Beberapa hari
berlalu tanpa cebuah catatan rasanya hidup ini hanya berlalu begitu saja, tak
menyisakan apa-apa dari indera yang bekerja hingga dari hati yang merasakan
sesuatunya. Dari fenomena yang memberi sbuah uswah hingga kejadian yang
luput dari pandangan namun terdengar. Begitulah memang sebuah fenomena, dari
apa yang di baca hingga apa yang di lihat, kontras, namun suara terus
berdendang menyakan hal-hal baru, namun akal tak berhenti menyangsikan apa yang
belum terjamah.
Beberapa hal,
seperti fenomena monopoli air dalam skema petani padi hingga cerita petani
garam yang memiliki ketergantungan dengan alkohol terus menggelinjang dalam
pikiran ini, kenapa tidak di tulis saja, pikirku. Kemudian dengan dorongan
narasi atas buku ‘konyol’ Perpustakaan Kelamin hingga The Princes yang
melengkapi bacaan hari ini, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa besutan
Fernando Baez, juga tak kalah menarik dalam menyemai realita, semuanya
bersanding dalam menyaksikan entitas kehidupan ini. Hingga tiba pada bulan yang
di ‘sakralkan’ oleh negara ini, Agustus sebagai bulan bernuansa Merah Putih, bulan
yang memang di eluh-eluhkan oleh setiap veteran, sebagai momentum atas apa yang
mereka perjuangkan semasa hidupnya dulu. Darah dan keringat menjadi saksi bagi
para pejuang kemerdekaan yang telah dulu mangkat oleh tikam kolonial, realistis
memang, bagi mereka yang pernah merasakannya.
Sebelumnya dalam
epistemologi yang berdesakan, bahwa merdeka adalah sebuah kalimat yang memang
sakral, dalam konteks penjajahan serta penindasan verbal memang bisa di amini,
dengan catatan, itu dulu, hingga sebuah subjektifitas menyeruak masuk
dalamsaraf berfikir, apa benar hari ini kita merdeka? Jika memang benar bahwa
merdeka merupakan sebuah hak atas segala bangsa, tanpa embel-embel penindasan,
tanpa iming-iming kekerasan yang kerapkali terjadi, seperti yang telah indera
ini tangkap, penggusuran, manipulasi, korupsi yang telah menjadi musuh bersama
atas bangsa ini. Kita takan lupa denganm Kulon Progo dengan sengkarut
penyerobotan lahannya, juga Indramayu dengan aneksasi yang menjamah Indramayu
dengan ambisi PLTU 2-nya yang telah merenggut rung hidup warga sekitarnya. Hingga
aksi solidaritas merebak di segala penjuru dalam rangka ikut berpartisipasi
dalam menolak kerakusan serta eksploitasi yang di lakukan oleh investor yang
kian hari kian tak terkendali. Apabila di kembalikan dengan term bahwa tanah
adalah ibu, maka memang kita sebagai anaknya telah memperkosa ibunya sendiri.
Dengan sewenang-wenang memperlakukan ibunya sendiri, namun memang watak mahluk
yang di namai manusia adalah mahluk yang tak pernah puas dengan apa yang telah
dimilikinya, dari kerakusan tersebut maka di representasikan melalui
pengambilalihan atas hak manusia lainnya, jika kepuasannya tak terjamah maka
cara masif jua dilakukan, kekerasan misalnya.
Maka kemerdekaan
adalah suatu yang menyendat tenggorokan saat di teriakkan, dan kibaran sang
merah putih hanyalah sebatas testamen kalah blenak atas veteran yang
telah memerdekakan tanah ini dari kolonialisme. Dengan realita yang demikian
menyakitkan serta kepungan ancaman dari internal negara ini saja telah
mengindikasikan bahwa secara esensi negara ini belum merdeka, bahkan untuk
berkumpul pun masih dalam pengawasan panoptikon negara, seperti apa
telah terjadi dalam beberapa kasus tempo hari, beberapa ormas serta partai meneriakan ketidaksepakatan dengan sebuah sistem hingga
persoaln buruh Freeport yang tiada kunjung reda sampai detik ini. Hal ini tentu berbadik terbalik
dengan dengungan kata merdeka yang take eassy saat mengucapkan tanpa
terpekik sekalipun. Sehingga otoritas kemerdekaan sepenuhnya dimiliki oelh
sebuah bangsa tanpa ada embel-embel otoritas apapun, dengan kata lain bahwa
degradasi dalam sebuah masyarakat di indikasikan dengan adanya hak istimewa baik
secara politik maupun ekonomi (M. Bakunin, 2017:67), dan dalam implementasi
lapangan yang terjadi memang demikian, kemerdekaan masih menjadi komoditas yang
dimonopoli oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan demikian esensi
merdeka menjadi kabur, menjadi blue print yang mengerikan. Sederet kata
merdeka takan mampu memadamkan nyali para pejuang Rumah Deret Bandung yang juga
berjuang membela haknya, PLTU 2 Cilacap yang yang titik temu estafet dari
Indramayu dan Cirebon menggema dalam spektrum bulan kemerdekaan ini. Semenjak awal
bulan deklarasi capres-cawapres menggema hingga persekusi atas Meliana menjadi
sebuah anomali kemerdekaan yang tak tersentuh oleh Lombok dengan eksotismenya,
meskipun beberapa pihak mendesak bahwa
apa yang terjadi atas Lombok adalah sebuah bencana nasional, namun gempa yang
terjadi di Lombok tersebut adalah gempa yang terparah – menurut penulis,
susulan dan tangis terus mewarnai di atas destinasi wisata level dunia tersebut,
dan yakinkan bahwa bencana alam adalah rekayasa sains dalam berbagai eksperimennya
dalam mengeruk rupiah.
Hingga frasa merdeka
dalam implementasinya begitu meleset dari fokus pembangunan yang di gencarkan
oleh pemerintah, pembangunan yang kian merenggut hak hidup serta ruang hidup
semakin terkooptasi oleh kepentingan korporasi, dampaknya bukan hanya kepada mereka
yang pro terhadap pembangunan itu, ganti-rugi bukanlah barometer atas apa-apa
yang telah dirampas dari kehidupan manusia, namun ganti-rugi adalah terminologi
pencek dari erosi perjuangan. Terlebih kemerdekaan hari ini adalah sama dengan
apa yang dikatakan Wiji Thukul – nasi yang dimakan jadi tai.
Usaha memerdekakan
sebuah bangsa dari kungkungan kebodohan, dekapan teknologi hingga peninaboboan
segerombolan perampok pun masihlah teramat sulit, terutama bagi mereka yang
terkena dampak kerakusan manusia dengan jargon kesejahteraan. Bali dengan Tolak Reklamasi telah nemenukan pucuk
perjuangannya, tinggal menunggu keberanian presiden untuk langkah selanjutnya,
dan semoga kemerdekaan suatu masyarakat terus bergulir dan nyali perlawanan
atas kerakusan tak pernah meredup sekalipun, peranan pemuda enejik, peduli,
inovatif dan berani adalah yang dibutuhkan Indonesia saat ini - bukan yang berpangkat atau pintar sekalipun,
sebab sejatinya dalam setiap sejengkal tanah
hanya butuh seorang pemuda yang konsisten bukan yang labil untuk
melindungi serta memerdekakannya.
*gambar; Google
Ahonk bae, 28 Agst 2018
Posting Komentar