Dalam
kurun waktu belakang, begitu banyak persoalan yang menyangkut sebuah simbol, simbol
yang memiliki nilai sakral, dalam hal ini adalah bendera. Baik bendera yang di
bakar pada Hari Santri Nasional maupun insiden pembalikkan bendera yang di
alamatkan pada buruh tani desa Mekarsari Indramayu. Dalam kaitannya simbol
merupakan sebuah identitas atas sebuah golongan bahkan sebuah bangsa, sehingga
jika terjadi dengan simbol tersebut maka satu atau dua orang yang tersinggung, termasuk
provokasi sebagai magnet market dari ketersinggungan tersebut. Tuduhan yang di
alamatkan kepada pejuang lingkungan tersebut memang bukan hal baru dalam
persoalan agraria belakangan ini, deretan nama sudah menjadi korban
kriminalisasi atas sebuah penolakan eksploitasi, baik pembukaan tambang maupun pengadaan.
Siapa yang melawan maka menjadi tawanan, begitu sekiranya kaidah sosial yang muncul
hari ini.
Penolakan
atas PLTU 2 Indramayu memang telah bergulir sejak dua tahun ke belakang, dari
rangakaian aksi hingga konsolidasi dengan dinas yang terkait telah di upayakan,
terutama dinas lingkungan hidup yang dalam hal ini menjadi titik tumpu atas
studi kelayakan AMDAL, dan pada tanggal 24 Oktober kemarin bupati Indramayu mendapatkan
penghargaan dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), atas apresiasi
dari KLHK terkait dengan program kampung iklim karena banyak melakukan
pegelolaan sampah, penghijauan, teknologi tepat guna dan ramah lingkungan,
penghematan air, penggunaan pupuk organik, ketahanan pangan, dan pemberdayaan
perempuan. Memilukan memang. Meski upaya yang dilakukan lagi-lagi belum terlihat
qarinah atas respon yang selama ini di berikan, dari sekian dinas
tersebut, malah yang terjadi sebaliknya. Pada 17 Desember tahun 2017 lalu,
buruh tani di tangkap atas tuduhan pemasangan bendera terbalik, merah di bawah
dan putih di atas, dan entah bagaimana jadinya semula mereka yang di tahan
hanya mendapat status tahanan kota, kini menjadi tersangka, meskipun
bukti-bukti yang ada belum bisa menjelaskan tuduhan tersebut, akan tetapi
bagaimanapun persoalan agraria adalah persoalan yang di asumsikan sepele,
walaupun di Indramayu sendiri saat ini memiliki jargon Lumbung Padi untuk skala
Jawa Barat namun enatah bagaimana perlindungan atas petani serta buruhnya yang
masih tergolong minim. Hanya berbangga dengan jargon namun minim proteksi untuk
pelaku pertaniannya.
Aksi
demi aksi yang di lakukan oleh warga
yang tergabung dalam Jaringan Tanpa Asap Batu Bara Indramayu (JATAYU) demi
membebaskan Sawin, Sukma dan Nanto kerapkali di galakan. Dukungan serta
solidaritas dari berbagai daerah, bahkan dari Jepang Dan Australia, para aktivis
terus menyuarakan pembebasan atas tiga orang tersebut. Meski di lapangan kasus
tersebut di biarkan belarut tanpa ada upaya percepatan. Mengumpulkan berkas-berkas
perkara atau bukti sekalipun tidak sampai berbulan-bulan, semenjak Hari Tani
2018 keyiganya menyandang status tersangka, yang dalam perkara ini warga Mekarari
di dampingi oleh LBH serta WALHI yang terus memberikan dukungan penuh atas
bebasnya ketiga pejuang lingkungan tersebut. Ketiganya di jerat dengan Pasal 24
huruf (a) UU No.24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta
Lagu Kebangsaan menyatakan "Setiap orang dilarang merusak, merobek,
menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai,
menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera. Dengan sanksinya tertuang pad
Pasal 66 UU No.24 thn 2009 yang berbunyi "Setiap orang yang merusak,
merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud
menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) thn atau denda Rp500 juta.
Memang
ketiganya merupakan buruh tani dengan pendidikan yang kurang memadai, namun
dalam memasang lambang negara mereka telah paham, berdasarkan empirismenya dan mereka
tidak bermaksud menodai atau bahkan merendahkan lambang negara tersebut.
Berdasarkan kronologi yang penulis dapatkan, bahwa pemasangan bendera tersebut
di lakukan pada sore hari dan keesokannya, pada dini hari tepatnya, rumah mereka
di datangi oleh pihak kepolisian dengan laporan pemasangan bendera terbalik. Bagaimana
alam psikologis keluarga, terutama anaknya yang masih kecil? Tentu mereka mengalami
depresi, dan dalam setiap aksi anak dari para tersebut di hadirkan. Meski pers
mewartakan hal senada, namun menurut survai yang dilakukan oleh Remotivi.or.id
media lokal belum sepenuhnya berimbang dalam mengabarkan persoalaan lingkungan,
khususnya PLTU 2 tersebut. Sedikit sentilan dari Pramoedya Ananta Toer mengenai
media massa; "Koran boleh berteriak tentang kemerdekaan yang merdeka dan kedaulatan
yang berdaulat. Tapi jauh-jauh di daerah-daerah orang gunung menanggung"
Dalam
kasus pembakaran bendera media gencar menyuarakan, meski belakangan diketahui
bahwa hal itu merupakan permainan politik yang kembali menghembuskan isu agama,
sontak seluruh elemen masyarakat terprovokasi karenanya. Kasus yang sama dengan
persoalan yang 'dianggap' sama. Bendera sebagai simbol. Sebagai identitas yang
krusial apabila di dekatkan dengan teritorial hukum. Kemudian nasionalisme
menjadi ternomorduakan olehnya. Hingga persoalan tersebut terselesaikan dengan tiadanya
unsur kesengajaan. Dan kembali bahwa dalam persoalaan buruh tani yang saat ini
menyandang status tersangka, sudah barang tentu tidak terdapat unsur
kesengajaan, terlebih menurut pengakuan tersangka dan warga sekitar pemasangan
bendera terssebut di lakukan dengan sebenar-benarnya, merah di atas dan putih di
bawah, namun karena oknum pelapor belum juga memberikan bukti konkrit atas
tuduhan tersebut maka kasus ini seolah di biarkan berlarut-larut. Tidak seperti
persoalan politik yang di bumbui agama, selesai dengan sesegera mungkin.
Bukankah mempertahankan ruang hidup juga merupakan inti dari ajaran agama? Atau mungkin persoalan agraria tidak semenarik persoalan politik, atau bahkan agama yang di persoalkan. Bukan di jalankan.
Jika
semuanya bisa segera di klarifikasi mungkin persoalan ini tidak berlarut-larut,
dan warga berkonsentrasi dengan kehidupannya masing-masing. Dan bagi ketiganya "kemerdekaan
adalah lagu merdu yang kini tak bisa diraih dengan tangan lagi. Hanya bisa
diraba dengan kenangan. Dan kemudian berubah jadi barang kaguman. Beginilah
rindu pada kebebasan." Meski tanpa bukti yang jelas mereka sampai hari ini
masih mendekam di balik jeruji, dengan segudang kerinduannya pada udara sawah
yang segar dan pada kebebasan yang hari ini menjadi mahal. Begitu kiranya
kemerdekaan bagi mereka yang di kriminalisasi.
Kamis, 08 Nov 2018
Ahonk bae
Posting Komentar