[ads-post]

Desa tak melulu mengenai estetis dan pola pendidikan pragmatisnya, sekolah-bekerja-mati. Desa pada level ekonomisnya, lebih berfokus pada bagaimana membaca peluang, menciptakan peluang hingga menarik laba sebagai tendensi pragmatisnya.
 
Bukan desa fiktif yang seperti dimaksudkan oleh Mentri Keuangan tempo lalu yang tanpa penghuni namun mengajukan bebrapa anggaran. Desa, bukan melulu mengenai alam yang indah dengan hamparan sawahnya sebagai tendensi atas dominasi estetiknya, kemudian mengenai kuatnya rasa persaudaraan atau gotong-royong dalam mengerjakan segala sesuatunya. Bahkan tentang rendahnya pendidikan pada masyarakat yang akhirnya menjadi semacam ide besar dalam menyimpulkan definisi sebuah desa.

Desa yang telah didominasi dan dimobilisasi oleh beberapa orang yang berkiprah dalam usahanya membangun sebuah tatanan masyarakat sejahtera serta menjauhkannya dari embrio ego-sentris dan merubahnya menjadi semcam etno-sentris. Tentu yang berdaulat dan berkelanjutan.
Menjadi objek serta menjadi acuan dalam pembangunan baik SDM maupun SDA adalah juga menjadi pekerjaan sebuah desa.

Itulah yang telah diproyeksikan oleh pemerintah melalui berbagai programnya: mengejar standarisasi ekonomi dan memperbaiki taraf hidup masyarakatnya yang selama ini dirasa jauh dari kata sejahtera. Desa kemudian menjelma menjadi agenda prioritas pemerintah. Melalui suntikan dana, melalui kebijakan strategisnya dan melalui kanal-kanal lainnya yang bermuara pada kemajuan.Dengan tanpa serta merta mendegradasikan kebudayaan yang telah eksis, juga tak luput dari optik pemerintah daerah yang juga menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. Jelas hal ini patut kita amini dan mendukung sepenuhnya.

Tonggak utama desa hari ini adalah kepala desa (baca; kades/kuwu) yang pada saat ini telah juga menjadi front man atas maju atau mundurnya sebuah desa, baik dari sisi administratif dan juga pada sisi program-aplikatifnya.

Desa, sekali lagi telah menjelma menjadi arena objek yang sangat "menyenangkan" dalam penyerapan anggaran sampai program-program fiktifnya, dan jarang ada yang berani memaparkan laporan keuangan pada masyarakat pada setiap bulannya. Jika pun ada itu sangat jarang sekali.
Selain minimnya transparansi, desa juga mengalami miss-persepsi dalam setiap mufakat-mufakatnya. Hanya mengedepankan asas pantas dan tidak pantas yang pada akhirnya menimbulkan kabar burung di setiap sudut warung dan bentang sawahnya.

Seketika desa menjelma menjadi arena politik, sudut pro-kontra, juga tak luput melahirkan embrio oposisi serta pola-pola benci, yang di tujukkan pada pemerintah desa.

Pemerintah desa yang pada waktu yang bersamaan menjadi tendensi atas kemajuan sebuah desa, dengan menggandeng seluruh masyarakatnya hanya menjadi ide fiktif pada faktanya, dengan sistem pemerintahan yang belum mencapai level demokratis, malah terkesan oligarkis.
Hal ini dibuktikan dengan jajaran perangkat pemerintahannya diisi oleh orang yang bukan ahli pada bidangnya dan pengangkatannya dipilih melalui wadah timses dari pemenangan kadesnya.

Tentu hal ini bukanlah hal yang musykil mengingat banyaknya pekerjaan desa yang di nilai asal-asalan, belum lagi di tambah dengan kades yang terjerat kasus korupsi atas penyelewengan dana kucuran pemerintah pusat.

Jika mau jujur, inilah desa yang tak jauh berbeda dengan sebuah negara dengan bahasa lain bahwa desa adalah cerminan sebuah negara. Negara dengan segudang permasalahannya. Negara dengan segudang kerumitannya.

