Perjalanan, siapa yang dapat mendefinisikannya, tak ada, sebab yang
adanya hanyalah selipan kata pada setiap langkah. Menelanjangi apa yang telah
kelima indera ini temukan dalam setiap inchi langkah itu. Bertemu dengan orang-orang
yang sama sekali baru, mencium berbagai aroma pada setiap tempat, hingga
mendengar yang tak seharusnya di dengar. Yah begitulah perjalanan, setiap
manusia bebas memangkasnya dari sudut manapun, asal memiliki parameter yang
konkrit. Dan benar apa yang telah Tuhan berikan kepada manusia berupa indra
untuk menyerap dan meluapkan apa-apa yang telah diterimanya dari perjalanan itu
sendiri.
Tak akan ada parameter yang pasti dalam setiap pembicaraan, melepas
semua latarbelakang setiap manusia itu sendiri dengan memecahnya dalam tawa.
Kadang pembicaraan itu melupakn ruang dan waktu, “terlalu asik” kata
orang-orang. Memang, dengan saling bertukar ucapan adalah media manusia dalam
berkomunikasi sehingga kadang out of control dari apa yang menjadi focus
pembicaraan awal – sebab asik tadi. Tak peduli umur asal nyambung,
itulah prinsip dalam dialog, bukan dialektika, sebab dialog dan dialektika
memiliki komposisi yang berbeda sama sekali. Hal hingga ihwal pembicaraan
melalui rute yang berbeda (baca; prespektif) setidaknya mnjedi sebuah
narahubung diantra keduanya, atau bahkan komunal sekalipun.
Latar belakang apapun kadang terasingkan ketika menemukan titik
klimaks dari pembicaraan intim tersebut, sebab terlampau banyak forum-forum
yang menjadikan dialog itu menjadi semacam candu, dari mulai pertemuan tidak
terduga hingga sekelas seminarpun hanya satu yang diharapkan darinya; dialog
dan ketika keintiman itu dengan serta-merta muncul, maka dialektika itu muncul
dengan keberlanjutan dari dialog tersebut. Dan pada ahirnya ia akan mengkerucut
pada kepentingan masing-masing, ya sebab dialog itu.
Lantas bagaimana dialog itu tiba, sehingga berkesinambungan
ataubahkan bersinergi dalam sebuah aktifitas yang memiliki nilai (value)
dari apa yang telah dibicarakan pada pertemuan-pertemuannya, sudah barang tentu
bebas, baik yang berhubungan dengan ekonomi (binis), spiritual, atau bahkan
politik sekalipun. Dialog jika di ibaratkan seperti aliran air yang tiada akan
menemukan titik henti, sebab jikapun ada batu maka ia akan mengalir kembali
seperti semula. Sebab banyak sesuatu yang tibul dari pertemuan dan percakapan
manusia kemudian muncul pemikiran-pemikiran baru sebagai jawaban atau
eksistensi atas hasil dialog tersebut. Dan memang begitulah manusia, sesuatu
yang unik, baik segi ucapan maupun perbuatan. Di manapun itu.
Klise terbesar dalam pembicaraan adalah membicarakan sesuatu yang
memang bukan spesialisasinya, dan memang telah melangkah jauh pembicaraan itu,
A ke R umpamanya. Memang kaidah interaksi tak melrangnya, siapapun, namun
menjadi sesuatu yang absurd namoaknya apabila di dengarkan oleh pakarnya, dalam
forum atau bahkan di atas trotoar sekalipun. Namun lagi-lagi jebakan dari kata
unik pada manusia itu tak akan lepas dengan begitu saja. Hingga muncul istilah Asbun
atau Asbak yang diperuntukkan bagi mereka yang alur pembicaraannya
“nyasar”, namun biarlah, mungkin dengan hal itu wacana baru dan ide
bermunculan. Dan kata orang lagi, berbicara atau biasa di lisankan dengan ngobrol
memang membuang waktu jika dalam kacamata pelaku bisnis, yang memang
orientasinya adalah time is money, pun pembicaraan itu adalah membuang
waktu belaka. Namun bagi mereka yang pola hidupnya adalah menemukan hal-hal
baru, mengobrol atau berbicara adalah cara mereka yang dapat menyatukan segala
hal, dengan bahasa tentunya.
