Gambar: Global.Liputan6.com |
Seorang gadis
kecil dan malang tersungkur dalam himpitan asap keserakahan berbalut
kesombongan dengan serta merta ia ingin mengutuki mereka yang telah berhasil
merampas hak-haknya untuk hidup dimasa depan dengan penuh kecerian,
kebahagiaan, serta kedamaian. Akan tetapi kebahagian itu ia rasakan semu di
depan manusia yang hyper-konsumtif dan menafikan mereka yang tak berpunya serta
terlalu papa meski untuk berjalan di atas bumi yang terlalu apatis ini. Namun gadis
kecil itu selalu mengiang-iang kata yang tepat dari seorang Sade bahwa “kesunyian
adalah kekuatan” yang di dalamnya ia bisa berkontemplasi dengan diri di
dalamnya, dapat berdialog dengan alam kosmos yang memang memiliki mimpi yang sama
dengan dirinya, kadang ia berpikir bahwa orang yang membenci kematian dan tuhan
kematian, yang putus asa atas kehidupan pribadinya, ingin membeaskan dirinya
dalam kekealan spesies manusia, namun di sisi lain ia berpikir pula bahwa
selama kelompok itu (si tamak dan si sombong) masih mendominasi dunia selama
spesies itu tidak memerintah, maka kematian memang di perlukan[ii].
Kegelisahan demi kegelisahan serta
kemalangan selalu diterima oleh sang gadis kecil itu, betapa tidak, ia harus
sempoyongan memapah beban yang memang belumlah seharusnya menjadi beban bagi
gadis semungil itu, sebab semenjak ia belia harus menyaksikan berbagai
konspirasi yang memang akan mencelakakan hidup dan kehidupannya kelak. Tak paham
bagaimana ia mempersepsikan cinta, kebenaran, kebaikan dan apa yang di sebut Tuhan
yang begitu banyak dan bergam konsep tentang Tuhan itu, walau ia tau bahwa
Tuhan memang satu, kemudian apa yang dilakukan si tamak seolah sepertinya ia
juga memang sedang menyenangkan Tuhannya, demi bisa melakukan ritual-ritual
agamanya dengan khidmat, tanpa ada rasa kurang satu apapun, tak peduli ia telah
menyakiti tetangganya, temannya, kliennya bahkan, sebab yang dipahaminya ialah
harus beruasaha mencapai kebahagiaan dan keluarganya tercukupi sandang, papan,
dan pangannya sebagai asas kebahagaian.
Dalam masa hidupnya gadis kecil itu berjalan tanpa peduli
dengan apa yang terjadi, karena memang lingkup sosialnya mengkontruksikan ia ‘mesti’
seperti itu, walau terdapat kontradiksi pada gejolak intelektualnya, ia selalu
terngiang apa yang dikatan oleh Pramoedya Ananta Toer ; seorang pelajar harus
adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan [iii],
tapi apa? Dunia tidak seadil itu. Dunia keadilan idealnya hanya dimiliki oleh
mereka yang terobsesi akan sesuatu yang immortal, sebabb ia menyaksikan bahwa
dalam jagat peradilan, dan yang ulung, pada akhirnya, sebuah ras (kaum papa)
yang berbuat salah akan diseret tak henti-hentinya menuju ketidakbersalahan
yang tidak mungkin, di bahwah tatapan garang para penyelidik [iv],
dan bagi siapa pun yang memiliki kasus, meski sebiji sawi, ia akan terjerat
dengan kata yang dipenuhi oleh ambiguitas ; pasal. Seseorang pernah
mengisyaratkan bahwa adil ialah sesuatu yang bersifat ‘proporsional’ tidak
selau seperti apa yang tergambar dalam neraca pengadilan, yang tidak berat
kanan atau kirinya justice for all, namun gadis itu kembali berpikir sejauhmana
keberlakuan ‘proporsional’ itu dalam sengkarut dunia yang selalu di sesaki oleh
kong-kalikong ini? Apa ini yang harus diterima dari kinerja si rakus dan
si tamak itu dilembaga hukum yang hari ini mulai sangar itu? Jika memang
demikian adanya apa gunanya orang yang menuntut keadilan sebab ‘ada yang
dirampas’ dalam kehidupannya, namun kontras bagi ‘sang perampas’ itu, lebih
baik tidak ada hukum sekalian pikirnya dengan langkah gontai tak menentu, sebab
hukum lagit dan bumi hanya dipelintir bagi mereka yang berkepentingan, dengan
merekayasa delik hukum serta suap-suapan layaknya balita-balita yang memang
tingkahnya selalu mengocok perut.
