[ads-post]

Bulan Safar merupakan bulan ke dua dalam sistem penanggalan hijriyah, bulan yang di dalamnya di asumsikan sebagai bulan yang sial atau nahas di sebut juga bala. Sehingga pada bulan ini masyarakat pada umumnya melakukan beberapa ritual untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal tidak di inginkan; di timpa kesialan. Ada yang melakukan ritual mandi, membuat makanan tradisional seperti apem, sholat dhaf'ul bala atau yang lainnya guna terhindar dari kesialan tersebut. Memang, kata Shafar yang berasal dari bahasa Arab memiliki sejumlah arti, di antaranya adalah kosong, kuning, dan shafar sebagai satu nama penyakit. Bulan ini dinamakan sebagai bulan Shafar dalam pengertian “kosong” karena kebiasaan orang-orang Arab zaman dulu meninggalkan tempat kediaman mereka sehingga menjadi kosong pada bulan tersebut, baik untuk berperang maupun untuk bepergian jauh. Selanjutnya penamaan bulan Shafar dalam pengertian “kuning”, karena biasanya bulan tersebut bertepatan dengan musim panas yang menyebabkan dedaunan menjadi kering dan berwarna kuning. Adapun shafar sebagai nama penyakit, adalah karena masyarakat Arab pada zaman Jahiliyah dahulu meyakini adanya penyakit berbahaya yang disebabkan oleh keberadaan ulat besar dalam perut seseorang, atau menurut pendapat lainnya adalah serangan angin panas sehingga menyebabkan sakit perut.

Keseluruhan arti shafar tersebut menunjukkan makna tidak bagus atau negatif, sehingga sangatlah wajar apabila selanjutnya hal itu memunculkan kesan bahwa bulan Shafar harus diwaspadai. Kesan seperti ini berkembang dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga saat ini. Kepercayaan yang telah sejak dulu di percaya oleh masyarakat tidak mudah di hilangkan begitu saja, meski belakangan terdapat gelombang takfiri dan bidh'i yang belakangan telah masuk secara perlahan, namun dengan kuatnya kepercayaan dalam masyarakat maka gelombang tersebut tidak mudah di runtuhkan begitu saja, dan konon tradisi tersebut telah ada sejak abad 17 lalu, seperti tradisi rebo wekasan. Rebo (rabu) merupakan hari ketiga dalam sepekan. Sedangkan wekasan adalah istilah yang berasal dari akar kata wekas yang berarti “pesan” atau “wanti-wanti”. Kemudian istilah pungkasan berasal dari akar kata pungkas yang berarti “akhir”. Yang terakhir, kasan adalah kata yang berasal dari kedua istilah diatas dengan menghilangkan suku kata di depannya.

Dalam islam sendiri, semua hari dan bulan adalah baik, namun kemudian seiring perjalanan waktu kepercayaan yang terbentuk dari empirisme setiap orang telah menjadi sesuatu yang sampai detik ini masih terus ada. Meski praktik penentuan hari baik saat akan melakukan sebuah upacar penting di masyarakat. Dan dalam perspektif syara bahwa kesialan juga bisa bermakna jelek, kemudian apabila semuanya di kembalikan maka semuanya terserah kepada Allah, sebab ialah yang maha berkehendak atas segala-galanya, baik dan buruk, sial dan untung dan sebagainya. Hal ini bisa di lihat dalam sebuah hadist yang di riwayatkan oleh Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada hammah (ruh dan jiwa manusia berada pada burung saat meninggal), tidak ada tathayyur (mengundi nasib dengan burung), tidak ada kesialan pada bulan shafar dan tidak ada ‘adwa (penularan)”. (HR. Bukhari Muslim). Meskipun terdapat legitimasi dalam hadist, yang merupakan asas kedua dalam hukum islam namun tradisi masyarakat dalam keberagamaan tidak bisa di salahkan begitu saja, sebab dalam menjalankan kehidupan seseorang tidaklah bisa lepas dari adat dan kebudayaan, hal ini juga terkait dengan apa yang tradisi kita lakukan dalam bulan-bulan tertentu dalam tradisinya. Oleh sebabnya bala atau bencana tidak serta-merta di justifikasi oleh ruang dan waktu, karena setiap bencana merupakan sebuah representasi atas tindakan manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Masyarakat yang mempercayai bahwa tidak di perbolehkan bepergian pada saat rebo wekasan atau pada hari sabtu umpamanya, merupakan sebuah tradisi yang lahir dari masyarakat, sejak sekian lama, dan hal itu sebagai wujud antisipasi, bukan di tafsirkan sebaliknya. Meskipun tradiasi tersebut lahir bukan dari islam namun tradisi tersebut bersinergi dengan agama, tidak menyalahkan dan tidak menjadi tembok pembatas ruang gerak keberagamaan dalam masyarakat.

Terlebih di era pruralitas seperti saat ini, tradisi merupakan sebuah aset atas bangsa. Dengan banyaknya tradisi dan urat nadi kebudayaan yang hilang maka tradisi memiliki nilai tersendiri di masyarakat, sebagai keberagmanan, identitas, dan bisa juga di gunakan sebagai berometer persatuan di masyarakat. Seperti halnya tradisi di bulan safar atau sapar, dalam lidah jawa. Safar dengan tradisi membagikan kue apem kepada kerabat atau tetangga akan lebih baik di maknai dengan sedekah, dalam sebuah hadist dari Ali ra. Dalam hadits marfu’: “Bersegeralah sedekah karena bala’ tidak akan melangkahinya” (HR Thabrani). Pemaknaan sedekah menjadi lebih menarik secara sosio-historisnya, apabila di bandingkan dengan klaim benar atau salah, seperti pada ritual-ritual keagamaan lainnya yang sampai hari masih menjadi polemik di masyarakat. Cara pandang setiap manusia tentu berbeda, terlebih dalam persoalan sara, namun apakah dengan hal semacam itu identitas kebangsaan ini akan hilang perlahan? Semoga saja tidak, sebab menjaga tradisi lebih penting daripada bertikai hanya karena persoalan asumsi.

Dari mulai tolak bala hingga pembagian kue apem yang di lakukan oleh masyarakat kita sudah barang tentu telah di amini sejak lama, berbaur dan bersinergi dengan agama dalam kehidupan masyarakat dan sejak dahulu pula tidak ada pertentangan atasnya. Oleh karenanya mari kita bersama menjaga apa-apa yang telah di wariskan oleh pendahulu kita, yang baik tentunya, sebgai tali estafet kebudayaan.

Pict: Dokumen istimewa


Ahonk bae

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.