Lebaran menjadi sesuatu yang menyebalkan ahir-ahir ini, cuja sebatas jabat
tangan namun terus di ulang, menindas serta menyakiti menjadi sebuah siklus
yang interval dengan berjalannya waktu belum lagi dengan budaya angkuh yang
kian merebak di tengah-tengah kita, sebagai contoh orang lebih menghargai
pemohonan maaf melalui chat pribadi dibandingkan dengan orang yang ada di
hadapannya. Lalu inikah yang di sebut dengan “madep rai mungkur ati?,” Semoga
saya salah.
Momen idul fitri atau ilebaran mungkin bagi kebanyakan
orang adalah sesuatu yang berharga, bisa berkumpul dengan sanak famili dan juga
handa taulan. Dengan saling memberi maaf atas suatu kesalahan yang di sengaja
taupun tidak terjadi di hari itu, dengan saling berjabat tangan sebagai bentuk
simbolis-apologis, dengan saling bertatap wajah dan dengan saling mengunjungi dari
satu rumah ke rumah lainnya, namun itu sebelum teknologi menerjang, dengan
pledoinya “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat,” maka yang tejadi
adalah menggampangkan sesuatu yang sifatnya urgen dan sakral, dengan teknologi
tentunya.
Betul bahwa di momentum idul fitri ini adalah berkumpul serta menyatunya
semua semua latarbelakang dan keeogisan untuk saling memaafkan, betapa mulia
serta ajaibnya hari itu, namun seiring budaya hedonis yang kian menyeruak masuk
dalam sendi kehidupan ini, step by step menggerogoti apa-apa yang memang
semestinya tidak terjadi, degradasi budaya misalnya, seperti budaya saling
memaafkan dengan berjabat tangan langsung yang hilang sebab dimudahkan dengan copas
serta mengirim ulang kepada banyak orang tanpa harus berusaha untuk
mengunjunginya, atau bahkan telah menjadi ikon simbolik seperti halnya urgensi
pemakaian baju baru – bukan hati yang baru, kini telah mewarnai lebaran pada
era 2000an atau kekinian, apa makna fundamental idul fitri ? entahlah, yang
pasti indikator idul fitri tidaklah lebih dari bertebarannya kendaraan dengal
plat nomor berawalan B, itu saja. Selebihnya ialah meningkatnya omset penjualan
minuman keras dan banyaknya orang yang melupakan bahasa ibunya. Lalu di mana
makna esensial idul fitri? Mungkin hanya tersisa pada pengeras suara yang terus
mengumandangkan tahlil, takbir dan tahmid pada malam hari hingga keesokan harinya.
Sebab yang terjadi ialah permohonan maaf yang sesaat dan itulah idul fitri,
setulus hati adalah perkara absatrak yang hanya pelakunya yang merasakan. Maka lebih
menarik adalah menyaksikan budaya idul fitri yang kian ke sini semakin terasa
hambar, tak ada yang istimewa, baju baru atau pun perjumpaan telah di wakilkan
oleh video call yang telah bisa di akses oleh semua orang, jadi apalagi
yang hendak di sajikan oleh idul fitri selanjutnya? Mesin waktu yang akan
menjawab kesemuanya. Teknologi, ekonomi dan budaya yang telah mengkonstruksi
pola relasi manusia sedemikian rupa. Idul fitri adalah pergi besama keluarga,
mengunjungi tempat pariwisata, begitulah lebaran kita hari ini, peduli apa
dengan macet dan peduli apa dengan esensi melepas kepenatan. Memang beginilah
lebaran, berkumpulnya segala sesuatu yang menyebalkan.
pict bya: Stigma Distro
Posting Komentar