Meledak lagi, meledek lagi, mencaci lagi, mengutuk lagi dan tanpa kesudahan. Peristiwa peledakan 3 bom di 3 gereja di Surabaya, Minggu (13/5) bisa asumsikan sebagai titik balik dari rentetan peristiwa yang saling terkait dan saling silang satu dengan lainnya.
Lagi-lagi agama menjadi kambing hitam dari rentetan peritiwa belakangan ini. Korban berjatuhan dari kejahatan terstruktur adalah biasa terlebih, ini momentum pilkada serentak. Tafsir demi ta’wil tersaji dalam diskusi gaduh, membicarakan agama, lagi.
Masyarakat di sekitaran gereja tentu menjadi takut, suasana mencekam, meski barang berjalan kaki melewati tempat kejadian, radius puluhan meter menjadi indikator bahwa tkp merupakan zona bahaya, terutama masyarakat. Tak kalah riuhnya perbincangan ‘mengecam’ hingga ‘kutukan’ terus di lontarkan oleh mereka yang ‘keyakinannya’ telah di cederai. Apa ini bisa membuat semuanya kembali seperti sediakala? Tentu tidak, malah mereka semakin buas dengan selisih beberapa jam bom kembali menghentak rusunawa serta kantor kepolisian.
Tagar dan kutukan hanya ‘empati kaum sosialita urban’ yang sama mengalami trauma dan phobia atas peristiwa itu, tanpa berbuat apa-apa. Hanya umpatan serta kecaman yang dilancarkan secara bertubi-tubi, dari mulai parpol hingga ormas. Badan Intelegen Negara tak henti-hentinya menguntit aktivitas ‘para teroris’ namun baru action pasca berantakan, what something wrong-apa yang salah? Bukankah anggaran negara yang digelontorkan bagi terorisme itu besar, lantas? Sudah, ini hanya teka-teki konvensional di era gerombolan parpol.
Namun yang perlu di garis bawahi ialah rentetan peristiwa semenjak pencabutan kasus HRS, pembubaran HTI melalui PTUN, hingga terahir chaos di Mako Brimob. Jika tanpa kaitan adalah tidak mungkin bendera hitam ala ISIS bisa tepampang di balik jeruji Mako Brimob. Lalu pada waktu negosisasi pasca kerusuhan pihak brimob sampai saat ini belum memberikan informasi kepada khalayak ramai apa isi negosiasi tersebut . Apa ini waktunya bergerak bagi mereka yang tak puas dengan sistem yang ‘taghut’ ini, hingga titik-titik api bermunculan?
Sebelumnya, kita terbiasa di giring oleh isu receh yang sengaja di siapkan dalam momentum politik seperti saat ini. Sejenak lupakan jumlah korban, saat kekuasaan harus di menangkan oleh segelintir orang dengan sejuta kepentingan, maka lupakan keadilan. Kita bisa saksikan bersama siapa eksekutor dari pelaku tersebut, kaum menengah ke bawah, siapa tuannya? Apa tujuannya dapat di pastikan bermuara pada kekuasaan. Sama menindas, hanya dengan motif serta topeng yang berbeda – instrumen agama kali ini. Jihad dan surga lagi ganjaran bagi eksekutornya, tuannya? Jika goal akan mendapat kekuasaan lebih dari surga yang dikatakannya, tetapi kenapa semuanya seolah terpancing untuk saling mengecam dan mengkutuk?
Jika di telaah kembali, kita semua terpancing oleh kegaduhan hingga meluapkan apa yang tidak semestinya di lontarkan. Sumpah serapah tak bertuan hanya membuat dalang wayang ‘jihad’ sukses tertawa penuh rasa puas.
Kita tak sadar bahwa di semua lini telah terdistorsi oleh sistem kuat yang mereka bangun di atas status quo kebudayaan kita. Melalui pendidikan, mereka menjadi tenaga pendidik meski dengan upah rendah mereka mampu istiqomah, sedangkan kita sebaliknya. Pada sektor ekonomi mereka memberikan pinjaman tanpa agunan bagi usaha di sektor mikronya, asalkan siap di tempatkan di pelosok desa tak lupa dilengkapi dengan misi dakwahnya. Kita sebaliknya masih menggantungkan diri pada etos kapitalisme tanpa tau siapa, dan apa mental kita sebenarnya, kita labil dari sample keduanya.
Sentilah Lucy Parsons “Mari kita rusak komplek dan jalanan tempat orang-orang kaya tinggal” kiranya mewakili dalam peta konflik ini jika perspektifnya adalah mendistorsikan kapitalisme. Namun kembali bahwa isu yang dimainkan serta sasarannya adalah warga non-muslim maka persuakan tempat ibadah dan kantor dari kepanjangan negara menjadi titik klimaks bagi serangkaian bom tersebut.
Tak patut apabila cacian serta umpatan kata mengecam dan mengutuk di beberkan pada media massa. Agama lahir dari rahim yang santun serta tak mengajarkan kita untuk saling kutuk, meski dalam kondisi yang bisa dikatakan terkutuk sekalipun. Upaya filterasi di semua lini adalah menjadi PR kita bersama, bukan hanya menyalahkan satu dan lainnya, jika meledak kembali semoga tak terulang kembali kutukan dan kecaman itu.
Posting Komentar