Kota adalah sebuah sudut pandang berbagai arah yang menentukan apa dan
bagaimana kota hingga hendak menuju kota itu. Kota dalam sebuah dialog takan
pernah habis di gubris, dengan segala perspektifnya, selalu terdapat kekurangan
– bahkan cacat, menurut si pembicara itu. Sebuah kota yang di demonstrasikan
oleh banyak orang sudah barang tentu akan berbedan dengan orang lain, kelompok,
bahkan dengan segala kepentingan di dalamnya. Di sini, seorang Ibn Rusyd atau
lebih familiar dikenal dengan sebutan Averos oleh Barat, mencoba menuliskan
kembali apa yang pernah di tuliskan oleh Plato; Republik, seorang filosof
Yunani, yang dalam hal ini Ibnu Rusyd menuliskannya dalam bentuk sebuh mukhtashar
atau ringkasan, proyek literasi ini di
sebabkan atas sebuah ‘pesanan’ sahabatnya, Abu Yahya, yang berkeinginan menjadi
seorang gubernur pada sebuah daerah di Kordoba pada tahun 572 H menurut
Rosenthal. Dan kecondongan Ibnu Rusyd kepada Aristoteles pun pada masa itu
menjadikan karyanya sebagai sebuah hibrida antara Republik-nya Plato dan
Politik-nya Aristoteles.
Orang dahulu mengatakan “waktu adalah penguasa” pun laiknya sebuah buku terjemahan
dari buah karya Plato, Republik yang di terjemahkan dalam bahasa Arab menjadi Al-Dharuri
fi al-Siyasah: Mukhtashar Kitab al-Siyasah li Aflatun. Buku ringkasan besutan Ibnu Rusyd tersebut
menjadi sebuah acuan bagi sahabatnya yang berambisi menjadi seorang gubernaur,
yang namanya telah disebutkan. Konon Ibnu Rusyd di deportasi setelah menunjuk
secara aklamatif yang pada saat itu Yaqub al-Mansur sebagai rajanya, sebab pada
saat itu Ibnu Rusyd telah memiliki peran penting di Kordoba hingga beliau
memiliki previlge atas sebuah kepemimpinan. Ibnu Rusyd juga menyebutkan isilah
yang memang membuat geram penguasa dengan istilah wahdaniyyatal-Tasalluth
(kekuasaan egois), imbas dari salah satu statemen yang di sebutkannya ialah
selain di deportasi juga karyanya dibakar serta disita yang bukan sebab persoalan
agama, dan hal ini sesuatu yang lazim pada penulis progesif pada setiap masa. Mukhtashar
tersebut memang berisikan kritikan bagi penguasa, sebagai refleksi atas
Demokrasi-nya Plato, yang dalam hal ini Ibnu Rusyd mengecm kediktatoran serta
kedzaliman yang dilakukan oleh penguasanya, Yaqub al-Manshur yang ambisi politiknya
di galang lewat mikliterisme, serta politik yang di konstruksinya ialah politik
“kharismatik” (karamiyyah), yang berbeda dengan penguasa kharismatik ala
Max Weber, hingga orientasi politik yang di bangunnya ialah politik kekuasaan
dan megalomaniak dan berubah menjadi ‘kekuasaan yang egois’.
Ibnu Rusyd menuliskan sebuah kritik dalam proyek penulisan tersebut,
menyematkan kritik bagi penguasa pada masanya seperti’ “Komunitas sosial
pada mayoritas kerajaan islam saat ini hanyal komunitas yang berupaya membangun
rumah-rumah mereka semegah-megahnya tanpa terkecuali, karena kebanyakan
watak-watak mereka adalah watak yang lebih mementingkan hak-haknya terlebih
dahulu (melupakan kewajibannya).” Kemudian dalam menuliskan kota tirani (Madinat
al-Ghalabah) bahwa “ Karena cita-cita mereka ketika berhasil mencapai
kepemimpinan hanyalah untuk memihak orang-orang kaya dan memiliki kelebihan dan
kebaikan – karena di antara mereka merupakan pemegang kendali kekuasaan – demi menciptakan
stabilitas politiknya dan politik pembantunya.”
Dalam Republik-nya, Plato menuliskannya dalam 10 bab namum oleh Ibnu Rusyd meringkasnya
hanya ke dalam 3 bab. Sebab dalam Republik terlalu di dominasi oleh teks
dialektis sehingga Ibnu Rusyd mengubahnya menjadi sebuah diktium-diktum ilmiah
. Pada bab pertama, mengulas metode yang ditempuh Plato dalam membangun
kota utama. Kedua, mengurai
syarat serta sifat yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin kota utama. Ketiga,
menganalisis jenis-jenis sebuah sistem pemerintahan dan mengkomparasikannya
dengan karakteristik pemimpin.
Proyek kota utama (al-Madinah al-Fadhilah) yang di usung oleh
al-Farabi dan Plato berbeda dengan Ibnu Rusyd,
beliau lebih menjelaskan ke arah praksis yang bertendensikan tiga hal;
daya berpikir, daya marah dan daya syahwat. Ketiga konsep tersebut beliau
analogikan kedalam aktornya. Kota Utama tersebut, pemimpin, militer dan rakyat.
Seperti bahwa, seorang pemimpin haruslah menggunakan daya berpikirnya dalam
mengambil sebuah kebijakan, dan militer atau penjaga negara negara haruslah
mengontrol daya maranya, sera masyarakat dapalah memiliki kemawas dirian yang
keawasdirian ini haruslah dimiliki oleh pemimpin serta para penjaga negara
tersebut. kota yang di jonsepsikan beliau bukanlah sebuah bangunan mewah yang
di poles dengan nilai artistik serta iconic seperti lazimnya sebuah
kota, namun kota utama dalkam konsepsi Ibnu Rusyd ialah penduduk yang saling
menjaga, menularkan kebaikan, serta terpeliharanya sebuah sistem yang yang di
dorong oleh supermasi hukum yang tidak pandang bulu. Dalam stratifi gender,
beliau memberikan 4 tendensi dalam menganalisa pemimpin perempuan. Seperti fleskibilitas
perempuan, bependidikan dan berpengalaman, tebebas dari beban domestiik yang
biasanya membelenggu dan terdapat asumsi dari ketiganya dalam tyurisprudensi
islam dalam menentukan kepemimpinan yang di gawangi seorang perempuan.
Sebuah diktum yang mengantarkan kita pada luasnya cakrawala keilmuan islam
pada masa itu, terutama pada era penerjemahan teks-teks Yunani ke dalam bahasa
Arab, namun di sini penulis sekedar ingin menyampaikan bahwa teks yang berhasil
di selamatkan hingga kini terlalu sedikit, hal itu de sebabkan oleh ‘sensor’
maupun bibliosida atau pembrangusan buku pada masa itu.
Jum’at, 22 Juni 2018
Ahonk Bae
Posting Komentar