[ads-post]

Gambar : Solusinews.blogspot.com
Fashion hari ini adalah raja, begitu kiranya dalam mengintepretasikan realitas sosial saat ini, terlebih kaum Hawa, dalam era modernitas seperti sekarang ini terjadi semacam 'perlobaan' penampilan, yang sudah barang tentu kontestannya ialah orang-orang selalu mengejar popularitas. Dan pada akhirnya mereka menjadi asing dengan diri mereka sendiri, sehingga sulit menemukan jati diri serta diri mereka yang sebenarnya, mengapa? Hal semacam ini telah mafhum serta memang telah menjadi dogma dalam kurun waktu belakangan, ditambah akses yang terbuka lebar untuk selalu eksis 'di muka' terbuka secara lebar.

Popularitas yang menjadi barang buruan bagi orang-orang modern tidak hanya akan berhenti pada flat layar kaca smart phone namun akan terus berlanjut hingga pada pola-pola aplikatif dalam kehidupan, tindakan dan perkataan umpamanya, yang dalam realitasnya ia akan menjadi sosok hits disekitarnya, dan lagi, Dunia Maya adalah pelarian dari dunia nyata, maka apa yang banyak di perbincangkan dalam dunia maya yang jauh dari tempatnya berpijak dibawa dalam dunia nyatanya, tak peduli dengan moral serta etika adat atau pola kultural sebagai sebuah jati diri bangsa yang sesungguhnya. asalkan ia familiar, upaya-upaya masif juga diigalakan dalam sebagai upaya pemenuhan hasrat publik tersebut.

Hetaira merupakan sebuah istilah 'hitam' yang secara esensialnya ialah profesi pelacur yang menjalankan profesi serta transaksi dengan kemurniannya secara umum – sebagai perempuan – dengan  dengan akibat bahwa kompetensi membuatnya tetap berada pada level eksistensi yang menyedihkan, kira-kira seperti itu representasi perempuan yang digambarkan oleh Simone De Beauvoir dalam buku kedua dari Second Sex-nya. Meskipun terdengar kasar namun pemilihan istilah tersebut dirasa relevan, mengingat apa yang terjadi sekarang adalah perlombaan untuk menjadi raja di dunia maya, yang dengan mengejar raiting dan viralitas yang menjadi dapur pacunya. Pada abad terakhir, rumahnya dikota, barang bawaannya (termasuk ponsel), dan mutiaranya, menjadi saksi menjadi semacam pengaruh dan peran pendukung bagi pola hidupnya, dan meskipun hetaira  dalam terminologi awalnya merupakan peran yang dimainkan oleh "perempuan simpanan" gundik dari pelindungnya yang juga mengikatnya menjadi demimonde (kelas sosial yang etrdiri dari orang-orang yang dihormati), namun kemirisan yang dirasakan ialah pola hetaira tersebut telah merambah pada anak-anak usia remaja perempuan, baik di kota, daerah suburban, atau bahkan dalam skup pedesaan.
dengan bermodalkan ponsel atau smart phone anak remaja hari ini gemar menunjukkan eksistensinya di media sosial, dengan ekspektasi dari hal tersebut adalah bahwa mereka akan menjadi tolok ukur serta pacuan semua orang. Setiap sesi foto biasanya menampilkan pakaian serta pose yang berbeda, selain juga view  yang dipilihnya ialah tempat-tempat rekreasi, gunung atau pantai. lantas bagaimana ketika orang lain akan menilainya dengan perspektif yang berbeda dari apa yang dicita-citakan? dengan norma sosial atau norma agama misalnya, namun karena ia berada pada sisi konservatif maka kemungkinan besarnya akan sulit membuka diri dalam menerima kritik dari orang lain. Juga ia terlalu bangga karena berhasil memiliki tempat 'di dunia ini' sama seperti kesuksesan yang hendak mengubah banyak hal.

Kehidupan yang hampir sepenuhnya dilemparkan kepada publik. Seperti pada zaman Yunani kuno para gadis peniup suling memesona laki-laki dengan musik dan tarian mereka. Perempuan-perempuan Arab Aljazair melakukan danse du ventre, atau gadis-gadis Spanyol yang menari dan bernanyi dalam Barrio Chino sebagai medan magnet publik, terlebih kaum Adam. Dan darinya kita bisa mengambil benang merah, bahwa semua yang dilakukan oleh perempuan yang mirip dalam sebuah pameran dalam memamerkan keindahan keindahan tubuhnya, yang kemudian menjadi konsumsi publik.

