Gambar : https://i2.wp.com |
Pada ahir-ahir ini lingkungan sekitar acapkali terabaikan
dalam sebuah dimensinya, dimensi konkrit yang telah diganti dengan dimensi
virtual, dan pelestarian lingkungan pun ahirnya hanya sebatas eksistensi buta
pada keluh-kesah atas kerusakan yang terjadi di sekitarnya, dan hal itu
‘anggap’ membantu dalam upaya pelestarian lingkungan hidup tersebut. Dengan
mengekspos bentuk fisik kerusaka umpamanya, yang saat ini menjadi suatu trendsetter
pada kanal-kanal jejaring sosial, hingga menjadi mafhum apabila hal ini menjadi
sesuatu yang absah – sekarang.
Terlalu seringnya bumi di eksploitasi dan hanya diambil
manfaatnya semata tanpa memikirkan implikasi yang akan timbul darinya, maka
bumi menjadi sesuatu yang rentan pada sisi pelestariannya, sehingga dalam
beberapa terminologi telah disebutkan, yaitu dengan menarik garis interval,
bahwa bumi tak ubahnya seorang perempuan, lebih tepatnya sosok ibu. Dan seperti
yang di tuliskan oleh Nur Afifah Febriani (2014) Ekologi Berwawasan Gender-nya
bahwa “Bumi memang lebih dinilai sebatas mahluk yang pasif dan reseptif yang
tak lain merupakan representasi dari karakter feminim, karakter yang selama ini
diidentikkan dengan perempuan.” Dan memang, bahwa perempuan dan bumi pada hari
ini adalah menjadi objek atas ekspolitasi yang membabi-buta dari segenap
kepentingannya, dengan berbagai dalih sebagai alibi dari eksploitasi tersebut
menjadikan bumi dan perempuan kini dalam masa masa yang kritis, dan apabila
menilik dari beberapa fenomena yang terjadi saat ini, baik trafiking maupun
KDRT menunjukkan bahwa apa yang terlihat sama, bahkan persis, dengan apa yang
terjadi dengan lingkungan sekitar, polusi, abrasi, kebakaran hutan dan lain
sebagainya yang disebabkan oleh manusia itu sendiri, dengan watak serakahnya.
Dengan mengkorelasikan kesakitan yang dirasakan oleh keduanya,
maka dengan kasat mata pun dapat langsung merasakan apa yang dirasakan
keduanya. Dan seringkali upaya pengerusakan tersebut di dasarkan atas pemahaman
geconcentreerde; bahwa politik sebagai sumber ekonomi, yang mengatur
segala siasat dalam merampok Sumber Daya Alam (SDA) tersebut sebagai asas
ekonomi konvensional butanya. Hingga di-qiyas
dengan bumi, yang memiliki sifat kasih sayang (memberikan kehidupan tanpa
meminta balasan), hingga tak ayal membolehkan manusia memeroleh manfaat
darinya. Sehingga pada kasus yang baru-baru ini terjadi seperti di Kendeng,
sosok ibu Patmi yang harus merelakan nyawanya demi mempertahankan ekosistem
yang ada pada bumi kelahirannya tersebut. Pergolakan atas kasus yang begitu njlimet
tersebut memaksa ibu Patmi menutup usianya sebagai representasi atas
ketidakadilan atas manusia dalam menjarah tempat bernaungnya, dan apabila
ditelisik dalam kitab suci dari beberapa agama dan kepercayaan; seperti dalam
Hindu yang terdapat satu hari untuk alam, yang pada hari itu umat Hindu tidak
melakukan apapun, yaitu pada pelaksanaan Catur Barata dalam menayambut hari
raya Nyepi (Tahun Baru Caka), sebab Nyepi adalah momen resiliensi ekologi. Yang
dalamnya juga, agama Hindu terdapat empat ajaran dalam memperlakukan alam
sebagaimana mestinya 1) Amati Karya (hari tanpa kerja). 2) Amati Geni (tidak
menyalakan api dan juga tidak menyalakan listrik). 3) Amati Lelungan (tidak
bepergian sepanjang hari). 4) Amati Lelanguan (memghentikan kegiatan hiburan). Keempatnya
dilakukan oleh umat Hindu dalam memperlakukan alam sebagaimana pula alam
memperlakukanya. Dalam islam, syaikh Tantatawi Jauhari seorang guru besar
tafsir di Universitas Kairo – menyatakan bahwa di dalam al-qur’an terdapat
lebih dari 750 ayat kauniyah, hanya sekitar 150 ayat fiqh, namun tulisan
mengenai alam raya dan isinya masih mendapat tempat yang sedikit apabila
dibandingkan dengan penulisan kitab fiqh tersebut. Dalam agama Kristen,
kitab kejadian menyebutkan “Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah”
(Kej 2:7) yang juga “memebentuk tanah segala binatang hutan dan segala burung
di udara” (Kej 2:19). Pada gilirannya alam telah banyak memeberikan kemanfaatan
bagi semua mahluk yang berada di dalamnya. Akantetapi dalam perjalanannya, alam
yang dipersepsikan dengan karakter serta sifat feminim seperti seorang
perempuan telah juga mendapat perlakuan yang sama.
