Segelas kopi masih menemani sore ini, dengan beberapa batang rokok
yang siap di hembuskan kenikmatannya. Sekilas teringat apa
yang yang terjadi dengan realita dalam dunia perbukuan, baik di dunia ataupun
di Indonesia, di lansir dari laman Kompas bahwa Indonesia berada di urutan ke
60 dari 61 negara, di atas Bostwana dan di bawah Thailand, setengah terkejut
dan namun tidak terlalu dengan apa yang di beritakan oleh kompas atau lembaga
survei yang sejenis tersebut. Sebab di pojokan kota hingga masih banyak mereka
yang menjajakan buku secara gratis kepada masyarakat, sehingga pemberitaan
tersebut hanya bisa di jadikan sebuah acuan untuk lebih giat dalam upaya
mendekatkan bacaan kepada masyarakat.
Jika berkaca pada masa lalu atau di pengujung
tahun 2009 terdapat sejumlah pelarangan buku yang, lagi-lagi ini dilalukan oleh
junta, atau lebih spesifiknya oleh Kejaksaan Agung, buku yang di anggap ‘kiri’
menjadi fokus utama dalam pelarangan tersebut. Dengan menggunakan legitimasi hukum
UUNomor4/PNPS/1963 mengenai barang cetakan yang isinya mengganggu ketertiban
umum lalu dengan UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan pasal 30, hingga
pasal-pasal pentyebar kebencian hatzaai artikelen atau yang lebih sering
di kenal dengankata hoax. Semenjak itu, atau bahka jauh sebelum itu juga
masih terdapat banya pemberedelan-permberedelan yang dilakukan, akantetapi kami
hanya mengambil sample dari apa sebuah kontradiktif yang terjadi, dimana
sebuah menganut sebuah paham demokratis akantetapi melalkukan sebuah
‘penyensoran’ atau bahkan mencegah upaya demokratis itu sendiri.
Belakangan muncul beberapa komunitas yang
semakin menguatkan upaya literasi yang kini semkin urgent, komunitas
perpustakaan jalanan (selanjutnya perjal) telah berkontribusi besar dalam upaya
mencerdaskan atau palingtidak membuka wawasan di masyarakat melalui buku yang
di lapakkan secara Cuma-Cuma.
Dalam sebuah buku yang berjudul Pelarangan Buku di Indonesia yang di
terbitkan oleh PR2Media di sebutkan bahwa "kemajuan perdaban bangsa di
manapun di dunia ini tidak bisa menafikan satu instrumen pengetahuan penting
bernama buku," dengan kata lain bahwa buku adalah jendela dunia dapatlah
di benarkan. Maka apabila dalam sebuah bangsa tak memiliki animo dalam dunia
perbukuan, setidaknya membaca, maka bisa dikatakan bangsa tersebut jauh dari
perdaban. Dan oleh karenanya kerja kreafif muda-mudi dalam mendekatkan buku
pada masyarakat patutlah di apresiasi. Dengan upaya yang diawali dengan
melakukan konsolidasi dengan kolega serta di mudahkan dengan kemajuan teknologi
(jejaring sosial), biasanya pelaku perjal melakukan penggalangan buku atau
biasa di sebu tdengan donasi buku hingga setelah terakumulasi beberapa puluh
judul buku kemudian di jajakan atau dengan istilah melapak. Melapak biasanya di
adakan pada hari libur atau dalam event-event
tertentu, berbaris dengan penjaja makanan dan minuman di sekelilingnya.
Di Indramayu sendiri perjal sudah banyak menjamur, seperti Balada
Emperan, Pustaka Bambu Runcing, Perpustakaan Alif dan masih banyak lagi, dengan
hal ini maka akses masyarakat untuk membaca bisa di dapat dengan mudah, sebab
dengan adanya perjal yang biasanya di ikutsertakan performing art seperti pembacaan puisi juga teater dapat menarik
masyarakat sekitar. Kemudian eksistensi perjal juga setidaknya dapat membantu
beberapa apek vital yang memang dalam ini berkewajiban dalam menularkan wawasan
pengetahuan pada masyarakat, seperti tenaga pengajar serta dinas yang terkait,
seperti dinas perpustakaan setempat.
Lebih dari itu, kriteria buku yang mudah di akses atau mudah di mengerti
sangatlah membantu masyarakat dalam meningkatkan animo membaca. Dalam konteks
penulis, Ben Okri dalam The Way of Being Free-nya mengatakan “jika anda ingin
mengetahui apa yang berlangsung di sebuah zaman, cari taulah tentang apa yang
terjadi dengan penulisnya,” hal ini dapatlah di telisik dengan apa yang terjadi
pada penulis yang menggantungkan dirinya pada honor yang di berikan sebuah
penerbit sebuah tulisan semacam koran atau percetakan seperti pada umumnya,
yang memberikan upah yang tergolong minim dari apa yang mereka hasilkan, sebab
dalam membuat sebuah karya tulisan membutuhkan banyak bahan, terutama buku
serta riset mendalam tentang apa yang sedang di tulisnya.
Dengan melapak banyak manfaat yang di dapat, selain menambah banyak
teman, saling bertukar buku bacaan serta wawasan baru serta menambah relasi
bagi pelapaknya, selain mendapatkan apresaisi dari komuitas-komunitas yang sejalan
dengannya mereka juga saling berdiskusi mengenai bacaan serta tema-tema aktual.
Perjal Indramayu juga menjadi tempat bacaan alternatif bagi masyarakat yang
kurang mendapat akses buku, meskipun buku yang di dominasi oleh buku-buku
ringan semacam buku bercorak how to
dan juga buku yang bersifat teoritis biasanya tersaji dalam lapakan sehingga
dapat di akses oleh semua umur. Dan di Indramayu sampai sejauh ini belum ada
isu ‘miring’ dengan perjal di Indramayu, meskipun kritik dalam lisan serta
tulisan yang tajam seringkali mendapatkan perlakukan yang kurang menyenangkan,
yang masih kontradiktif dengan prinsip demokrasi itu sendiri.
Perjal hari ini telah memberikan banyak
manfaat bagi masyarakat sekitar, sehingga perjal tidaklah di pandang sebagai
aktivitas monoton yang hanya sekedar berkumpulnya anak-anak muda, lebih dari
itu perjal bias menjadi media berkumpulnya teman-teman muda kreatif yang ikut
serta dalam berkontribusi untuk masyarakat banyak.
pict: google
Ahonk bae
Posting Komentar