Jika satu tetap
kuat kita bersinar
Harus percaya
tak ada yang sempurna
Dan dunia
kembali tertawa
Penggalan reff
dari lirik lagu Kuat Kita Bersinar besutan Superman Is Dead ini sekiranya dapat
memberikan sedikit gambaran akan sebuah situasi kegamangan bangsa ini, dengan
hiruk-pikuk fenomena yang mengisi layar kaca atau media sebagai representasi
akan adanya keretakan-keretakan yang terjadi yang out put-nya pada
perpecahan antar-bangsa ini. Hal itu di picu akan adanya informasi yang beredar
dengan sebegitu derasnya, dan kita, sebagai penerima informasi tak berlaku adil
dalam menerimanya, sehingga subjektifitas like and dislike muncul dengan
sendirinya. Dalam kurun waktu yang panjang dengan perdamaian, kini banyak manusia yang disibukan dengan pertengkaran, sebab perbedaan yang kecil,
bahkan terlalu kecil. Di besar-besarkan juga menjadi semacm propaganda untuk
menjadi besar, yang pada ahirnya tidak sedikit yang tergelincir pada lembah
perpecahan, tersekte-sekte, hanya untuk saling membela kata ‘benar’ itu
sendiri. Lalu dalam hal ini siapa yang salah atau bahkan di salahkan? Maka
jawabnya adalah tiada lain dari diri dari setiap personalitas itu sendiri. Yang
tak mampu meredam adanya arus besar perpecahan.
Isu adalah
sesuatu yang memang menjadi dewifortuna, seperti dengan merespon isu yang terjadi, terlebih yang sedang hangat atau baru muncul isu tersebut, maka asumsi yang muncul ialah, ia ibarat seorang aktivis atau pemerhati lingkungan –
mungkin. Namun pada kenyataannya taka berbanding lurus dengan hal tersebut.
Asumsi hanya sebatas asumsi yang justeru sebaliknya, ia menjadi semacam dinamit
yang siap di ledakan pada kerumunan massa pada tempo tertentu (baca; hoax).
Begitu derasnya arus informasi yang beredar bukan berarti keterbukaan akan
informasi atau transparansi menjadi sebuah media yang dengan masyarakat, namun
sebaliknya ia menjadi seperti yang telah disebutkan di atas (propaganda), pada
tataran masyarakat tertentu, terutama yang tersulut akan api emosi atau bahkan
gengsinya. Hal ini tentu menyebabkan beberapa orang dari kalangan masyarakat,
terutama dari kalangan sub-urban hingga desa, menjadi sasaran empuk untuk di
jadikan objek akan hoax tersebut, semakin kuat berita itu maka semakin kuat
kesenjangan itu. Dengan rendahnya minat baca dan kejelian akan membaca membuat
masyarakat sama sekali mudah untuk diadu domba dengan persoalan-persoalan
kecil, hingga bahkan yang di sinkronasikan dengan politik itu sendiri, yang
secara implisit membuat berita yang memicu akan terjadinya perpecahan itu sendiri.
Dari berita yang simpang-siur tersebut maka jelas si pembuat beritalah
pemenangnya, hal yang sama mengenai hoax-efect juga bukan hanya menimpa
masayarakat yang dikategorikan awam, namun juga telah menimpa para akademisi
yang pada ahir-ahir ini telah membuat jurang perbedaan yang semakin nyata.
Dari mulai adanya justifikasi bahwa A adalah benar dan B salah yang
ditanamkan pada peserta didik, maka jelaslah tersebut juga telah menanamkan
bibit perbedaan yang menjadi tampak nyata, terlebih dengan adanya ketebukaan
informasi tersebut, apabila bila informasi tersebut pada sebuah pembangunan
atas wacana berpikir masyarakat maka sah-sah saja, itu pun jika tidak terjadi
‘pemelintiran’ atas informasi tersebut. namun sekarang yang terjadi adalah
‘plintiran’ tersebut, hingga mengatasnamakan agama bahkan. Maka informasi yang
valid dan kewarasan berpikir seseorang memang sangat dipertaruhkan pada
era-milenia ini. sebab, dengan beredarnya informasi tersebut memungkinkan akan
adanya kepentingan yang memboncengi. Masyarakat sudah terlanjur kenyang atas
apa yang terjadi pada pil-gub Jakarta, juga masyarakat telah sudah sedikit
mengerti akan ritme informasi yang beredar dalam setiap genggamannya (baca;
gadget), terlebih sarat akan dalil agama yang di sandingkan pada informasi
tersebut.
