[ads-post]


Sebelum lebih dalam terjebak dalam tulisan, ada hal menarik yang mesti di ketahui, Indramayu Menggugat bersama kawan-kawan Indramayu Timur yang juga tergabung dalam aliansi DOM (Dermayu Ora Meneng), melakukan shock therapy pada pemimpin provinsi. 8 Maret 2018. Wagub Jabar, Deddy Mizwar (DM) berkunjung ke Cirebon yang sebelumnya berkunjung ke Pasar Karangampel pada tanggal 7 Maret untuk melaksanakan silahturahim (Red: Safari Politik), dan kemudian kami berhasil menemui dan melontarkan satu hal tentang kasus PLTU II. Pertanyaan yang terlontar tentang perijinan, tentang ruang hidup dan tentang hak warga, yang notabene PLTU II Mekarsari adalah sebuah proyek besar Negara yang tidak sedikit mendapat kritik dan penolakan. Sebab tidak sedikit prosesnya dan implementasi proyek yang digarap terkesan tidak melibatkan warga dan tidak berpihak  terhadap kaum buruh.

Saat pertanyaan dan pernyataan terlontar, bahkan pertanyaannya bersifat umum namun mendapat jawaban yang spontan dan tidak menyenangkan, terlebih saat disampaikan tentang gugatan yang dimenangkan warga di PTUN Bandung.Terlontar jawaban Deddy Mizwar “Gugat saja terus, kalau menang gugat terus, nanti juga kalah. Mau ngomong apalagi!”. Setelah itu DM menganalogikan bahwa masyarakat harus mendukung pembangunan dan usaha pemerintah dengan proyek-proyeknya.
Sebagai pengantar bahwa desa telah lama menjadi boneka mainan dan lumbung suara belaka yang diikat dalam lingkaran Perspektif pembangunan, yang di bungkus balutan anggaran desa (Red: Dana Desa). Hal ini menjadikan desa tidak lagi merdesa.

      1. Desa dalam Undang-Undang

Mengkaji lebih dalam, bahwa seharusnya peran Desa adalah menciptakan dan melanjutkan kemandirian tanpa upaya pelumpuhan pembangunan yang berdasarkan musyawarah mufakat di lapisan masyarakat, dan merancang pembangunan berkelanjutan yang tidak mengesampingkan kebutuhan masyarakat dan atau kekayaan intelektual yang ada di lingkungan desa. Sebagaimana di amanahkan Undang-Undang 14 tahun 2016 Tentang Desa, dalam tugas dan kewenangan desa adalah untuk melakukan pembangunan desa berdasarkan atas penugasan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota.

Ini yang sering kali didapati kasus hilangnya sinergitas antara desa dan warganya, dimana tekanan fungsi, peran serta wewenang desa seakan di setting menjadi panggung perjanjian yang bersifat otokratis, atau perjanjian politik yang tidak melibatkan warga. Tidak jarang, gesekan terjadi atas dasar nota kesepahaman tidak tercipta.Warga sebagai korban kekejaman otonomi daerah dan gaya pemerintahan semi-diktator atau seringdikenal diktator-lunak. Hal ini juga terjadi di Mekarsari dengan pembangunan PLTU II Mekarsari.

    










   

      2. Desa Migrasi

Pemerintah menjadikan desa-desa sebagai pusat pengembangan investasi yang terus terasa menyerang setiap sendi-sendi daerah yang notabene tidak terlalu memerlukan pembukaan keran investasi. Migrasi yang terjadi di kota-kota besar harapannya bisa dibendung dengan menciptakan desa migrasi, yang mana fungsinya desa dikembangkan dengan system industry dan sinergitas dengan kuantitasl ulusan sekolah yang diperuntukan sebagai pekerja industri. Sistem sekolah yang menjelma dan dililit dilematis terhadap tindak lanjut dan pendistribusian hasil pendidikan, terlebih untuk pendidikan setingkat keterampilan dan vokasi.

