[ads-post]



Selepsas pemilihan capim (calon pemimpin) Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) yang telah menyeruak ke permukaan menjadikan jagat nyata-maya menjadi kisuruh, selepas Papua bergejolak dengan di latarbelakangi ulah ‘oknum’ dengan berbagai tudingan serta tuduhannya. Kemudian RUU (Penghapusan Kekerasan Seksual) PKS yang juga mendapat reaksi dari sebagaian kalangan membuat jagat semakin keruh. 

Semua memiliki kepentingan semua memiliki impian, sesuai kapasitas dan kapabilitas tentunya. Namun kisruh adalah keniscayaan. Namun siapa menafikan isu yang memiliki daya ledak yang luar biasa, pun kata Nietszche bahwa ‘aku adalah dinamit’ menjadi relevan seketika. Sedikit saja media memelintir judul berita, puluhan barisan telah di siapkan. And welcome to Indonesian dengan segala kekagetan luarbiasanya, dengan segudang permasalahan serta berjubel ‘hakim’ dengan kebnenaran versi ‘perutnya’. Mau tidak mau ini adalah kita, yang selalu kaget hingga naiknya pitam dalam kubang hitam. Siapa yang tak sepakat dengan kesepakatan sepihak maka klaim pembangkang atau apapun akan serta-merta lekat di telinga. 

Bahwa kita telah menyaksikan pro-kontra ini setiap harinya, selalu ada lelucon di negeri kita. Lini masa yang kini menjadi tumpahnya kebencian juga telah di fasilitasi oleh beberapa kepentingan, politik mislanya, menjadikan sesama tetangga menjadi saling membenci dan persaudaraan menjadi barang langka pada saat ini. Siapa yang mampu menafikan bahwa kita adalah Bhineka dengan segala puspanya, meski fsilitas internet menjadi buah simalakama pada hari ini. Dalam satu sisinya terbantu namun pada sisi yang lainnya menjadi buntu. 

Semula KPK hanya mempersoalkan calon pemimpin, namun setelah UU-KPK di revisi pada sesaat setelah kepergian BJ Habibie, sontak kakcauan tak terelakkan, siapa yang di untungkan dengan ini? Tentu koruptor dengan segala kelicikannya. Revisis tersebut membuat para napi koruptor mendapat keleleuasaan bergerak, bukan karena adanya grasi, melainkan dengan pemotongan masa tahanan. Dan kita lihat sebelumnya bahwa sampel kecil Gayus Tambunan hingga Setya Novanto dengan begitu bebasnya menapaki ruang-ruang bebas, layaknya penduduk sipil. Lalu dengan di ketoknya RUU menjadi UU maka harapan akan bersihnya korupsi di negeri ini menjadi utopia yang tak bertepi. Memang tak habis pikir, bahwa alam sadar kita adalah alam sadar yang selalu menginginkan segala sesuatunya berjalan sebagaimana idelanya. Namun koruptor selalu memiliki kehendak lain, dan ini yang kemudian semua orang berbaris ‘meminta keadilan’ di berbagai tempat. Baik persoalan dana yang meliputi SDM dan SDA menjadi tersendat dan menjadi bobrok. Contoh kecil ialah pembangunan infrastruktur yang cepat sekali rusak adalah karena tidak maksimalnya pemberian komposisi terhadap konstruksi tersebut sebab sebagian dananya telah masuk dalam ‘kantong doraemon’ dan berubah menjadi kendaran atau properti lainnya.

Kemudian RUU tersebut hendak direvisi yang, out put-nya adalah menguntungkan para koruptor? Lalu hendak menjadi apa negara ini? Toh pada skema kecil negera – desa, telah menjadi bahan kerumunan serta rebutan mereka yang memiliki kepentingan, sialnya, mengatasnamakan rakyat. Sudah terciderai rasanya. Kini sekelas negara yang memang tidak tanggung-tanggung dalam merampok. Hendak jadi apa konstruksi negara ini, jika kontraktornya bermental korup. Kita sebagai rakyat kecil tentu tidak bisa memaklumi apabila perkara ini terjadi, mengapa? Penindasan akan terus langgeng tentunya. Siapa lagi jika rakyat tidak mau bergerak demi pembatalan RUU tersebut. Apa hendak di jual semuanya pada negara adidaya sebab hutang yang tak mampu terbayarkan? 

Semuanya menguap ke udara dalam tikaman terik mentari dan dalam hempasan debu, sebagai bentuk kepedulian kita terhadap negara, yang hendak mencemooh para demonstran silahkan. Tukar posisi bila perlu. Sebab alam sudah ternodai, udara telah tercemari dan air telah teracuni. Jika ini terjadi maka riwayat keadilan setidaknya kita bisa katakan telah tamat. Meski kasus abadi Novel Baswedan belumlah tuntas namun kemarin kami masih menggantungkan kepercayaan kepada lembaga tersebut sebagai kontrol atas kerakusan para wakil-wakil kita. Tiada kedamaian tanpa keadilan, begitu kiranya sang bijakbestari mengatakan pada saat itu. 

pictby: google

Rabu, 18 Sept 2019
Ahonk bae           

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.