Seorang Nietzsche yang dikenal dengan nihilis, pernah mengatakan “ece
homo” dalam Senjakala Berhala-nya, atau secara verbal dapat diartikan
“inilah manusia,” dengan berbagai alasan hanwa manusia memang mahluk yang
tergolong unik. Dilengkapi dengan akal dan hati namun terlampau dalam
mensinergikan keduanya, terlebih dengan percikan nafsu diri sendiri
(ego-sentris) yang sering memenangkan lika-liku kehidupan manusia itu. Dan
semenjak keterbukaan informasi atasnama internet yang semakin tak terbendung
itu maka pertikaian juga tak terhindarkan pula, dari mulai pertikain kecil
(antar-persoal) pun pertikaian yang melibatkan banyak orang, dan pada pada saat
ini entah berapa kerugian moril dan materi yang di picu oleh adanya hal
tersebut. Indonesia yang dikenal dengan oleh masyarakat dengan Bhineka Tunggal
Ika-nya telah kehilangan akar dari ke-Bhinekaan-nya itu, dan kini masyarakat
telah di hadapkan pada fase genting akan keretakan dari persatuan yang telah di
bangun dengan darah dan air mata oleh para pendahulu bangsa ini. Kembali, bahwa
informasi yang beredar tersebut tidak semuanya benar dan sebaliknya, oleh
sebabnya tak salah apabila informasi itu seperti sebuah hadist (segala sesuatu
yang ditendensikan pada Nabi Muhammad) yang pada diskursusnya juga terdapat
kekeliruan, baik di sebabkan oleh dhabit atau kreadibilitas akan
informan rawi itu sendiri, atau juga di dalam matan atau isi
hadisnya.
Pada hal ini informasi tersebut merupakan sesuatu yang absah bagi siapapun,
begitu juga hadist yang memang menjadi landasan hukum kedua setelah al-qur’an
khususnya bagi umat islam. Akantetapi dalam mempelajari (menerima juga
mendengar) hadist pun tak kalah mengkhawatirkannya, miss-infomasi dan juga
miss-persepsi juga akan menjadikan sebuah informasi yang diterima oleh
seseorang akan menjadikan sumber kekeliruan baru yang pada ahirnya akan
menimbulkan perpecahan itu sendiri. Tentu pembaca telah banyak mengetahui bahwa
kekacauan yang terjadi di picu oleh salah satunya informasi yang beredar
tersebut, dan tak sedikit pula manfaat yang bisa didulang darinya – apabila
informasi itu valid. Sehingga pisau bedah dalam memahami informasi dalam hal
ini ialah sama saja ketika seorang murid menerima hadist dari gurunya, juga
menempatkan objektifitas pada tataran awal dalam analisisnya.
Perbedaan-perbedaan pun akan dapat diminimalisir – setidaknya. Namum apabila
dalam menjangkau metode atau mempelajari ilmu hadist itu terlalu berat atau
hanya didapatkan pada perguruan tinggi, sementara informasi tersebut dapat
menjangkau semua kalangan tanpa batas umur, pendidikan, atau status sosial
sekalipun, hemat penulis menempatkan kewarasan atau objektifitas ialah menjadi
alternatif dalam hal ini. sebab kewarasan merupakan kontrol akan ketidakmungkinan
seseorang menyampaikan sebuah informasi, apalagi informasi tersebut merupakan
informasi yang keliru bahkan salah. Sebab, salah dan benar pada saat adalah
bukan hitam atau putih, melainkan kewarasan itu sendiri.
Informasi yang beredar atasnama keterbukaan tersebut memang dapat dikatakan
sebuah ancaman yang serius, terlebih apabila informasi tersebut telah di
boncengi oleh kepentingan di dalamnya, seperti politik atau kepentingan yang
sifatnya pribadi. Dan dengan melihat akan santernya informasi yang beredar maka
pisau bedah akan informasi tersebut merupakan sesuatu yang urgent pada
era-keterbukaan ini. dan pisau bedah pertama ialah sama seperti saat
mendapatkan hadist tersebut, yang di dalamnya terdapat metode takhrij
atau mengurai informasi, mulai dari informannya dan isi hadist itu sendiri. Juga
dapat dilakukan dengan tetap menjaga kewarasan atau objektifitas saat menerima
suatu informasi. Juga tidak terjadinya perpecahan-perpecahan yang semakin hari
semakin nyata adanya, serta dalam upaya merawat Indonesia yang semakin hari
semakin rapuh kebhinekaannya.
Sabtu, 17 Juni 2017
Ahonk Bae
Posting Komentar