Sebuah buku hasil penelitian seorang berkebangsaan Australia, Ian
Gouglas Wilson dan di terjemahkan oleh Mirza Jaka Suryana memberikan
stimulus luar biasa, baru membaca judulnya (yang asli), “The Politics of Protection Rackets in Post-New Order Indonesia: Coercive Capital, Authority and Street Politics”
pun pikiran ini telah menerka-nerka, apa yang sedang dan akan di
deskripsikan oleh buku yang hanya berisi tujuh bab serta 315 lembar
kemudian di produksi oleh penerbit Marjin Kiri tersebut. Dengan di
suguhi oleh alur historis serta metode penulisan yang sistemik, sangat
tidak mungkin buku ini hanya di buat dengan asal-asalan dan tanpa riset
yang mendalam.
Pada bab pertama, buku ini menceritakan relasi subpengamanan negara dan lintas-negara yang sudah eksis sejak lama, melalui geng hingga ‘pengusaha kekerasan’, hingga alur realitas sebuah negara yang memelihara hal demikian. Bab kedua, kita dibawa untuk memahami dinamika hubungan antara preman, negara dan masyarakat di Jakarta pasca ORBA; mengubah (rekonfigurasi) preman ke dalam bentuk social power dan politik baru. Dari proses urbanisasi, eksklusi, serta pencarian rasa aman dan keterwakilan; juga pebuatan model-model legitimasi baru atas ‘setoran dan perlindungan’. Bab ketiga, bahwa sistem zona atau kewilayan bagi pengecer kekerasan yang telah terbentuk setelah era-ORBA. Hingga perkembangan historis hubungn antara geng, militer,dan rezim otoriter Suharto, atau dengan bahasa lain – bagaimana kekerasan yang di subkontrakkan merupakan unsur yang tak terpisahkan dari pelanggengan kekuasaaan negara. Bab keempat, menguraikan bagaimana proses transisi dari masa ORBA ke pasca ORBA tersebut. Terutama sekali, perebutan wilayah kekuasaan. Tanah Abang adalah contoh konkrit atas bab keempat ini – ‘setoran perlindungan’. Bab kelima, proses pergeseran menuju kesukuan dan kedaerahan seperti halnya Betawi dengan (Forum Betawi Rempug) FBR-nya, Ambon Makasar dan lain sebagainya. Hal ini berfungsi atas legitimasi dari kontrol pada sektor informal seperti pasar dan wilayah yang menjadi kekuasaannya. Bab keenam, menelisik dinamika internal, praktik, dan struktur FBR di lapangan, serta menimbang pengalaman motivasi para anggotanya untuk bergabung. Bab ketujuh, membahas soal permasalahan mengenai bagaimana kekuasaan kewenangan teritorial dan koersif, sebagai suatu sebagai rangkaian aktual, juga sebagai sebuah strategi organisasional serta transaksional yang diterjemahkan sebgai modal politik. Dalam konstelasi pemilu.
Pada salah satu scane film Preman Pensiun salah tokoh mengatakan “ini bisnis yang bagus namun bukan bisnis yang baik”. Statement ini sekiranya merepresentasikan apa yang di tuliskan oleh buku terjemahan tersebut. Kejahatan dalam taraf ini adalah kejahatan yang memang terorganisir secara rapi dan secara serius di jalankan hingga dijadikan sebagai mata pencaharian, sebagai jasa perlindungan umpanya. Bukan lagi daam bentuk komunal atau gerombolan seperti biasanya, namun sudah menjadi organisasi masyarakat – memiliki legitimasi hukum. Lebih menjanjikan bahwa seperti halnya ormas telah merambah dunia bisnis dan sudh tentu dengan sistem waralaba, dengan deal-deal yang telah di sepakati sedemikian rupa, maka ormas berevolusi menjadi ladang bisnis. Siapa yang bisa menafikan bahwa seprti halnya pasar, seperti pada umumnya, telah juga sambangi oleh ormas dengan dalih pengamanan. Dan jika menelisik hal itu pada terminologi sejarah, maka jelas, vrijman ialah bahasa yang di impor Belanda pada saat itu, kemudian di reduksi sedemikan rupa menjadi kata ‘preman, yang berarti orang merdeka. Kemudian, dari sisi istilah mafhum yang sering kita temui ialah kata semacam Jago, Lenggaong, Jaga Baya, Blater, Warok, Pawera, Jawara serta sinonim semacamnya yang sudah barang tentu setiap daerah memiliki penamaan yang berbeda-beda. Seperti halnya ormas, vigilante, milisi atau geng sekalipun telah memiliki kendali dalam setiap sirkuit sejarah. Dan yang subur dalam merawat hal ini ialah era-Orba.