Pada sudut lain, apa yang di lihat oleh sang
gadis dalam tempatnya menimba cahaya (baca : sekolah) tidak jauh berbeda dengan
apa yang dilihat serta dirasakan olehnya mengenai representasi dunia, meski ia
belum berani menyimpulkan dan berbicara pada teman sejawatnya bhwa dunia ini
seperti ini atau seperti itu, sebab perjalannya masih panjang dan pasti akan ada
banyak kejutan, kesedihan serta lainya yang akan menghampirinya dalam kurun
waktu yang tiada ia tau kapan itu terjadi , sebab ia hanya berpikir bahwa “kemarin
adalah sejarah dan esok adalah misteri” sehingga ia hanya berani berikhtiar
dalam menapaki bumu dengan dua kutub gersang ini. Dirasakan olehnya
bahwa apa yang diterimanya dari sekolah telah using dengan teori-teorinya yang
lapuk yang tidak lagi relevan dalam menjawab persoalan yang di hadapinya di era
modernitas ini, belum lagi ia kembali mempersepsikan apa yang dikatan Paolo
Freire bahwa ia (peserta didik) merupakan sebuah aset investasi dari mayoritas
keluarga (investor) yang nantinya akan memberikan bunga bagi keluarga itu
sehingga ia berasumsi bahwa hari ini sekolah tidak lebih dari opium, yang di
dalamnya bisa membuat siswa dan siswinya terlena dalam dimensi sakral budaya
elitis, yang hanya menyambung estafet pendahulunya dengan membarter satu lembar
kertas (ijazah) dengan secuil uang demi mempertahankan status quo yang
mentereng dilencana seragamnya, namun minim implementasi terhadap sesama, terelebih
kepada alam sekitarnya, sebab ia telah berevolusi menjadi si tamak seperti par
pendahulunya. Dengan kesehariannya yang di penuhi kebutuhan akan uang dan uang
si gadis itu mulai beranggapan bahwa sekolah hanya milik mereka yang berpunya,
semenjak prakitik pungli berbalut kata indah dalam agama ; shodaqoh di
gunakan untuk menghisap peserta didik maka ia perlahan mulai menegasikan sikap optimisnya
terhadap kata suci ; pelajar, yang gadis itu sering mendengar sentilan bahwa
orang yang ‘makan bangku sekolahan akan enak hidupnya’ tapi dalam
realitasnya ia gamang terhadap hal itu dengan realitas-realitas yang tidak
sedikit 180 derjat bergeser dari esensinya, ia mlihat idealnya sepanjang
pendidikan dibatasi hanya pada metode dan teknik pengajaran bagi peserta didik,
sedangkan guru dalam mencermati realitas sosial – jika mereka benar-benar mau melakukannya
– tidak lebih dari sekedar mendeskripsikannya [v]
dan itu yang terjadi berulang-ulang dalam dunia pendidikian, jadi siapa yang
ingin di cerdaskan serta diretas kebodohnnya, tetap gurunya atau muridnya? Ia beranggapan
bahwa apa yang diterimanya belum bisa diterima oelh teman-teman sejawatnya,
sebab guru hanya menyampaikan apa yang ada dalam buku tanpa dikomparasikan
dengan ralitas sosial, hingga
sepulangnya gadis itu hanya merasakan dehidrasi dalam pikirannya. Kadang terbesit
sebuah tanda tanya besar dalam sunyi bacaannya, bahwa apakah pemenuhan
administrasinya sebanding dengan yang ia dapat? Akan tetapi naluri negatif itu
di terreduksi oleh sikapnya yang optimis dalam ‘fhoto copy’ transfer
buku yang diberikan oleh banyak guru setiap mata pelajarannya, walau belajar (studying)
itu merupakan pekerjaan yang cukup berat juga menuntut sikap kritis-sistematik
(systematic criticak attitude) dan kemampuan intelektual yang hanya
diperoleh dengan praktik langsung [vi]
si gadis haya merasakan cukup dengan apa yang telah diberikan, sebab apabila ia
mengkritisi apa yang telah diberikan maka ancaman serta intimidasi akan
diterimanya bukan hanya saat itu, namun dalam buku nilai yang sudah barang
tentu sangat sakral ; rapot, dan semenjak lembayung kemarin nilai (apapun
bentuknya) sellu menjadi raja atas sebuah kerja dan meski nilai itu kadang
menjadi boomerang bagi bagi pribadinya.