Dan Hetaira di sini kita gunakan untuk menyebut perempuan yang merawat tidak hanya tubuh mereka, namun jga seluruh kepribadian mereka sebagai modal untuk dieksploitasi, karena seorang Hetaira tidak membuka dunia, ia tidak membuka jalan untuk peningkatan manusia; sebaliknya, ia berusaha menangkap dunia sebagai kepentingannya sendiri. Sehingga rasa individualisme muncul tanpa sesuatu yang artifisial, atau mengada-ada. Namun  sebaliknya mengada-ada tersebut ketika dalam view publik, yang sebisa mungkin ia harus menjadi orang lain, yang harus tampil cantik, pintar, dan anggun sehingga dengan hal itu ia mendapatkan rasa simpatik dari publik. Dan yang lebih menjadi sesuatu yang janggal ialah bahwa seorang Hetairan memanfaatkan laki-laki di dekatnya sebagai tameng ekonomi serta popularitasnya, dan bukan hanya melulu permasalahan ekonomi, akantetapi mereka juga berada dalam lingkaran yang secara eksklusif nyaris maskulin atau animus, yang bebas dalam tindakan serta ucapan, karena meraka memperoleh kebebasan intelektual yang paling langka seperti Ninon de Lenclos (1620-1705) contohnya. Dan rasa ketergantungan seorang Hetaira kepada kecantikan yang dimilikinya akan menemui sebuah batasan atau penuaan, dan hal inilah kyang kadang membuat seorang Hetaira tersebut mengalami rasa depresi, seperti pada layar kaca televisi dalam perlombaan iklan kecantikan, yang seoalh enggan menerima takdir penuaan, apalagi kulit yang keriput. Hingga hal tersebut dipertahankan mati-matian karena memang kecantikan juga penampilan menjadi master pice dari perempuan penyandang Hetaira tersebut, meskipun hal itu akan membawanya pada pengaruh tiran paling buruk, yaitu pendapat publik. Dan karenanya, tubuh perempuan atau segala sesuatu yang dikenakan itu bukanlah milik perempuan itu sendiri, dan publik laksana produser yang memutuskan warna rambut, berat badan, bentuk tubuh, lengkung pipi, gigi mereka dan masih banyak lagi hal-hal yang berkaitan dengan hal semacam itu, yang pada tataran ontologisnya; Aku bukan miliku.

Lantas apa yang terjadi pada anak-anak remaja hari ini sepertinya hampir sama, atau dalam arti semi-hetaira. Sebab dengan life style pada saat ini sering kita jumpai dalam pergulatan sosial media, yang didalamnya ter-tumpah segala sesuatunya, anak perempuan tanggung sudah seperti orang tua dan juga sebaliknya, pertimbangan akan mashlahat serta madharat diabaikan begitu saja, karena popularitas serta rasa ego yang yang memenjarakan dirinya, sehingga ia pun sulit menemukan siapa dirinya, feminim (anima) atau maskulin (animus), atau transgender (baca; tomboy)?. Dan krisis jati diri atau yang semacam itu telah higgap apda generasi bangsa ini, karena besarnya pengaruh modernitas serta keleluasaan informasi dalam era global seperti sekarang ini, telah beralalu begitu saja tanpa adanya selektif dan juga kritis. Apa yang tidak bergeser dalam tatanan nilai kita selain dekadensi atau degradasi moral? Sikap ramah sebagai identitas Timur telah di ganti dengan sikap-sikap orang panas, arogan dan tamak, megalomanik dan masih banyak lagi kemrosotan-kemrosotan yang kita jumpai pada hari-hari ini, sehingga entah apa yang akan terjadi pada 20 tahun yang akan datang. Saat orang lain memakai identitas kita (seperti kebaya), kemudian kita marah karena merasa telah dicuri oleh orang lain tersebut, lalu pada saat, budaya kerudung bergeser nilainya menjadi nilai trendy bukan lagi sebagai penutup aurat maka perlombaan itu dimulai. Hijab Syar’i katanya, dan pola Hetaira sudah nampak di sekitar kita.

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.