Kerusakan lingkungan memiliki kaitan erat dengan sikap
dominatif laki-laki terhadap perempuan, yang hingga sampai hari ini masih
menjadi objek akan pengerusakan itu sendiri, dan dengan banyaknya kasus yang
menimpa perempuan itu maka dapat menjadi sebuah qarinah akan renatannya
lingkungan di sekitar. Dari dominasi laki-laki hingga budaya patriarkhi yamng
masih di pegang spenuhnya oleh masyarakat sekitar kita, maka bukan tidak
mungkin apabila kerusakan yang dialami oleh keduanya disebabkan oleh pihak
ketiga darinya; laki-laki. Karena dalam dunia kerja dan dominasi pekerjaan yang
berat dipikul oleh laki-laki. Hingga yang bersentuhan dengan lingkungan pun
laki-laki, meski tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan pun berperan dalam
lingkungan tersebut, akantetapi dominasi dan keberpihakannya lebih banyak pada
laki-laki tersebut. Sebab manusia telah memasukkan alam dalam kehidupan
budyanya, tatapi ia nyaris lupa bahwa ia sendiri sekaligus merupakan bagian
dari alam di mana ia hidup. Dan dengan banyaknya perempuan yang terlibat dalam
upaya pelestarian tersebut, maka telah memberikan sebuah titik terang akan
kepedulian yang telah sedemikian besar, dan oleh sebabnya banyak pula
kejadian-kejadian yang berkaitan dengaan alam dan perempuan yang tak bisa di
hindarkan begitu saja.
Alam pun memproduksi dirinya sendiri dari segala
kerusakan yang yang di alaminya, dan hal yang sama pun terjadi pada manusia
khususnya perempuan. Meskipun
pada kenyataannya berbanding terbalik antara laki-laki dan perempuan dalam
melakukan pelestarian terhadap lingkungan htersebut, sawah dan pasar menjadi
contoh nyata akan dominasi atas kaum hawa tersebut. Namun, entah mengapa bnyak
sekali darinya yang justrtu mendapat perlakuan yang kuarang layak dari kaum
laki-laki terebut. Padahal apabila melihat keterbutuhan industri, maka
perempuan lebih menempati posisi yang dominan – bukan laki-laki. Dan titik
korelasinya dengan adalah sebuah simbiosa dan sinergitas antara keduanya; alam
mempengaruhi manusia dan manusia mempengaruhi alam. Meski pada ahirnya alam
ditaklukan dengan serampangan dan kurang begitu mendapat perhatian dari manusia
itu. Dan sama seperti perempuan atau lebih tepatnya sosok ibu. Dan eksistensi
manusia sebagai subyek dari ekosistem tidak mengabsahkan dirinya sebagai
penguasa alam, melainkan ia sebagai pengatur atau pengelola lingkungan dan
pengabdi bagi alam dalam usaha konservasi alam tersebut.
Minggu,
04 Juni 2017
Ahonk bae
Posting Komentar