[ads-post]


Adalah bagaimana pada setiap aksi massa, sasaran aksi tak kunjung terlihat batang hidungnya, baik demonstrasi yang di dompleng kepentingan, personal atau komunal, terlebih yang ditunggangi oleh kepentingan politik. Untuk menyamankan posisi serta menyokong salah seorang untuk naik daun. Sudah barang tentu tidak sekonyong-konyong sasaran aksi tak muncul, dengan dalih yang beralih-alih. Namun dalam aksi massa yang di lakukan oleh saudara dari Mekarsari-Indramayu pada kali kedua dapat menyita perhatian publik, pasalnya ketua DPRD keluar dari bangunan mewah besutan kolonial dan menepati janjinya pada tempo aksi pertama tertanggal 21 Februari 2018, tepatnya hari rabu lalu. Dengan soal yang sama ; menolak PLTU2 Mekarsari-Indramayu yang cacat secara administratif.

Sebelumnya (pada aksi I) beliau dikabarkan sedang melakukan kunjungan kerja di Semarang dan dalam perjalanan pulang ke Indramayu, melalui ajudannya, dengan jawaban seperti itu tidak menciutkan mentak massa aksi, semakin kokoh, kemudian hingga sore hari, selang orasi yang di layangkan oleh teman-teman dari berbagai komunitas, melalui telepon genggam milik salah satu intel yang hadir, beliau di kabarkan sedang melanjutkan perjalannya menuju Salatiga. Betapa rakyat yang menunggu pemohon suaranya dulu kini mencampakannya begitu saja. Sebelumnya, massa aksi di tenangkan atau di kondusifkan dengan info selepas audiensi di dalam gedung DPRD tersebut, dengan kalam-kalam orasi tajam menembus gerbang rapat para penjaga, polisi dengan beberapa lapis divisi. Hanya untuk menjaga. Hingga kemudian massa aksi sepakat untuk kembali lagi ke 'rumahnya' pada hari senin. Demi menemui ketua DPRD.

Senin, 26 Februari 2018 massa aksi yang di dominasi oleh buruh tani Mekarsari kembali memenuhi bibir gerbang kantor DPRD, yang di jaga lengkap oleh polisi, seperti kemarin. Akan tetapi setelah frontman dari massa aksi di minta memasuki rumahnya, massa mulai terkendali, namun orasi-orasi terus berjalan, sulit memang memilah antara orasi, aspirasi, serta kritikan. Orasi lantang buruh tani di hadapan alat negara (baca; polisi) tidak membuat para polisi itu berubah air muka, kalem seperti biasanya. Meskipun beberapa kalimat tendensius di lancarkan kepada polisi, seperti saat blokade jalan mulai di tembus oleh pengguna jalan dengan seenaknya melintas, mengabaikan rambu lalu-lintas dan pada saat yang sama polisi yang berada di jalan membiarkan hal itu terjadi, maka massa aksi langsung melontarkan kalimat sarkasnya. Meskipun massa aksi yang terdiri dari buruh tani tersebut tidak mengenyam pendidikan tinggi namun semangat juang mereka melebihi para aktivis-sosmed, atau aktivis jejadian dengan kata lainnya. Kata dan kalimat yang keluar pada saat berorasi seperti tersusun, dan sudah barang tentu dengan dialek atau logat daerahnya. Mengasikkan.

Hingga setelah audiensi selesai dan para pionir tiap regu massa aksi keluar menemui warga, orasi di hentikan demi mendengarkan hasil audiensi, tanpa mengadirkan sasaran aksi (ketua DPRD). Namun setelah membacakan hasil keputusan warga semakin geram, umpatan-umpatam kebencian keluar sebab ketidakbecusan kinerja DPRD, mengenai hukum yang timpang pun tak luput dari labrakkan massa, menyangkut kesehatan warga terdampak asap PLTU tidak 'telaten' di urus dan lain sebagainya, warga terus meluapkan kalimat bernada kritik terhadap parlemen ternyata hanya sebagai angin lalu di hadapan istana rakyat, begitu kiranya. Satu dari komisi IV muncul, menemui warga, menyokong dengan kata 'mendukung perjuangan' yang entah nomena konkritnya seperti apa. Beliau mengakui dari fraksi P** yang juga turut prihatin atas apa yang terjadi pada warga Mekarsari. Tak ketinggalan janji segera meninjau lapangan di lontarkan, yang secara otomatis meletupkan semangat massa aksi, seperti mendapat simpatisan baru dalam kampanye partai. Namun lagi-lagi warga belum puas apabila ketua DPRD tidak keluar dan menemui massa aksi, hingga selang beberapa waktu bapak ketua DPRD sudi meluangkan waktu emasnya untuk menemui massa aksi, hal ini tentu bisa di katakan berhasil pada level awal.

Sambutan warga bergelora seketika, dan polisi rapat seketika pula. Khawatir akan terjadi sesuatu, bisa jadi. Setelah mic di genggamnya, beliau memaparkan ulang hasil audiensi yang telah di laukannya dengan perwakilan masyarakat Mekarsari yang di dampingi beberapa teman aktivis yang hadir berolidaritas. Dan pada saat salah seorang warga menyodorkan kertas pernyataan di atas materai, bapak ketua DPRD enggan menandatangainya, dengan alasan terdapat satu poin yang di nyatakan bertentangan dengan hukum yang berkaitan dengan aktifitas alat berat di lapangan sesegera mungkin di hentikan, dan itu di anggap bertentangan dengan hukum yang di putuskan oleh pengadilan, meski demikian massa aksi terus mendesaknya, dan salah satu dari kawan aktivis menyatakan interupsi pada saat itu, namun sebelum argumen khatam di ucapkan bapak ketua DPRD memotongnya dan menyalahkan intruptor tersebut, dengan dalih pemelintiran dan provokasi kepada warga. Jelas dari situ bisa terbaca bahwa ketua DPRD tidak memberikan ruang dialog terbuka serta membunuh karakter seseorang di depan publik. Seperti apapun argumen yang akan di lontarkan, idealnya bapak ketua memberikan ruang bicara kepada siapapun, hal ini mengingat fungsi dan wewenang DPR, bukan malah otoriter.

Wal hasil, massa aksi merasa yakin bahwa hak merek di rampas melalui aneksasi poyek berskala nasional itu, dan mereka para buruh tidak di anggap sebagai bagian dari masyarakat, kecuali pemilik tanah. Umpatan demi umpatan yang bersinggungan dengan kata hak hidup serta keadilan di lontarkan secara lantang, namun alat negara tetaplah alat negara, mereka polos.

Senin, 26 Feb 2018
Ahonk bae

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.