Kendati demikian,
belum lama ini sebuah karya ilmiah selevel disertasi milik Abdul Aziz yang
membahas milkul yamin, atau lebih
spesifik dengan judul disertasi “Konsep Milk Al-Yamin Muhammad
Syahrur Sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital” mendapat sambutan yang
kurang menyenangkan dari publik, khususnya di dunia maya (baca; warganet). Meski
sebelumnya karya tersebut telah di uju oleh pihak kampus UIN Sunan Kalijaga,
namun dengan judul yang menohok tersebut, membuat banyak orang geram. Penghakiman
atas karya tersebut apakah telah melalui pembacaan teks yang utuh atau hanya
sebatas judul, itu memang hak ‘si hakim’ tersebut. Terlepas dari berbagai hal,
bahwa sebuah karya tidak lahir begitu seja, banyak pertimbangan, pengorbanan
dan juga telaah yang mendalam.
Sadar bahwa standar sebuah karya itu bagus atau tidak adalah juga publik
yang menentukan, akan tetapi publik hari ini terlalu parno akan hal-hal
sebenarnya usang, sebab hal ini telah juga telah di lakukan oleh orang-orang
terdahulu, Irsyad Mandji sampai Emma Goldman telah juga menggagas konsep
tersebut dalam salah satu karyanya karyanya. Dan terlepas dari penghakiman
tersebut, karya juga tidak akan terlepas dari seleksi alam, bisa di lupakan
atau hanya menjadi angin lalu saja, tergantung kary itu sendiri. Sebagai contoh
Tetralogi Buruh milik Pramoedya sampai hari ini dibaca oleh sebagian khalayak
ramai, meski sebagian menganggap karya tersebut menentang pemerintah ‘waktu itu’,
bahkan sampai di angkat ke layar lebar sebagai representasi akan karya yang
memang di terima oleh masyarakat, terutama kaula mudanya. Dan disertasi
tersebut bnegitu disayangkan haruslah di bredel dengan sedemikian rupa, hanya
karena ulah warganet yang kurang bijak. ‘Karya harulah di lawan dengan karya’
begitu bijakbestari menyatakan, terlebih ini adalah karya ilmiah yang
membutuhkan proses panjang dalam pengerjaannya.
Hal terpenting yang bisa di jadikan pelajaran bagi generasi selanjutnya
ialah bahwa, di Indonesia ini sangat sulit untuk menjadi yang berbeda, terlebih
jika hal tersebut menyanyangkut urusan agama yang, pada hari ini kita telah di
buat mabuk olehnya, sehingga kita hanya harus mengikuti arus dominan, atau
dengan kata lain ‘kamu harus sama’. Betapa membosankannya!. Terlampau banyak
skat yang menjadikan belenggu bagi mereka yang ingin tampil berbeda dari
lainnya. Dan harus kandas di tangan ‘para hakim’ lantaran berbeda. Kutur kita
belum siap dengan hal yang menyangkut sebuah karya, terlebih buah atas pemikiran.
Penghakiman atas sesuatu memang bisa dikatakan best seller di sekitar kita, entah sebab banyaknya pengangguran
atau memang benar kita telah mampu membuat sesuatu yang lebih dari apa yang
kita hakimi tersebut. Tulisan dilawan dengan lisan merupakan tindakan yang
tidak fair dalam dunia akademis,
namun dalam pola kebudayaan atau budaya kita saat ini, hal tersebut adalah
sebuah keniscayaan. Dan sosial media merupakan alat bantu utama dalam sebagai
media peradilan bagi siapapun. Betapa haibatnya kita.
pict by; google
Sabtu, 07 Sept 2019
Ahonk bae
Posting Komentar