[ads-post]


Membaca memoar dari buah pemikiran Arief Budiman (semoga tenang dalam keharibaan-Nya) begitu menyegarkan. Terutama dalam iklim panas, dalam makna lain. Tentunya bagi kita yang masih terjerembab dalam kubangan retorika palsu. Sejujurnya penulis baru pertama kali membaca karya beliau, pun sepenutup usia beliau. Terlepas bagaimana, apa dan siapa beliau, penulis faqir ini tidak mempersoalkan sama sekali. Namun dengan syarah dari seorang pengagum beliau maka, setidaknya terdapat indikasi siapa beiau. Orang hebat.

Ide yang penulis artikan sebagai jebakan, dan jebakan demi jebakan tentu telah kita nikmati bersama, jebakan pahala dalam hal ini yang beliau bahasakan sebgai ‘berhala kapitalisme’, adalah hal yang memang telah mengubur kita dalam dekadensi moral-sosial. Lalu pemikiran segar yang telah mengantarkan kreatornya menuju singgahsana pemilik semesta pada sebuah keabadiaan. Sumbangan terbesar dalam hidupnya akan terkenang selamanya. Tiada sepercik pun ide untuk mengurai hal demikian, namun sebuah pesan dalam grup yang  memercikkan kesegaran telah juga membuat pikiran ini berdecak kagum atas buah pikirnya, dangan mengilustrasikn pahala seumpama kepingan emas sehingga setiap orang berlomba mendapatkannya. Mengakumulasi pahala dan menukarnya dengan surga. Begitu menyenangkannya sistem ‘barter’ tersebut.

Ada banyak hal sebenarnya yang dapat melampaui hal itu, muara ibadah tentu tidak hanya berlabuh pada soal surga dan neraka. Nilai implisit yang tertanam dalam nurani manusia seringkali terabaikan dengan eksisnya ‘pundi-pundi’ tersebut, salah satu kutipan menariknya ialah pahala sholat berjaamaah yang dengan terang-teranngan menyebutkan angka 27 telah di terima secara taken granted oleh setiap umat islam, secara pragmatis. Ini tentu terdapat keselarasan dengan tantangan zaman, terlebih era-informatika seperti saat ini. Aplikasi Raqib-Atid, dua nama malaikat yang bertugas mencatat perbuatan baik dan buruk manusia – betapa asiknya. Berislam kita unik memang, semenjak mengartikan pakaian yang indah untuk beribadah mahdhah pun di persepsikan sebagai pakaian yang mahal, meskipun terdapat standar menutup bagian tubuh sebagai esensinya, kemudian setelahnya hanya bergulat pada keabsahan atau dalam kata lain; etika dan estetika. Lantas bagaimana dengan mereka yang tidak mampu dalam hal itu?. 

Tiada yang lebih menyedihkan dari apa yang disebut sebagai akumulasi kapital, pahala dalam hal ini. Kita di perintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan mengumpulkan pahala, terlebih pahala terebut merupakan suatu hal yang abstrak. Maka sudah sepatutnya mindset kita tetang pahala di ganti dengan kebaikan. Menghindar dari jebakan-jebakan pahala. Akumulasi kebaikan lebih konkrit, ia berimbas pada diri kita sendiri, cepat atau lambat ia akan berimbas pada pelakunya. Titik klimaks sebuah ibadah adalah rasa, dan siapa yang dapat mendefinisikan hal tersebut, ia maya dan tentu relatif, dan hanya bisa terdefinisikan oleh setiap yang merasakannya.

Pada intinya penulis merasa kehilangan sosok Arief Budiman, sosok yang mengoyak pikiran serta menciptakan kegelisahan bagi pembaca karyanya. Beliau memang bukan orang pertama dalam meluruskan pikiran ini, namun setelah lama tidak bergulat dengan wacana kritis-agama, beliau dengan sengaja hadir dalam pikiran ini. Menyegarkan kembali pikiran yang telah lama tertumpuk oleh hal lainnya. sekali lagi penulis faqir ini hanya bisa mengucapkan terimakasih dan semoga beliau dengan semua kebiakan yang telah beliau lakukan di terima di sisi-Nya. Amin.   

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.