayat, pasalnya dalam tataran grees root hukum yang besentuhan dengan politik, atau sebaliknya, selalu tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Kekecewaan demi kekecewaan ia rasakan dalam masanya yang belia yang sudah terlanjur menjadi seorang nihilis kata Nietzche, ya benar nihilis akan hal-hal yang tidak tidak seperti nampak pada ideal-idealnya, dan kata Nietzche kita (manusia) telah membunuh Tuhan, dalam arti esensi-esensinya yang mulai di tinggalkan dan lapuk dalam sengkarut keserakahan yang sudah barang tentu telah mengotori dunia yang banyak nilai estetika di dalamnya, namun semuanya di konstruksikan menjadi sesuatu yang artifisial, semu, dan sesuatu yang menjijikan. Dan pada akhirnya stimulus demi stimulus kebijaksanaan hanya berlabuh pada kubangan-kubangan retorika para pengemis suara sebelum pesta demokrasi berlangsung, dan gadis itu pun tertegun akan lidah api atas khotbah-khotbah yang membara di setiap tempat namun ia meyakinkan diri untuk tidak tersugesti atas apa yang dimuntahkan oleh delegasi partai politik itu, sebab belum pernah ia temui tindakan konkrit pasca pesta demokrasi berlangsung, yang aa hanya bagaimana modal pemilu itu kembali, entah korupsi, atau menipu rakyat, atau bahkan menggandeng investor dalam mengeksploitasi rakyatnya untuk di jadikan tumbal atasnama demokrasi itu sendiri, pemandangan yang taknlazim it bukan hanya ia saksikan dalam media elektronik yang nun jauh tempatnya, akan tetapi di depoan matanya jua penghianatan it berlangsung. Ia telah merasakan betapa kekuasaan yang seharusnya kata Jhon Locke ; kekuasaan yang dimiliki pemerintah hanya demi kebaikan masyarakat di mana kekuasaan tersebut tidak boleh dijalankan secara abriter dan sekehendaknya sendiri, maka ia harus dijalankan dengan hukum yang ditetapkan dan diundang-undangkan sehingga rakyat bisa tau kewajiban mereka, dan merasa aman dan terjamin dalam naungan hukum tersebut, dan demikian juga bagi penguasa, mereka harus berada dalam batas-batas kekuasaan tersebut [ix].
                Pada akhirnya gadis itu terbujur kaku dalam dilema serta kegamangannya dalam menatap dan menjalani dunianya yang sudah tak bersahabat lagi dengannya, ia hanya berharap keajaiban dari Pemilik segalanya yang terus di curahkan dalam lirih dialog manis malamnya yang sunyi yang tiada seorang pun tau bahwa ia menangis dengan teriakan histeris penuh kegelisahan akan sebuah tanya tentang dunia, pernah ia dapatka kata sakti dari guru spiritualnya bahwa “dunia adalah permainan” dan ia memang sedang di permaikan oleh situasi yang memaksanya bermain-main dengan kegelisahan yang tak berkesudahan. Selangkah jauh ia berpikir dapatkah ia menjadi seorang revolusioner dengan kodratnya ia adalah perempuan?.                                


[i] Albert Camus, Pemberontak, penerjemah Max Arifin, Narasi, cetakan ke-1, Yogyakarta 2015.
[ii] Ibid
[iii] Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, Lentera Dipantara
[iv] Albert Camus, Pemberontak, penerjemah Max Arifin, Narasi, cetakan ke-1, Yogyakarta 2015.
[v] Paulo Freire, penerjemah Agung Prihantoro, Politik Pendidikan, Pustaka Pelajar, cetaka ke-6 2007
[vi] ibid
[vii] Fauz Noor, Marginalia,Semesta Institute cetakan ke-1 Mei 2006
[viii] Henry J. Schmandt, Filsafat Politik,penerjemah Ahmad Baidlowi, Pustaka Pelajar, cetakan ke-III 2009  
[ix] Ibid

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.