Dalam pengamatan telanjang, sejak Machiavelli datang dan intervensi dalam merancang perdaban. Dan jika melihat iklim yang tiada menentu seperti
sekarang ini, maka alam pikiran ini akan terus membayangkan bagaimana dengan
petani dengan garapannya, bagaimana dengan perkebunan dengan seonggok tanah
keringnya? Sudah barang tentu akan berdampak pada hasil panennya nanti, dengan
pasokan air yang kurang serta panas yang menyengat – sebagai dampak global
warming, jika para ahli mengatakan. Sementara di Indonesia, bertepatan
dengan tanggal 24 September sebagai hari Tani, yang di sahkan semenjak 1960
silam. Kemudian pada tanggal itu juga di sahkan Undang-Undang No. 5 tahun 1960
tentang peraturan pokok dasar agraria.
gambar: tirto.id |
Dan semenjak 24 September 1960 tersebut, rakyat petani mempunyai kekuatan
hukum dalam memperjuangkan hak-haknya atas tanah, melakukan pembagian hasil
yang adil dan mengelola tanahnya demi kemakmuran. Sebagai sebuah ritus yang
menjembatani para petani untuk mencapai kemakmuran, serta keadilan dalam
memperoleh hak-haknya tersebut. Meskipun dalam implementasi kekiniannya telah
berubah drastis, petani telah kehilangan alat produksi utamanya – tanah, sebagai
ambasadornya dalam memperoleh atau menacpai kemakmuran tersebut, yang lambat
laun telah di ‘caplok’ pemerintah demi pemangunan yang berkiblat pada teori N.
Machiavelli dalam merancang peradaban, yang juga mengabaikan pola relasi sosial
kemasyarakatan. Sehingga dalam karakteristik atas sengketa tanah telah menemui
titik didih dalam regulasinya. Selain kelangkaan sumber tanah sebagai alat
produksi fundamental atas petani, tetapi juga menyangkut hal yang krusial,
yaitu suatu ekspansi makro yang di fasilitasi oleh pemerintah, juga di dukung
oleh modal besar luar negri (baca; kapital). Karakteristik sengketa tersebut,
terjadi dalam masa Orde Baru yang mendiskreditkan hipotesa pokok atas teori
Adam Smith dan juga David Ricardo yang mengabaikan bagaimana modal bekerja
namun merusak tatanan sosial masyarakat yang telah ada. Teori yang mengabaikan
kontradiksi sistem kapitalisme yang konstan, dan jelas abai terhadap
kesinambungan yang seharusnya terpelihara, antara pemodal dengan tenaga kerja,
antara modal kecil dan modal besar. Dalam pemikiran madzhab klasik,
permasalahan tanah mulai di bicarakan dalam konsep land rent, yang
dikorelasikan dengan kepadatan jumlah penduduk, dan tokoh utama dalam yang
memberikan pandangan semacam itu ialah David Ricardo, yang dalam bukunya The
Principles of Political Economy and Taxation (1921), dengan konlusenya
yaitu kebutuhan tanah atas banyaknya jumlah penduduk. Dalam rumusan Kautski,
salah satu tokoh yang terkenal dengan buku The Agrarian Question-nya menyuarakan
“apakah modal, dengan cara modal tersebut, mengambil alih pertanian,
mengubahnya secara mendasar, menghancurkan bentuk lain dari produksi dan
kemiskinannya dan mendirikan bentuk baru di atasnya?”.
