[ads-post]


Kita adalah buruh, adalah jargon May Day di 2019 ini, sebab miskin kata, miskin wacana, miskin terma dan miskin-miskin yang lainnya. Penumpukan kata itu kian nyata, sebelum dikotomi yang terjadi semkain menyeruak dalam selubung kepentingan antar-kelas. Semua lini di masuki kepentingan; ego-sentris, dengan memanfaatkan kekuatan massa yang tergabung dalam beberapa kelompok. Semuanya tergambar dalam pemetaan massa, siapa yang mendominasi adalah dia yang menang. Tanpa tedeng dan aling dalam penjungkirbalikan kepentingan bersama, mashlahah mursalah, yang kerap kali di gaungkan dalam lingkar diskusi hingga ingar-bingar orasi. 

Siapapun tak terkecuali, barmain peran dan melebur di dalamnya dalah sebuah prestise bagi seorang propagandis, terlebih ketika mengambilalih kendali atas sebuah kelompok. Lupakan idealisme, lempar gelembung kesejahteraan & tendang saja semua yang berkaitan dengan segala kepentingan orang banyak. Maka itulah yang di sebut pionir hari ini, dan siapa yangh menjadi martir atas segala perubahan hari ini, jawabannya masih stagnan, kaum lapisan bawah, yang di ekspolitasi dan di dogma sedemikian rupa. Apa yang diharapkan dari slogan ideologis; ‘revolusi dari dalam’?, yang tidak lain adalah penghianatan dan terus melanggengkan penindasan. Dengan meminjam metoda Syaru’ manqoblana adalah hal yang tak bisa dinafikan begitu saja, tak ada revolusi hari ini. Semua adalah martir yang berjalan dengan takdirnya, sebagai wadal kepentingan, di atasnya, dan sebagai bassirah yang sangat susah menjadi insan.

Persoalan ideologis, faham ataupun yang lainnya merupakan sesuatu yang abstrak, hanya dapat dibuktikan dengan waktu, siapa sesuangguhnya adalah soal seleksi alam. Namun yang tidak bisa di nafikan begitu saja  adalah, kita terpetaka oleh politik identitas yang kejam, sentimen moral, yang terus memaksa manusia kehilangan fitrahnya, hingga terampas kemerdekaannya. Selain konstruksi sosial-budaya, konstruksi lingkungan juga secara sarkas memaksa manusia dalam penyeragman. Lupakan bhineka dan demokrasi yang kerpa di agung-agungkan selama ini. Selain kepentingan yang terus menginjak hak serta naluri manusia, tidak ada yang patut di perjuangkan. Selama stagnasi masih terus meraja, seperti yang di tuliskan Adam Smith; rasa sakit tidak akan pernah memancing rasa simpati yang sangat nyata kecuali jika dia disertai dengan bahaya.

Berkaca pada aksi May Day belangan, kita sukses terpetakan dalam kelompok, tanpa suport dan tanpa saling mengulur tangan antar-kelompok. Superior dan inferior yang terjadi berkat adanya peyorasi, buruh pada may day hanya menjadi ekslusif pada buruh pabrik. Sehingga persoalan buruh yang sesungguhnya menjadi kabur bahkan hilang. Buruh tani, buruh bangunan, pekerja seni dan semua yang masih memiliki majikan atas profesinya menjadi lain seketika. Ajaib memang, siapa yang memetakan siapa yang menafikan esensi dari semua persoalan yang di hadapi oleh mereka yang bermajikan menjadi sesuatu yang benar-benar abstrak. Plenonasme memang menjadi mafhum di sekitar kita, bukan hanya di ranah ide dan makna, melainkan di lorong-lorongf kepentingan personal-komunal juga kerap terjadi. Dan sebagai contoh konkritnya adalah mereka yang sudah terpetakan oleh elit, baik elit politik nmaupun elit serikat buruh itu sendiri. Maka lupakan  independensi serta sikap kesatria yang altruistik, sebab kacamata kita adalah kacamata tendensius-materialis. Maka sangat tidak lucu apabila terdapat elit yang miskin. Dan kembali bahwa buruh dalam KBBI tetap di definisikan sebagai mereka yang memiliki majikan atas dirinya, budak dalam terminologi radikalnya. Tapi di kepala elit serikat hingga elit politik lain terma. Buruh adalah mereka yang bekerja di pabrik, bukan di sawah, bukan di bangunan atau yang lainnya. Dan may day yang menjadi  semacam heirloom keungkinan besar mejadi kabur isinya. Di level serikat, pendidikan kata Gus Dur hanya mencetak robot bukan aksi kultural mkenuju kemerdekaan. Maka yang terus langgeng sampai sejauh ini adalah ‘pembusukan dari dalam’ yang berdekap mesra dengan ‘merubah dri dalam’.

Peran agen of change disini bukanlah seperti apa yang di eluh-eluhkan pad masa OSPEK mahasiswa dan juga di lingkar organ-ekstranya. Lupakan dongeng itu. Agen of change ialah mereka yang terus berjuang mempertahankan hak-haknya, baik secraa personal maupun komunal. Berani menolak setiap diplomatis serta tidak tergoda dengan seksinya penawaran kesejahteraan sebelum sampai semuanya merasakan apa yang ia dan mereka perjuangkan. Sebab saat ini kata Gus Dur lagi, manusia hanyalah mampu bersabar secara pasif di hadapan rezim-rezim tidak demokratisyang datang secara berurutan, tanpa berani menumbuhkan keberanian moral yang dibutuhkan untuk mempertahankan hak-hak asasi mereka yang paling dasar.

Maka di setiap perayaan Hari Buruh sudah sepatutnya membuang setiap ego yang datang, membuang peyorasi atas kata buruh yang hanya terjebak pada makna; buruh pabrik. Hingga peran aktif elit buruh dapat di robohkan dengan cara menggandeng semua serikat vtanpa terkecuali untuk bersama-sama menyuarakan apa yang menjadi tuntutan setiap dari mereka. Bukan malah mengkotak-kotakan definisi buruh semaunya.     

pict by: Google

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.