Menyimak berbagai realita
belakangam begitu mengasikan, terlebih ketika menyimak sebuah isu yang erat kaitannya dengan
agama – dikait-kaitkan. Hal ini
tentu saja tidak terlepas dari bebeberapa aspek yang melatarbelakanginya,
kepentingan yang merupakan kata kunci (key word) dari merebaknya isu
yang begitu ‘laku’ di pasar serta di konsumsi mentah-mentah oleh masyarakat
luas. Dan di hari belakang, isu pelestarian lingkungan hingga isu perampasan
tanah di Palestina pun tidak luput dari merebaknya kepentingan tersebut,
meskipun dalam dalam aksi yang di ikuti oleh massa yang jumlahnya tidak sedikit
itu telah ‘mengetahui’ melalui kanal-kanal media dari apa yang digenggamannya, dan
bahwa perampasan tanah di Indonesia sendiri tak kalah hebatnya dengan apa yang
terjadi di kota tempat lahirnya agama samawi tersebut.
Namun entah sebab kesamaan iman atau apapun motifnya, isu perampasan lahan
di sana lebih laku dari pada di negeri sendiri, secara sarkastik Pramoedya
menuliskan dalam Bumi Manusia-nya “adil sejak dalam pikiran,” rupanya
tidak laku bagi para pembela tanah yang di janjikan itu, yang bagi umat
Kristiani terdapat Gereja Makam Kudus, terdapat Kubah as-Sakhrah atau Dome
of the Rock bagi umat Islam, dan kotel atau Dinding Ratapan bagi umat
Yahudi. Namun dari ketiganya, hari ini Islam terlihat begitu militan dalam
mengecam kebijakan presiden Amerika Donal Trump yang mengakui bahwa Yerusalem
sebagai ibu kota Israel. Kebijakan ini tentu mengundang berbagai kecaman dunia,
khususnya penganut ketiga agama tersebut. kembali, bahwa isu perampasan tanah
yang dilakukan oleh pemerintah adalah sama riuhnya dengan isu yang ‘digoreng’
atasnama agama, namun isu perampasan tanah itu di kemas dengan bahasa apik
serta lolos sebab elit politik yang bermain di dalamnya. Lebih menarik apabila
dalam ketiga agama tersebut mendogmakan bahwa tanah nerupakan sesuatu yang
vital bagi manusia, bahkan Max Weber menungkapkan dalam Economy &
Society-nya, “The Nature of Prophetics Relevation; The World as a Meaningful
Totality,” pelestarian serta
penjagaan lingkungan yang begitu longgar dapat dengan mudah di ambil alih
kekuasaan atas tanah tersebut oleh pihak-pihak lain, seperti apa yang terjadi
di Kulon Progo, Banyuwangi, atau bahjkan sampai tempat sakral seperti Palestina
juga tak lepas dari penjagaan yang kendor, baik dalam regulasi kesehariannya
atau dalam birokrasinya, jika Plaestina dengan mudanya di aksuisi tanahnya oleh
Amerika, maka tak ayal di Indonesia pun sama dengan keserakakan kapitalisme
yang subur melebihi tanaman di atas tanahnya.
Dalam ketiga agama tersebut, perintah untuk menjaga serta melestarikan alam
telah di serukan hingga semua umatnya wajib melaksanakannya. Dalam Islam di sebutkan surat al-fatihan, pada
kedua ayat pertama telah di sebutkan bahwa Tuhan semesta alam merupakan
sebuah dogma yang fundamental, menciptakaan keselarasan serta timbal balik (take
and give) terhadap alam merupakan sebuah pesan yang tersurat secara
gamblang dalam teks skriptural pengikut Muhammad. Dalam Kristen, di sebutkan
dalam Yohanes 3: 16 bahwa “Demi Tuhan, maka cintailah bumi,” kemudian seorang
saintis Katolik John F. Haught menyatakan; Dia berfirman bahwa kosmos juga
adalah sebuah “sekolah jiwa” atau pencerahan yang sesungguhnya menunjukkan
eksistensi Tuhan. Dan dalam ajaran Yahudi terdapat prinsip Bal Tashchit (tidak
menghancurkan), prinsip ini di gunakan dalam melestarikan ekosistem yang ada di
bumi, dalam Dravin (Ulangan) 20: 19 di sebutkan “ Ketika, dalam peperanganmu
dalam melawan sebuah kota, kamu hanya perlu mengepungny dalam waktu lama untuk
menaklukannya. Kamu idak harus menghancurkan pohon-pohon, mengayunkan kapak
untuk merobohkan mereka (pohon).” Dari ketiga kredo yang di tutur oleh
ketiga agama tersebut, tersurat dan tersirat pesan yang mengharuskan
pengikutnya melestarikan alam, berlaku adil terhadap alam. Namun apabila di
telisik lebih jauh bahwa agama di posisikan dalam urutan ke sekian setelah
motif ekonomi serta motif kejiwaan yang kemudian menggunakan instrumen agama
sebagai taktis dalam mendapatkan ambisinya. Dan bahwa palestina pun tidak jauh
berbeda dengan apa yang terjadi di kulonprogo, Indramayu atau tempat tempat
lain terkena imbas dari pemerataan pembangunan.
Jika kesamaan iman merupakan motof utama dari aksi massa yang belakangan
tumpah di Monas, lalu kemana pada saat saudara terdekat, seiman, di pelosok
Nusantara terkena imbas perampasan tanah
seperti halnya Palestina, mungkin tidak terlalu keberatan apabila hal ini di
katakan tebang pilih dalam menjalankan kredo dari agama tersebut. meskipun KH.
Hayim Asy’ari mengatakan “membela tanah air sebagian dari iman,” namun
hal itu di anggapnya sebagai jargon pada masa kolonial semata. Ketidakadilan
dalam pikiran pun kadang masih manghinggapi umat beragama yang pada masa ini
telah di sulut oleh kepentingan politik yang pada ujungnya tidak jauh berbeda.
pict by: google
Ahonk Bae
Posting Komentar