Belakangan, situasi gersang semakin menjadi-jadi di Indramayu, lengkap
dengan kisruh soal pengalihan isunya. Jurnalis, terutama sekali senang dengan
hal ini, produksi berita semakin gampang ditemukan. Dan yang paling mengganjal di sini adalah, menyoal
Industrialisasi di Indramayu sendiri. Setalah berseliweran berita soal
pemekaran atas wilayah Indramayu Barat (selanjutnya; InBar), yang kemudian
menjadi ‘bola panas’ dari pejabat publik serta semuanya yang berkepentingan
atasnya, tak lupa para brokernya.
Selain dengan di manjakannya investror dengan akses distribusi, yang memang
memadai, seperti tol Cipali, bandara Kertajati hingga pelabuhan Patimban juga
menjadi nilai lebih dalam roda bisnis berskala industri tersebut – guna memanggkas
biaya produksi. Juga dengan upah yang relatif rendah untuk daerah pesisir. Maka
dengan begitu leluasanya bergandengnya pengusaha dan penguasa dalam ‘mengekspolitasi’
alam serta manusia di dalamnya.
Di sini penulis sengaja memenggal berita tersebut yang terdiri dari enam
paragraf, sebagai filenote dikemudian hari;
“Menteri Perindustrian Republik
Indonesia, Airlangga Hartarto mengapresiasi kebijakan Pemerintah Kabupaten
Indramayu yang telah menyiapkan Kawasan Peruntukan Industri (KPI) di Kabupaten
Indramayu sebagai rencana untuk membuka pintu investasi besar-besaran.
Airlangga menambahkan,
berdasarkan Rencana Induk Pembangunan Industry Nasional (RIPIN) tahun 2015 –
2035 dan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 Kabupaten Indramayu Masuk dalam Wilayah Pusat
Pertumbuhan Industri (WPPI) di Jawa Barat.
Masuknya Indramyu ke dalam WPPI
bersama dengan Cirebon dan Majalengka saat ini sudah ditanggapi serius oleh
Pemkab Indramayu dengan merubah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk kawasan
industri.
Supendi menambahkan, pada tahun
2016 Kementerian Perindustrian melalui Direktorat Jenderal Pengembangan
Perwilayahan Industri, memfasilitasi penyusunan studi kelayakan pembangunan
industri di Kabupaten Indramayu yang kemudian dilanjutkan pada tahun 2017
dengan penyusunan Master Plan kawasan industri di Kabupaten Indramayu.
Dalam revisi RTRW Kabupaten
Indramayu tahun 2011-2031 sudah mengakomodir aspek kebijakan pemerintah pusat
dalam pengembangan WPPI, selanjutnya
dalam KPI seluas kurang lebih 20.000 ha
telah tersebar di 10 kecamatan.
“Tahun 2018 Pemerintah Kabupaten
Indramayu telah menysun Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan
Industri Kabupaten (RPIK) dan sudah ada Rencana Pembangunan Kawasan Industri
yang terebar di 10 kecamatan,” tegas Supendi.
10 kecamatan tersebut yakni
Kecamatan Sukra 2.814 hekatar, Patrol 1.385 hektar, Kandanghaur 2.025
hektar, Losarang 4.523 hektar, Balongan 1.438 hektar,
Juntinyuat 643,1 hektar, Krangkeng 3.507 hektar, Tukdana 664,1
hektar, Terisi 1.379 hektar, dan Gantar 1.574 hektar.”
Narasi yang memang apik, begitu pula
dengan beberap issue yang telah di
setting dengan sedemikian rupa. Menjadikan narasi atas industrialisasi di
Indramayu memang sangat menarik – tentu saja. Berita yang langsung di sounding
oleh berbagai fanspage milik Pemkab maupun milik perorangan telah banyak
menuai pro-kontra. Paslanya, sedari mulai SDM/ Sumber Daya Manusia di Indramayu
sendiri belumlah memungkinkan jika Indrmayu dijadikan zona Industrialiasai.
Kemudian dengan mengalihfungsikan 20.000 hektar lahan sudah barang tentu
menjadikan petani-penggarap, terutama sekali buruh-tani akan kehilangan mata
pencahariannya. Sebab 20.000 hektar bukanlah jumlah yang sedikit, meskipun di
bagi dalam 10 kecamatan, seperti yang telah disebutkan di atas.
Ada apa gerangan dengan alam ini? Bukankah Indramayu pernah mendapat
penghargaan atas perlindungan iklim pada Kamis 25 Oktober 2018. Atas Program Kampung Iklim (ProKlim) 2018 dari Kementrian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Jika dengan adanya industrialisasi tersebut iya di galakan, maka jelas,
Indramayu tidak akan berbeda jauh dengan Jakarta saat ini.
