Akhir Agustus, setelah beberapa hari kemerdekaan
di kumandangkan kembali di seluruh pelosok negeri, dengan riuh, suka-cita
rakyat menyambut hingga memeriahkannya, dengan ragam dan corak yang berbeda
pula, semata-mata demi merah putih tegak menantang kembali, mengenang
perjuangan para pendahulu atau bahkan nenek moyang seluruh bangsa ini yang
telah ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan. Sejak tahun 1945 silam
hingga 2017 berarti 72 tahun kemerdekaan itu di raih dan di jaga, dari
imperialsme, serta penjajah yang ingin kembali merebutnya dari bumi pertiwi. Dari
Sabang hingga Marauke serentak memproklamirkan kemerdekaan, lantang dari
pengeras suara yang telah di siapkan oleh panitia sebelum upacara berlangsung, sebagai
klimaks atau esensi dari seremonial kemerdekaan tersebut. Tak lupa pula, ornamen-ornamen jalan di
penuhi oleh atribut mereah putih sebagai bentuk tegas dari sebuah nasionalisme,
paling tidak umbul-umbul atau bendera plastik yang di beli dari toko kelontong
terdekat. Dan tak kalah menariknya apabila berkunjung ke dapertement store
dan menemui nuansa merah merah putih yang terpampang rapih nan elegan menghiasi
sudut ruang pembelanjaan super mewah tersebut.
Merawat
kemerdekaan selama 72 tahun memang bukan hal yang mudah, terlebih dengan
tantangan yang kian hari kian nyata,
baik tantangan dari luar negeri maupun dalam negeri itu sendiri, intoleransi, kekerasan atasnama agama,
radikalisme masih menjadi ancaman serius bangsa ini dalam merwat kemerdekaan.
Ancaman yang hendak merongrong
kemerdekaan dan persatuan yang telah terawat selama 72 tahun. Maka ketegasan
merah putih yang menghiasi pelosok-pelosok negeri menjadi suatu ketegasan akan
nasionalisme yang mengakar pada generasi selanjutnya, dalam menjaga Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Meskipun dalam entitas terkecil
masyarakat masih terdapat penjajahan yang semi-nyata, namun secara keseluruhan
masyarakat menjadikan proklamasi tersebut sebagai isyarat akan berahirnya
ketertindasan tersebut, yang kemudian menjadikan bangsa ini bangkit dari
keterpurukan serta penjajahan yang masih melingkup dalam masyarakat lemah.
Seremonial
dan Makna Merdeka
Inikah kemerdekaan? Suatu pertanyaan
telintas dari pikiran pagi menjelang pesta kemerdekaan, bertepatan dengan masih
tersisanya berbagai bentuk penindasan yang di lakukan oleh oknum-oknum yang
ingin memecah belah bangsa, dengan masuk dan merasuki subkultur negara yang
telah 72 tahun merdeka itu. Kita semu belum lupa dengan kasus Zoya yang di
bakar oleh keberingasan massa atas dakwaan pencurian ampfly player di
mushallah, kita akan terus ingat dengan kasus First Travel yang merugikan
banyak orang, juga yang sangat pedih adalah pembakaran umbul-umbul merah putih
di Bogor, di tambah sengketa tanah atas lahan PLTU Sumur Adem-Indramayu. Belum
ditambah dengan kasus lainnya yang terus menodai merah putih itu sendiri. Namun
semuanya telah mencuci tangan atau di abstraksikan (baca; di buyarkan) dengan
kata “merdeka” dengan setengah terpekik dan terperanjat, bila di lihat secara
jeli. Merdeka 100% yang pernah di dengungkan Tan Malaka dengan sumringah, kala
itu. Saat meluruskan perjanjian Renvile dan Linggar Jati. Sudah merdekakah kita
sesungguhnya? Adalah sebuah pertanyaan besar yang terus membayangi bangsa ini. Bangsa
yang beranjak dari tidur panjang dan terbangun sebab era milenial saat
kemerdekaan dalam genggaman (smartphone), berbagi kemerdekaan yang hanya cukup
dengan klik share dari tulisan seseorang. Ironi apabila menyaksikan
bangsa yang saat ini sedang mengalami keterblakangan mental dalam menuai
kemerdekaan itu, terlebih seorang Wiji Thukul menandaskan makna kemerdekaan,
bahwa “kemerdekaan adalah nasi yang di makan, menjadi tai,” sakit memang
jika melihat realitas yang sesungguhnya dalam memaknai kemerdekaan yang sesuangguhnya,
terlebih dengan lantangnya kata merdeka yang di tuliskan pada setiap pojok
kelurahan. Padahal penindasan dan keserakahan belum selesai namun kemerdekaan
terburu-buru di dengungkan. Dalam kajian gender, pun kemerdekaan menjadi
sesuatu yang semu, dengan perempuan yang masih tetap dengan status second
sex-nya atau mahluk kelas dua, trafiking masih menggurita, poligami
berkedok agama, dan tak akan luput dari ingatan bahwa KDRT juga masih mewarnai
merah putih yang berkibar tegak dengan rasa malunya.
