[ads-post]

Menelisik sejauhmana sebuah permasalahan yang terjadi saat ini, seperti permasalahan yang mungkin sepele namun menjadi besar, hingga beberapa kelompok terseret bahkan terpecah, menciptakan ruang dikotomi baru. Seperti permasalahan full day school (FDS) yang baru-baru ini telah menuai pro-dan kontra, mulai dari kalangan elit politik hingga masyarakat awam pun ikut andil dalam persoalan tersebut. sebab bersinggungan dengan pendidikan, sebab merusak tatanan moral jika di pakasakan, dan juga sebab-sebab lain yang melatarbelakanginya.

FDS seperti layaknya sebuah kurikulum yang di terapkan kepada para peserta didik, jika dianalogikan, maka seperti menjadi teknik tune up dan peserta didik adalah objek di dalamnya, dan menarik ketika FDS di implementasikan kepada sekolah-sekolah yang di miliki oleh sebuah yayasan, sehingga kontradiksi berlebih yang terjadi, meskipun disinyalir bahwa FDS tersebut merupakan suatu opsional, akantetapi dalam kurun waktu kini menjadi suatu yang nadir, FDS menjadi krusial, terlebih apabila melihat banyak peserta didik yang mengikuti kegiatan sekolah madrasah umpamanya, maka FDS menjadi musuh besar bagi mereka, kehilangan murid dalam bahasa lainnya. Namun tidak sedikit pula yang menerapkan FDS tersebut, terutama di kota, bukan berarti di kampung tidak ada, di kota FDS dinilai ampuh untuk meminimalisir kenakalan remaja, meskipun tidak menafikan dampak psikologi peserta didiknya, seperti kelelahan, dan daya kreatifitas yang menurun. Belum lagi ketika berbicara mengenai kepekaan atau tingkat kritis siswa kepada lingkungan setelah di berlakukannya FDS tersebut. karena dengan stigma bahwa masyarakat kota yang memiliki kecenderungan individualistis tersebut.

Penolakan demi penolakan pun terjadi di pusat atau di lokal, ribuan massa di kerahkan untuk mendesak pemerintah menacabut aturan FDS tersbut, serta tidak tanggung-tanggung massa yang melibatkan peserta didik di ajak untuk ikut dalam aksi tersebut, sebagai bentuk penolakan terhadap aturan yang kurang, bahkan tidak efisien tersebut. Mendikbud Muhadjir Efendi telah menetapkan Peraturan Mentri (Permen) nomor 23 tahun 2017 tantang hari sekolah yang mengatur sekolah 8 jam sehari selama 5 hari pada 12 Juni lalu, yang pelaksanaannya telah menuai kontroversi di berbagai pihak, akantetapi di sisi lain FDS tersebut menguntungkan bagi mereka yang orang tuanya memiliki kesibukan dengan dunia kerjanya, meskipun di luar sana suara penolakannya begitu lantang. Para pakar pun turut angkat bicara dalam hal tersebut, seperti pakar psikolog, pakar pendidik, pengamat politik budayawan, serta masih banyak lagi yang menyuarakan ketidaksepakatannya terhadap penerapan FDS.

Jika melihat realitas di lapangan FDS justru efisien bagi mereka yang sedang melakoni jenjang pendidikan tingkat atas (baca; SMA/K), yang dalam hal ini tidak memiliki keterikatan dengan dunia pesantren dan madrasah, berbeda dengan SMP yang sebagian besar memiliki keterkaitan dengan madrasah atau juga pesantren. Melihat realitas dengan mata terbuka, bahwa sepulangnya peserta didik dari sekolah, mereka menghabiskan waktunya di jalan, dengan mengenakan atribut sekolah, berkumpul dengan teman-temannya dan kadang mengganggu masyarakat dengan huru-hara yang di ciptakannya. Oleh sebabnya, FDS di dalam hal ini menjadi penting, untuk meminimalisir apa yang terjadi di sekitaran, apabila realitasnya demikian. Meskipun tadi, FDS adalah opsional. Mengapa opsional? Kultur masyarakat tentu memiliki perbedaan, tak dapat di pukul rata, kemudian atmosfir masyarakat pesantren tentu berbeda dengan masyarakat biasa, dan juga dalam meminimalisir chaos yang ditimbulkan oleh pelajar maka FDS memang sepatutnya di belakukan demikian (opsional). Kembali, bahwa mereka yang turun aksi di berbagai kota dalam menolak FDS tersebut memang tidak bisa di justifikasi sebagai suatu kesalahan ataupun sebaliknya, namun semata-amata adalah sebagai respon terhadap negara yang di nilai kurang tepat dalam mengambil suatu kebijakan.

Dan kita tidak serta merta menyalahkan pemangku kebijakan seperti apa yang terjadi belakangan, FDS adalah sebuah representasi atas kehawatiran pemerintah terhadap generasi bangsa yang kian hari kian memprihatinkan, dan apabila tidak ada FDS maka kemungkinan permasalahan yang di hadapi akan menjadi tidak terkendali, sedangkan di masyarakat peranan pemuda yang kurang terorganisir bisa menepis asumsi penolakan FDS tersebut. Dari sekian aksi massa yang terjadi, paling menjengkelkan adalah ketika aksi tersebut telah di boncengi oleh kepentingan elit politik seumpama parpol, atau juga pesanan elit politik tadi, sudah barang tentu akan hal ini akan berdampak pada peserta didik yang melakukan aksi tersebut, bahwa mereka melihatnya sebagai ‘demo’ pesanan, dan menafikan demo yang murni demo.     
pict by: google
   31 Agust 2017

Ahonk bae

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.