Negara dalam konteks ini sudah menjadi hal yang lumrah saat menggunakan tindakan represif sebagai alat dalam menstabilkan kondisi sebauh negara – saat kekacauan. Bukan hanya emosi yang berhasil tersulut dalam setiap individunya, akantetapi lebih bertendensi terhadap kata ‘pengamanan’ itu sendiri, maka siapapun bisa menggunakan tangan besi dalam mengamankan sesuatu yang dimiliki oleh seseorang. Sehingga Ian Douglas mengatakan; perbedaan antara ‘tentara’ dan ‘preman’ di Indonesia memang tidak selalu jelas. Idelanya, bila melihat ormas dengan berbagai slogannya, maka yang terbayang dalam benak kita ialah, sikap jiwa sosial yang santun, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Akan tetapi kontras dalam fakta lapangan adalah menjadi ‘pasar’, ormas menjelma menjadi alat pengaman, siapapun yang membutuhkan. Dan preman dalam hal ini mengerucut dalam suatu attitude yang memang represif. Jasa kekerasan dalam skema perkotaan begitu menggiurkan, sebab tingginya angka kriminalitas, apalagi jika bukan untung perlindungan, bagi sebuah aset atau sebuah wilayah pasar mislanya. Seperti halnya FBR yang juga telah menjadikan etnis sebagai alat pemersatu dalam wadahnya bersaing dengan ormas-ormas lain dalam perebutan teritori hingga perebutan ‘job’ dari elite politik yang hendak menggunakan jasanya.
Satu pendapat dari Rozaki menyatakan bahwa kekerasan non-negara di Indonesia terus terjadi bukan karena negara dengan sengaja melakukan pembiaran, tetapi karena kenyataan bahwa elite-elite politik dan ekonomi mengandalkan kekerasan itu untuk mengonsolidasi kekuasaan dan kepentingan mereka sendiri. Alhasil, preman dan mafia selalu di jadikan alat oleh elite politik itu sendiri, baik melalui sayap partai maupun gerakan yang di sokong oleh partai itu sendiri, dan bukan hal baru apabila kekerasan serta koersi menjadi langkah jitu dalam setiap agitasinya – terlebih saat musim pemilu. Konon, Max Weber juga berpendapat mengenai hal ini, bahwa; monopoli teritorial atas penggunan kekuatan fisik secara absah, merupakan ciri penentu negara modern. Terakhir, bahwa pemilik jasa kekerasan dalam realitasnya telah juga berdekap mesra dengan polisi, korporasi bahkan instansi pemerintahan. Dan pada ahirnya gelombang kekerasan adalah monopoli atas relasi penguasa, melalui dominasi serta legitimasi yang absah.
pic by; Google
Pada bab pertama, buku ini menceritakan relasi subpengamanan negara dan lintas-negara yang sudah eksis sejak lama, melalui geng hingga ‘pengusaha kekerasan’, hingga alur realitas sebuah negara yang memelihara hal demikian. Bab kedua, kita dibawa untuk memahami dinamika hubungan antara preman, negara dan masyarakat di Jakarta pasca ORBA; mengubah (rekonfigurasi) preman ke dalam bentuk social power dan politik baru. Dari proses urbanisasi, eksklusi, serta pencarian rasa aman dan keterwakilan; juga pebuatan model-model legitimasi baru atas ‘setoran dan perlindungan’. Bab ketiga, bahwa sistem zona atau kewilayan bagi pengecer kekerasan yang telah terbentuk setelah era-ORBA. Hingga perkembangan historis hubungn antara geng, militer,dan rezim otoriter Suharto, atau dengan bahasa lain – bagaimana kekerasan yang di subkontrakkan merupakan unsur yang tak terpisahkan dari pelanggengan kekuasaaan negara. Bab keempat, menguraikan bagaimana proses transisi dari masa ORBA ke pasca ORBA tersebut. Terutama sekali, perebutan wilayah kekuasaan. Tanah Abang adalah contoh konkrit atas bab keempat ini – ‘setoran perlindungan’. Bab kelima, proses pergeseran menuju kesukuan dan kedaerahan seperti halnya Betawi dengan (Forum Betawi Rempug) FBR-nya, Ambon Makasar dan lain sebagainya. Hal ini berfungsi atas legitimasi dari kontrol pada sektor informal seperti pasar dan wilayah yang menjadi kekuasaannya. Bab keenam, menelisik dinamika internal, praktik, dan struktur FBR di lapangan, serta menimbang pengalaman motivasi para anggotanya untuk bergabung. Bab ketujuh, membahas soal permasalahan mengenai bagaimana kekuasaan kewenangan teritorial dan koersif, sebagai suatu sebagai rangkaian aktual, juga sebagai sebuah strategi organisasional serta transaksional yang diterjemahkan sebgai modal politik. Dalam konstelasi pemilu.