Merdeka dan anu ialah sebuah delusif yang
telah di rekayasa sedemikian rupa, dan konon ia sebagai hadiah atas diplomasi yang dilakukan
oleh Soekarno yang dengan sesegera menyatakan kemerdekaan pada 1945 lalu, dan
dalam Catatan Perjuangan-nya, Tan Malaka menuliskan “kita melangkah tegak,
walaupun hujan pelor, tidak boleh kita menyingkir. Proklamasi itu bukanlah
hasrat atau cita-cita saja, seperti ‘surga’ itu adalah hasratnya seorang
Brahim. Tetapi proklamasi itu adalah satu faith (kepercayaan), satu fact
(nyata), satu kejadian yang sah, karena tiap-tiap bangsa berhak memproklamirkan
kemerdekaannya dan bila sudah memproklamirkan kemerdekaannya, kemudian
membelanya.” Namun yang terjadi adalah sebaliknya, bukan membela namun memecah
belah bangsa ini sendiri, dengan memberedel literasi, dengan mengecam diskusi,
mengklaim atas kebebasan berfikir seseorang, membatasi ruang gerak serta
ekspresi adalah bentuk real atas penjajahan yang masih tersisa, lalu
merdeka dengan pembacaan proklamasinya yang gagah, itu apa? Kita kembalikan
esensi merdeka itu pada diri kita sendiri (self determination). Sekali
lagi, siapa yang merdeka saat PLN menaikan tarif listriknya? Bersamaan dengan
naiknya pitam ibu hamil yang tak sanggup membayar biaya persalinan? Dan kepada
media yang terus membuat drama sinetron atas kasus e-KTP dan menjatuhkan vonis
atas mailing ampli.
Untuk membaca buku harus berhenti pada
kata merdeka, menelaah kembali setiap hurufnya, menafsirkan maknanya, dan
membuat analisis pragmatis atas kata itu. Bukan hal sepele, dalam membacanya
yang apabila hanya kaum berpunya yang bisa mengakatakannya pada saat pengibaran
sang saka di iringi pasukan paskibra yang bergulat dengan tanah. Dan di balik
dinding? Pedagang asongan berlarian dari kejaran satpol PP tepat dengan
pengibaran bendera. Adapa dengan kemerdekaan bangsa dan negara ini? sedangkan
KBBI mengisyaratkan bahwa merdeka adalah bebas (dari penghambaan atau
penjajahan), apabila dalam peringatannya para buruh pabrik tetap bekerja, apa
ini yang dikatakan merdeka? Jika KBBI adalah tendensi, namun beberapa korporasi
masih saja tetap melaksanakan aktifitasnya seperti biasanya.
Khubbul wattan minal iman adalah sebuah prinsip yang harus terus di
tanamkan pada setiap sanubari, sehingga kita bisa merdeka dengan cara kita
sendiri, dengan cara yang arif dan bijaksana, layaknya norma yang terkandung
dalam masyarakat. Merdeka meskipun tidak sama, merdeka sejak dalam pikiran,
menghargai perbedaan serta respect terhadap hal yang berbeda. Melakukan
hal-hal yang memiliki nilai maslahat untuk semua manusia, serta melestarikan
alam yang kian hari kian memprihatinkan. Sebab tak perlu nyali besar untuk
merdeka pada diri sendiri. Hari ini kita hanya perlu merawat kemerdekaan itu
dengan cara kita, dengan menjadi diri sendiri umpamanya, adalah sesuatu yang
dikatakan besar apabila melihat arus imtasi yang terjadi pada manusia dalam
keumumannya. Pada saat krisis identitas seperti saat ini, maka menjadi diri
sendiri adalah sebuah tangtangan tersendiri pada era milenia seperti pada saat
ini. Oleh sebab itu merdeka sejak dalam pikiran dan diri sendiri adalah menjadi
sebuah keharusan. Tidak harus menjadi orang lain untuk merdeka, tidak harus
memakai batik untuk di katakan Indonesia, namun menjadi diri sendiri serta
mengimplementasikan nilai keindonesiaan adalah kemerdekaan yang sesungguhnya.
pict: google.
Senin, 21 Agst 2017
Ahonk bae
Posting Komentar