Dalam kemelut sepak-terjangnya
dalam kehidupan ia telah mnerima apa-apa yang seharusnya tidak diterima oleh
manusia dengan kapasitas yang belum tepat usianya, karena ia bukan hanya telah
mengenal baik dan buruk, benar dan salah yang seharusnya ‘diletakan’ pada alam
pikiran manusia dewasa, segala bentuk kejahatan, baik yang terang-terangan
maupun yang terselubung harus ia saksiakan hingga matanya lebam dengan adanya
fenomena yang terus menghantui keberadaannya serta mengancam eksistensi
kehidupannya kelak, telinganya tidak henti-hentinya mendengar cacian serta
cibiran dari provokator yang lambat laun, juga berevolusi menjadi si tamak
seperti kebanyakan. Gadis kecil itu selalu membayangkan fuzzy logic atau
logika tandingan [vii] yang
memang ‘semestinya’ ada dan hadir dalam setiap konflik yang menghampiri
lingkungan sekitarnya, tidak di penuhi oleh pragmatis yang telah di ramu dengan
politik golongan, dalam banyak kasus, baik dunia pengadilan atau dunia
pendidikan, persoalan politik tak terelakkan, dari yang awalnya politik itu merupakan
sesuatu yang bersifat suci, namun dalam kurun watu yang lama definisi hingga
implementasinya telah terdegradasi oleh ‘kepentingan’
yag menyeruak masuk kedalam tubuh-tubuh instansi, yang di dalamnya telah
melakukan penyelewengan-penyelewengan serta tindakan yang bersifat otoriter
terhadap objek politik itu sendiri. Si gadis pernah teringat adagium Burke ; ia
(seorang politisi) harus sepenuhnya memperhatikan keinginan mereka (rakyat),
menghormati pendapat mereka memperhatikan masalah mereka. Sudah sampai
kewajibannya untuk mengorbankan waktu luangnya, kesenangannya, keinginannya,
demi kepentingan mereka – dan terutama, bahkan bahkan dalam setiap kasus, lebih
mementingkan kepentingan mereka daripada kepentingannya sendiri [viii],
akan tetapi gadis kecil itu memendam kekecewaan yang mendalam dan menyayat,
pasalnya dalam tataran grees root hukum yang besentuhan dengan politik,
atau sebaliknya, selalu tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Kekecewaan demi
kekecewaan ia rasakan dalam masanya yang belia yang sudah terlanjur menjadi seorang
nihilis kata Nietzche, ya benar nihilis akan hal-hal yang tidak tidak seperti
nampak pada ideal-idealnya, dan kata Nietzche kita (manusia) telah membunuh
Tuhan, dalam arti esensi-esensinya yang mulai di tinggalkan dan lapuk dalam
sengkarut keserakahan yang sudah barang tentu telah mengotori dunia yang banyak
nilai estetika di dalamnya, namun semuanya di konstruksikan menjadi sesuatu
yang artifisial, semu, dan sesuatu yang menjijikan. Dan pada akhirnya stimulus
demi stimulus kebijaksanaan hanya berlabuh pada kubangan-kubangan retorika para
pengemis suara sebelum pesta demokrasi berlangsung, dan gadis itu pun tertegun
akan lidah api atas khotbah-khotbah yang membara di setiap tempat namun ia
meyakinkan diri untuk tidak tersugesti atas apa yang dimuntahkan oleh delegasi
partai politik itu, sebab belum pernah ia temui tindakan konkrit pasca pesta
demokrasi berlangsung, yang aa hanya bagaimana modal pemilu itu kembali, entah
korupsi, atau menipu rakyat, atau bahkan menggandeng investor dalam
mengeksploitasi rakyatnya untuk di jadikan tumbal atasnama demokrasi itu
sendiri, pemandangan yang taknlazim it bukan hanya ia saksikan dalam media elektronik
yang nun jauh tempatnya, akan tetapi di depoan matanya jua penghianatan it
berlangsung. Ia telah merasakan betapa kekuasaan yang seharusnya kata Jhon
Locke ; kekuasaan yang dimiliki pemerintah hanya demi kebaikan masyarakat di
mana kekuasaan tersebut tidak boleh dijalankan secara abriter dan sekehendaknya
sendiri, maka ia harus dijalankan dengan hukum yang ditetapkan dan
diundang-undangkan sehingga rakyat bisa tau kewajiban mereka, dan merasa aman
dan terjamin dalam naungan hukum tersebut, dan demikian juga bagi penguasa,
mereka harus berada dalam batas-batas kekuasaan tersebut [ix].
Pada akhirnya gadis itu terbujur
kaku dalam dilema serta kegamangannya dalam menatap dan menjalani dunianya yang
sudah tak bersahabat lagi dengannya, ia hanya berharap keajaiban dari Pemilik segalanya
yang terus di curahkan dalam lirih dialog manis malamnya yang sunyi yang tiada
seorang pun tau bahwa ia menangis dengan teriakan histeris penuh kegelisahan
akan sebuah tanya tentang dunia, pernah ia dapatka kata sakti dari guru
spiritualnya bahwa “dunia adalah permainan” dan ia memang sedang di
permaikan oleh situasi yang memaksanya bermain-main dengan kegelisahan yang tak
berkesudahan. Selangkah jauh ia berpikir dapatkah ia menjadi seorang revolusioner
dengan kodratnya ia adalah perempuan?.
[iv] Albert
Camus, Pemberontak, penerjemah
Max Arifin, Narasi, cetakan ke-1, Yogyakarta 2015.
[v] Paulo Freire, penerjemah Agung Prihantoro, Politik Pendidikan, Pustaka
Pelajar, cetaka ke-6 2007
[vi] ibid
[vii] Fauz Noor, Marginalia,Semesta
Institute cetakan ke-1 Mei 2006
[viii]
Henry J. Schmandt, Filsafat
Politik,penerjemah Ahmad Baidlowi, Pustaka Pelajar, cetakan ke-III 2009
[ix] Ibid
Posting Komentar