Alibi yang sering muncul adalah, menekan angka pengangguran di Indonesia. Alih-alih menjadi ladang usaha bagi setiap warga yang daerahnya di jadikan pusat industri, malah menjadi boom waktu. Bayangkan jika masa produktif aanak di perusahan dengan kontrak kerja 1 tahun, jika satu anak dalam keluarga bekerja di usia 20 tahun lulusan SMA/SMK/MA dan dipekerjakan sebagai operator dengan masa kerja satu tahun maka 21 tahun anak akan berhenti dari satu industri dan mendapatkan pengalaman kerja. Dan melamar lagi keperusahaan lainnya dengan sistem yang sama serta posisi yang sama maka akan terhenti karirinya di usia 25 tahun bagi lulusan SMA/SMK/MA yang tidak berhasil menjadi karyawan tetap maka akan tersingkir dengan tenaga fresh dari SMK/SMA/MA. Juga sebaliknya jika lulusan setingkat Sarjana dengan pola yang sama maka akan kesulitan mencari pekerjaan di usia 30 tahun keatas dengan total kontrak kerja, dan bayangkan jika kontrak kerja sampai per-triwulan apa yang terjadi dengan jutaan warga yang telah lulus SMA/SMK/MA dan atau setingkat Sarjana minimal? Ini hanya kebohongan dalam sistem produksi, terlebih betapa kejamnya jika sekolah-sekolah melaksanakan sistem magang pada industri yang menjadi sebuah keberuntungan bagi industri untuk menekan pengeluaran untuk membayar gaji karyawannya.

Pemerintah telah berhasil menekan angka migrasi, dan menjadikan desa sebagai ladang pekerja usia produktif dengan iming-iming membangun industri yang terintegrasi dengan sistem pendidikan daerah yang asalannya membuka kesempatan kerja. Bagaimana khsusunya di Mekarsari?Berapa banyak yang akan dipekerjakan di sana? Diberdayakan?Atau bahkan diserap masuk kedalam sistem PLTU II? Bagaimana perannya? Desa migrasi dengan sistem industri massal juga melahirkan tindak kriminal dan premanisme yang elegan, mengajukan proposal dan menyedot CSR, yang bagi orang awan tidak mendapatkan akses dengan mudah menjajaki bagian ini.

      3.  Desa yang Merdesa

Merdesa?Atau selintiran makna dari kata Merdeka adalah sesuatu yang mustahil jika hanya ditempuh dalam dunia perlawanan (Red: Demo, aksi-massa, etc.) satu hal yang wajib ditafakuri adalah, merdesa terhadap apa? Merdesa yang bagaimana? Hal ini wajib di jabarkan sebelum mendeklarasikan terhadap kata Merdesa. Satu hal menarik, sebagai pemantik. Salah satu gambar di kawasan Bekasi menuliskan pesan bahwa “Bekasi Sold OUT, Tanah ini tidak di jual” adalah bentuk merdesa bagi warga bekasi yang telat, sebab lebih dulu di jajah pembangunan infrastruktur dan industri.

Warga desa harus berani terlibat dalam dunia politik, desa sebagai lumbung suara wajib bangkit dalam sistem pemerintahan, pengetahuan hukum, pemaparan dan tata kelola ruang, pembangunan, agama dan lingkungan serta hal lainnya yang termasuk dalam kekayaan daerah.
Hal ini dituliskan tidak begitu baik dan rapi, ini sebagai refleksi pergerakan dan perlawanan. Menyerahkan perlawanan kepada mahasiswa adalah bagaikan tombak yang bermata, menyerahkan perlawanan kepada lembaga hukum dan lingkungan tidak ubahnya menyerahkan tubuh telanjang bulat kepada kepastian. Perlawanan adalah pengetahuan terhadap segala sesuatu permasalahan, mahasiswa dan lembaga-lembaga sebagai fasilitator pengembangan pengetahuan dan kajian bisa dijadikan ajang pengembangan warga desa untuk kemudian lantang berteriak MERDESA!

Oleh; Ade Rifai

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.