Pada salah satu scane film Preman Pensiun salah tokoh mengatakan “ini bisnis yang bagus namun bukan bisnis yang baik”. Statement ini sekiranya merepresentasikan apa yang di tuliskan oleh buku terjemahan tersebut. Kejahatan dalam taraf ini adalah kejahatan yang memang terorganisir secara rapi dan secara serius di jalankan hingga dijadikan sebagai mata pencaharian, sebagai jasa perlindungan umpanya. Bukan lagi daam bentuk komunal atau gerombolan seperti biasanya, namun sudah menjadi organisasi masyarakat – memiliki legitimasi hukum. Lebih menjanjikan bahwa seperti halnya ormas telah merambah dunia bisnis dan sudh tentu dengan sistem waralaba, dengan deal-deal yang telah di sepakati sedemikian rupa, maka ormas berevolusi menjadi ladang bisnis. Siapa yang bisa menafikan bahwa seprti halnya pasar, seperti pada umumnya, telah juga sambangi oleh ormas dengan dalih pengamanan. Dan jika menelisik hal itu pada terminologi sejarah, maka jelas, vrijman ialah bahasa yang di impor Belanda pada saat itu, kemudian di reduksi sedemikan rupa menjadi kata ‘preman, yang berarti orang merdeka. Kemudian, dari sisi istilah mafhum yang sering kita temui ialah kata semacam Jago, Lenggaong, Jaga Baya, Blater, Warok, Pawera, Jawara serta sinonim semacamnya yang sudah barang tentu setiap daerah memiliki penamaan yang berbeda-beda. Seperti halnya ormas, vigilante, milisi atau geng sekalipun telah memiliki kendali dalam setiap sirkuit sejarah. Dan yang subur dalam merawat hal ini ialah era-Orba.
Negara dalam konteks ini sudah menjadi hal yang lumrah saat menggunakan tindakan represif sebagai alat dalam menstabilkan kondisi sebauh negara – saat kekacauan. Bukan hanya emosi yang berhasil tersulut dalam setiap individunya, akantetapi lebih bertendensi terhadap kata ‘pengamanan’ itu sendiri, maka siapapun bisa menggunakan tangan besi dalam mengamankan sesuatu yang dimiliki oleh seseorang. Sehingga Ian Douglas mengatakan; perbedaan antara ‘tentara’ dan ‘preman’ di Indonesia memang tidak selalu jelas. Idelanya, bila melihat ormas dengan berbagai slogannya, maka yang terbayang dalam benak kita ialah, sikap jiwa sosial yang santun, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Akan tetapi kontras dalam fakta lapangan adalah menjadi ‘pasar’, ormas menjelma menjadi alat pengaman, siapapun yang membutuhkan. Dan preman dalam hal ini mengerucut dalam suatu attitude yang memang represif. Jasa kekerasan dalam skema perkotaan begitu menggiurkan, sebab tingginya angka kriminalitas, apalagi jika bukan untung perlindungan, bagi sebuah aset atau sebuah wilayah pasar mislanya. Seperti halnya FBR yang juga telah menjadikan etnis sebagai alat pemersatu dalam wadahnya bersaing dengan ormas-ormas lain dalam perebutan teritori hingga perebutan ‘job’ dari elite politik yang hendak menggunakan jasanya.
Satu pendapat dari Rozaki menyatakan bahwa kekerasan non-negara di Indonesia terus terjadi bukan karena negara dengan sengaja melakukan pembiaran, tetapi karena kenyataan bahwa elite-elite politik dan ekonomi mengandalkan kekerasan itu untuk mengonsolidasi kekuasaan dan kepentingan mereka sendiri. Alhasil, preman dan mafia selalu di jadikan alat oleh elite politik itu sendiri, baik melalui sayap partai maupun gerakan yang di sokong oleh partai itu sendiri, dan bukan hal baru apabila kekerasan serta koersi menjadi langkah jitu dalam setiap agitasinya – terlebih saat musim pemilu. Konon, Max Weber juga berpendapat mengenai hal ini, bahwa; monopoli teritorial atas penggunan kekuatan fisik secara absah, merupakan ciri penentu negara modern. Terakhir, bahwa pemilik jasa kekerasan dalam realitasnya telah juga berdekap mesra dengan polisi, korporasi bahkan instansi pemerintahan. Dan pada ahirnya gelombang kekerasan adalah monopoli atas relasi penguasa, melalui dominasi serta legitimasi yang absah.
pic by; Google
Sabtu, 15 Juni 2019
Posting Komentar