[ads-post]


Semenjak bergulirnya konstelasi politik di tahun 2019 ini, corak-corak perbedaan sudah mulai terasa, bukan sekedar perbedaan yang sejatinya sebgai anugerah, namun pada skala tertentu telah menjerumus menuju perpecahan. Lambat laun, silih bergantinya waktu, semuanya terjadi begitu saja. Isu sara hingga isu militerisme kerapkali menjadi sajian hangat di keruhnya lidah simpatisan. 

Geliat kesatuan menjadi asing, hasrat untuk saling menghargai kini telah menjadi barang langka – pada masa kampanye ini. Semuanya terpetakan, semuanya di representasikan, baik melalui simbol maupun argumen menonjol. Kita lupa cara untuk menjadi Indonesia, kita lelap di ingar-bingar politik hari ini. Semua menjanjikan perubahan hingga tetek-bengek kedamaian. Menghapuskan KKN dan lagi mensejahterakan. Alegoris lama yang belum membusuk, dan masih layak pakai, mungkin. Dalam perlombaan berebut pengaruh dan taktikal demi mendulang suara, nanti di bilik dan di depan kotak suara, dan sekali lagi kita lupa dengan ‘Grand Area’ yang di gagas Amerika pasca Perang Dunia II. Posisi kita di Negara Dunia Ketiga sebagai penopang dari negara penggagas tersebut menginginkan sumber bahan mentah dan pasar, tentunya. 

Di belahan kepala yang lain, kita tentu belum lupa dengan beberapa peristiwa alam, hasil dari eksploitasi alam yang semena-mena. Sebagai alibi dari infrastruktur yang akan memajukan serta mensejahterakan perekonomian bangsa. Sebaliknya, kita terkena imbas, bukan hanya alam yang semakin tidak bersahabat, keberlanjutan ekosistem alam yang terncam juga menjadi titik berat kita menentukan sikap. 

Di lini bawah, kita menjumpai sembarang baliho dengan seabreg janji manis para kontestan legislatif. Dengan multi-background dan dengan bermodal ‘alakadarnya’ juga telah memabah deret panjang perusakan lingkungan. Absurdnya, kita berikan wejangan untuk menjaga lingkungan dengan program-program yang selesai di lembaran laporan. Namun mereka sejatinya mengajarkan kita untuk menjadi vandalis ulung. Dengan memasang baliho yang mejarati pohon dan di sembarang tempat. Dengan money politik, kita justru menjadi terbelakang, bila tidak stagnan. Sebab pola seperti itu sudah semenjak dahulu di lakukan, dan tentunya sudah usang. Namun sepertinya masing relevan di kalangan kontestan tersebut. Kita mengnginkan kemajuan malah kita terus di ajaknya untuk berjalan di tempat. Bahkan mundur jika dikomparasikan dengan negara-negara maju. Kita sejatinya hanya melanjutkan tradisi kotor para kontestan yang terdahulu. Atau syar’u manqoblana  dalam bahasa termonologi lainnya. 

Jika memiliki pola lain maka lakukan, dengan inovasi menuju politik yang universal, nir-laba, nir-nepotis dan lain sebagainya. Jika pola yang di gunakan bersifat monoton, maka besar kemungkinan hal ini hanya kan menjadi dendanpada masa yang akan datang. Karena sudah barang tentu para kontestan mengennyam pendidikan yang tinggi dan bukan orang-orang ‘kudet’, maka sudah sewajarnya memberikan preseden bagi generasi yang akan datang. Sebab kita dalam gempuran perang, pendidikan dan kebijaksanaan menjadi modal kuat dalam memporak-porandakan barak serta milisi di manapun.  

Sejatinya kita menginginkan politik yang bersih, jujur nan bersahaja. Bukan sebaliknya. Tetapi yang tersaji adalah politik yang mengerikan. Saling tikam dan saling membunuh, baik karakter hingga pada tahap pencideraan secara fisik. Di kutip dari catatan Noam Chomsky bahwa, masalah pada sistem demokrasi sejati adalah bahwa demokrasi memungkinkan terjadi pembelotan, sehingga pemerintah di Negara Dunia Ketiga harus merespons kebutuhan-kebutuhan penduduk mereka sendiri, alih-alih kebutuhan para investor Amerika. Dan ketika hak-hak investor terancam, demokrasi harus dienyahkan; sebaliknya, selama hak-hak ini dilindungi, bahkan para pembunuh dan penyiksa akan tetap aman sentosa. 

Pola seleksi alam yang kian ketat telah menyingkirkan segala sesuatu yang tidak memiliki utilitas, siapapun. Jebakan di siapakan. Surprise juga menanti, sebagai lullaby pengantar kenyaman di tengah perang yang sebenarnya. Apa yang di harapkan dari politik fasis, rasis bahkan militeris? Kita hanya kan menjadi korban dari kegentingan. Sebagai contoh kecil, artikel mengenai golput yang di tulis oleh romo F. Magnis Suseno kemarin sukses menuai kontroversi di kalangan pemerhati hingga aktivis, polemik tak bisa di hindarkan begitu saja. Dengan attitude yang apatis juga di serang, klaim plin-plan – goblok, menjadi target mereka yang golput. Meskipun revisionis mengutarakan bahwasanya golput bukan berarti ‘lepas tangan’ dalam mengawal proses kita menuju demokrasi. Namun tetap saja. Arus hyper-fanatism siapa yang bisa menghalau?.     

Kita tentu keberatan dengan isu fasis, rasis hingga militeris yang di mainkan oleh para kontestan, sebab tidaklah mendidik sama sekali. Bahkan hanya meruncingkan perbedaan. Kita juga keberatan dengan stigma yang di letakkan pada mereka yang memilih untuk tidak memilih pada esok hari, sebab mereka memiliki hak untuk itu dan self-determination yang menjadi fitrah bagi setiap manusia. Dan sudah sepatutnya kita tidak berpangku tangan pasca ‘pesta’ berlangsung, sebab yang di sisakan hanylah sampah. Kita siap untuk terus mengawal demokrasi dari berbagai arah. Tak peduli siap pucuk pemimpin negara ini. Sebagai agen of control juga sebagai civil society yang peduli dengan kerusakan yang di timbulkan setelah pesta.   


Jum'at, 05 April 2019
Ahonk Bae

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.