Masyarakat Indramayu yang telah lama
menggantungkan hidupnya pada sektor
agrari – sebagian besar, dan
selebihnya pada sektor bahari dan berbagai profesi lainnya. Nanti, akan mengalami
sedikit shock cultur pada saat
industrialisasi itu mulai di jalankan, dengan pola hidup laiknya sebuah mesin,
yang kesemuanya tertib, maka tidak menutup kemungkinan akan juga menbemui titik
jenuh, maka secara otomatis hiburan menjadi alternatif dari kejenuhan yang di
hadapi oleh masyarakat pekerja, laiknya negara majui, Jepang misalnya. Dan betapa
absurdnya jika kembali mengingat jargon ‘Lumbung Padi’.
Bukan tanpa alasan jargon tersebut disematkan pada sebuah daerah, sebagai
potensi unggulan misalnya atau dengan alasan geografis, seperti halnya zamrud
khatulistiwa pada hutan di Kalimantan. Pun Indramayu dengan jargonnya tentu
telah menuai prestasi dalam sektor agrarinya, padi dalam hal ini. Meskipun suatu
tautologi tanpa substansi. Namun dengan rancangan berbalut wacana tersebut maka
jargon tersebut akan di lempar pada daerah lainnya. Memang, meskipun dengan
jargon seperti itu masih banyakkeganggalan yang di temukan di lapangan,
terutama saat musim kemarau, terutama InBar. Namun dengan sebagai pemilik
jargon tersebut seyogyanya, bukan hanya masyarakat yang terus di dorong untuk
melakukan inovasi serta memperbaiki kualitas produksi padinya, namun juga
regulasi yang memadai serta supermasi hukum yang ketat, jika memang terdapat
keseriusan dalam mengemban jargon tersebut.
Lagi-lagi terkadang lemahnya kontrol atas regulasi dan, seperti biasa,
kerja ‘borongan dan berlabuh pada kertas laporan’ adalah memang telah menjadi
tradisi yang merangkak menuju pada budaya pembiaran. Tanpa keberlanjutan, tanpa
pertanngungkawaban yang jelas hingga pada transparansi informasi adalah kinerja
masyarakat dekaden, berbanding terbalik dengan angan-angan Revolusi Industri
4.0 yang pada hari ini di dengungkan keras-keras pada mimbar pidato wakil rakyat
kita.
Budaya sekali lagi, dalam terminologi setelahnya di artikan sebagai sesuatu
yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah, lalu kemudian pembiaran
itu hinggap dalam sebuah sistem yang tidak mengedepankan supermasi atau dalam
bahasa lain disebut sebagai ketegasan atas kekeliruan-kekeliruan yang di
lakukan. Malah semakin berkembang – di wariskan bahkan.
Menghadapi Industrialisasi yang sebentar lagi akan sampai pada titik nadir
maka vis a vis antara budaya dan sistem yang berlaku. Bagaimana soal
pembebasan tanah, bagaimana pemangku kekuasaan membujuk pemilik lahan untuk
melepaskan tanahnya hingga apa feed back dari industrialisasi tersebut
kepada masyarakat terdampak? Akan menjadi persoalan rumit, namun taktis tidak
demikian. ‘Banyak jalan menuju Roma’ adalah pepatah usang yang masih
relevan. Tanpa justice eternelle dalam sebuah perkara, perdata maupun
pidana merupakan hgal lumrah. Kemudian betapa bahagianya mereka yang menjadi
sub-pekerja, broker dan juga kontraktor dalam proyek tersebut. Dengan persepsi
pragmatis ‘asal nyohor’ maka pekerjaan tersebut sudah tentu menjadi pekerjaan yang
di dambakan. Asal mendapatkan keuntungan, uang dalam hal ini, maka benar kata
K. Marx ‘oleh karenanya teka-teki mengani fetish (pemujan) uang adalah mengenai teka-teki mengenai fetish
komoditi, yang kini dapat dilihat dan menyilaukan mata’.
Hingga kemudian pertimbangan SDM serta isu yang di mainkan oleh media
begitu kontras, lebih banyak menyoal pemekaran atas InBar daripada
industrialisasi tersebut, meskipun sebagian wilah InBar juga terkena zonasi industri
tersebut. Serta dalam perspektektif negatifny, di temukan indikasi atas
pembiaran tersebut, tradisi calo dan budaya pragmatis masih sedemikian lekat di
masyarakat kita. Maka deal-dealan atas pembagian jatah proyek 20.000
hektar biasa dipastikan berjalan mulus tanpa hambatan. Tanpa peduli jargon
tanpa peduli alat produksi primer bagi masyarakatnya. Dan inilah kita.
Ahonk Bae
Minggu, 28 Juli 2019
Posting Komentar