Seperti apa yang terjadi di daerah Kendeng-Jawa Tengah, Sumur Adem-Jawa
Barat atau juga Kulon Progo-Jogjakarta merupakan sebuah representasi atas apa
yang terjadi dengan persoalan-persoalan agraria tersebut. Siapa yang membela
mereka dalam cengkraman kapitalisme tersebut? dan telah menjadi sesuatu yang mafhum
bagi kita semua, apabila persoalan agraria pada hari ini adalah persoalan yang
di abaikan oleh pemerintah, yang justeru seharusnya menjadi platfom dalam
pembahasan kinerja pembangunan yang bersinergi dengan tatanan masyarakat serta
kelestarian alam di dalamnya. Mengapa persolahan agraria hari ini begitu
menemui titik urgensinya?, di mulai dari pendidikan yang miskin akan
nilai-nilai agraria, yang seharusnya di tanamkan kepada peserta didik, sejak
dini. Kemudian pendidikan agraria yang hanya di dapatkan pada perguruan tinggi
(meski tidak secara keseluruhan perguruan tinggi) menambah daftar minimnya
pengetahuan akan pentingnya agraria itu sendiri. Setelah di miskinkan dengan
minimnya epistemologi mengenai agraria, pendidikan lapangan yang erat kaitannya
dengan agraria pun luput dalam kurikulum pendidikan kita.
gambar: CNN Indonesia |
Pentingnya mempelajari atau
mengetahui persoalan agraria adalah
suatu upaya kecil dalam melihat persoalan-persoalan yang selama ini terjadi,
yang dengannya konflik-konflik agraria yang erat kaitannya dengan persoalan
ekonomi, dalam hal ini adalah investasi, namun tidak semua investasi itu
sesuatu yang buruk, akantetapi investasi yang selama ini terjadi adalah
investasi yang tidak ramah lingkungan. Sejak di bukanya lahan atau meminjam
bahasa lain babad alas, merupakan sebuah upaya pemiskinan terhadap masyarakat
yang ada disekitarnya, dan simpulan atau asumsi terpendek misalnya, pembangunan
adalah sebuah upaya menuju modernitas namun masyarakatnya belum bisa berjalan
beriringan dengan modernitas itu sendiri, dan nyata hasilnya apabila
pembangunan yang selama ini kerap kali terjadi hanya menyisakan puing
reruntuhan, di karenakan masyarakat belum siap secara SDM-nya. Kemudian,
eksploitasi alam yang di lakukan secara masif, yang mengakibatkan sumber daya
alam (SDA) menjadi semakin berkurang, seperti pasokan air, pencemaran udara,
serta limbah industri yang mengkontaminasi alam itu sendiri. Dan solusi-solusi
yang diberikan pemerintah selama ini di nilai kurang akurat dalam menangani hal
tersebut, upaya reboisasi, penanaman mangrove untuk pencegahan abrasi masih kurang
memadai dalam menanggulangi persoalan-persoalan lingkungan, atau seperti pada
masa lalu atau pada era orde baru, terdapat program Revolusi Hijau sebagai
upaya atas kedaulatan pangan dan mencegah terjadinya impor beras, namum belum
mengangkat nasib petani.
Dengan melihat petani yang saat
ini teru di rundung pilu, semakin menjadi ancaman atas kedaulatan pangan yang saat ini memang masih di butuhkan. Fenomena-fenomena
seperti persoalan perampasan tanah yang terjadi di sana-sini sedikitnya
memberikan gambaran bagi kita atas abstain atau kealpaan massa, terutama anak
muda. Karena pada saat ini media gencar mewartakan atas krisis petani muda,
sawah yang seharusnya di isi oleh kaum muda, malah sebaliknya, kaum muda enggan
untuk ‘kotor’, dan memilih untuk bersih dari tanah sawah, dan yang lebih
memilukan lagi ialah sarjana pertanian yang harus menjadi distributor pupuk
serta obat pertanian tersebut, bahkan ada yang memilih mengais rejeki di kantor.
Apa yang tidak absurd atas semua ketimpangan yang selama ini terjadi,
ketimpangan yang menimpa alam agrari yang semakin mengerikan. Ahirnya apa yang
di katakan oleh Pramoedya dalam Arus Balik-nya benar; “Orang yang tidak pernah
mencangkul tanah, justru paling rakus menjarah tanah dan merampas hak orang
lain”.
Minggu, 24 Sept 2017
Ahonk bae
Posting Komentar