Lalu desa dengan skup yang lebih kecil dengan letak geografis, pola entografi hingga standar ekonominya bisa dikatakan 'pas-pasan', tentu hal itu bersumber dari SDM serta pengelolaan SDA yang secara pas-pasan pula.
Kebijakan ekonomi yang terus-menerus di gembleng dengan komoditas utama dari sektor agrari telah juga menyumbang pendapatan desa yang 'biasa' tanpa strategi politik-ekonominya.
Tidak adanya kebijakan ekonomi atau aturan ekonomi seperti halnya masyarakat adat, tidak ada upaya perbaikan atas mekanisme pertanian yang selama ini menjadi brand ambasador sebuah desa.
Apa yang disisakan dari desa fiktif semacam ini? Hanya oligarki dan terdegradasinya masyarakat yang berkemajuan. Kemudian desa dalam fiksinya menjadi semacam 'eksepsionalis', merasa diri luar biasa, dalam momen-momen tertentu adalah menjadi topeng hipokrit dari oligaris tersebut.

Selain penguatan ekonomi yang gencar dicanangkan pemerintah pusat, desa juga bukan sekedar alam imajinatif yang tidak tersentuh oleh budaya konsumtif atau konsumerisme. Sebab dibukanya pintu internet menjadikan desa kini tidak jauh berbeda dengan kota. Hanya populasi dan produktivitasnya yang berbeda.

Hingga pada level ini membicarakan penguatan ekonomi desa menjadi hal yang tabu, mengingat mudahnya akses terhadap desa, maka desa hanya menjadi alam hayati dengan lumbung padinya.
Meminjam ungkapan dari N. Chomsky bahwa selama masyarakat umum bersikap pasif dan teralihkan oleh konsumerisme atau kebencian dalam sekam, penguasa akan berbuat sesuka hati dan mereka yang dapat bertahan akan dibiarkan untuk merenungkan akibatnya.    
Dengan kebudayaannya, desa merupakan satu tataran pada alam kosmik yang dengannya kebudayaan secara natural maupun artifisial ada, akan tetapi bukan dengan lagi pada kebudayaan yang adiluhung yang biasa diceritakan melalui buku-buku dongeng atau bahkan folklornya.

Pada realitasnya kebudayaan desa adalah kebudayaan yang juga sama sekali tidak jauh berbeda dengan apa yang disebut kota, mulai individualis, watak kapitalisme yang juga merambah dan seketika desa hanya akan menjadi sebuah zona geografis yang terus diasumsikan menjadi alam khayali dengan keindahannya.
Kebudayaan desa menjadi kebudayaan yang maju sebab life style masyarakatnya hampir seperti masyarakat kota, pola hidupnya juga tak jauh berbeda. Bahkan atmosfir politik desa juga yang sama, terpapar sel-urban.

Dengan dibukanya kran investasi maka tidak menutup kemungikinan desa juga terkena imbas akan arus urban bernama modernisasi, tentu hal ini disokong oleh program-program percepatan pembangunan yang, tidak ramah lingkungan, serta menggerus perekonomian desa itu sendiri. Bila melihat dalam skala nasional, maka beberapa desa adat masih memegang teguh pola ekonomi klasiknya -- meskipun mengalami pengerdilan di sana-sini.

Desa argowisata misalnya, menjadi trendsetter pada saat ini, sehingga tiap desa berlomba-lomba untuk mempercantik desanya dengan sedemikian rupa, dengan maksud meningkatkan tarap hidup dan kesejateraan tentunya. Selain komoditas utama tentu peluang-peluang ekonomi harus ada demi meredam arus utama urbanisasi maupun TKI --atau pemerataan ekomoni dalam bahasa lainnya. Desa tak melulu mengenai estetis dan pola pendidikan pragmatisnya, sekolah-bekerja-mati. Desa pada level ekonomisnya, lebih berfokus pada bagaimana membaca peluang, menciptakan peluang hingga menarik laba sebagai tendensi pragmatisnya.

Dengan menciptakan regulasi atau bahkan monopoli ekonomi dengan cara memangkas tengkulak dan menciptakan lumbung pada seperti pada masa lalu tentu bisa menjadi metode yang relevan. Bukan bergantung pada kucuran dana pemerintah -- desa mandiri. Maka istilah desa fiktif tersebut bukan hanya yang tidak berpenghuni, melainkan dapat memfungsikan segala SDM serta SDA di dalamnya. Bila tidak mampu maka label itu (fiktif) memang eksis pada tiap desa.

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.