Tukang becak berbicara politik, pedagang pasar berbicara agama,
atau buruh tani berbicara budaya tentu adalah haknya bersuara atau menuangkan
aspirasinya. Dengan bahasa lain disebut juga curhat meskipun beda
orientasi namun berbicara merupakan sebuah ekspresi manusia atas
kegelisahannya, seperti yang di katakana Rosseau dalam filsafat bahasanya. Begitu
asiknya pembicaraan maka eksistensi itu muncul dengan sendirinya. Dan tak ada
larangan dalam berusara, mendengarkan, merasakan, melihat, mencium segala hal
dalam sepak terjang kehidupan ini, dan apa yang di katakana Ibnu Khaldun dalam Muqddimah-nya
adalah betul bahwa manusia adalah anak dari budayanya. Seperti apayang terjadi
pada saat ini adalah budaya “komentar” hal-hal yang dianggap ajib, entah
berupa cemoohan atau bahkan lontaran pujian sekalipun mewarnai alam dialog
manusia. Dan itu yang diperintahkan – saling mengenal. Dengan apa? Tentunya
dengan saling berkomunikasi satu dengan lainnya, memanfaatkan apa alat maha
dahsyat yang Tuhan berikan kepada manusia itu – mulut. Meskipun ada bebrapa
yang memang dianggap tabu dalam berbicara (adab) dalam berkomunikasi itu
sendiri, seperti berbicara kasar atau juga pembicaraan yang meninggung perasaan
orang yang diajak berbicara itu sendiri, dan ini yang kadang manusia lupa (ngaji
rasa), menjaga perasaan untuk tidak menyakiti lawan bicaranya, terlebih
lawan bicaranya merupakan orang yang baru di temui dalam sejengkal perjalanan
hidupnya.
Hanya dengan melihat lalu-lalang manusia pun sedikit bisa
mengurai kemuakan serta kekecewaan yang selalu terkemas dalam hati ini, dengan
melihat, mendengar, merasakan bahkan bertanya pada mereka juga sedikit
mengobati rasa muak dan kecewa tadi.
Berbaur dengan orang-orang baru,
berbicara dengan bahasa mereka, 'logat' dan karakternya yang berbeda,
menjadikan hal-hal menyebalkan hilang perlahan. Memang belum saatnya, namun
kesiapan mental akan di perhitungkan, bukan dengan
kalimat terbuka, namun peristiwa. Dan saat inilah semua harua di latih, di asah
hingga waktu berbicara pada saat tak terduga, semuanya siap.
Katanya kecewa adalah biasa,
sebab peristiwa tak berbicara dengan kata terbuka
Mengamati dalam hal ini juga termasuk dalam lingkup Ngaji
Realitas itu sendiri, dengan alat komunikasi seperti mulut memang tidak
langsung di fungsikan sebagaimana mestinya, sebab mata dan akal yang terlebih
dahulu bermain di dalamnya, dan tak ketinggalan alat dengar (telinga) dan
hidung sebagai mencium apa yang telah disaksikannya, seperti dalam teks skripturalQs
al-Hujarat ayat 13. Dan pada saat yang bersamaan hati dapat menampung kelima
hal itu, sebab al-Ghazali menetapkan bahwa hati adalah pangkal dari segalanya,
ia dapat menyerap apa yang manusia dengar, lihat, rasa, cium; hati pun memiliki
fungsi yang sama, bahkan lebih tajam darinnya. Dan pada ahirnya hati adalah
penentu segala ucapan serta tindakan manusia, ia laksana raja dalam jasad ini.
Sebab akal ahanya akan menjadi pongah dengan pa yang berbeda dengannya,
perspektif lain dari kacamatanya, aroma lain dalam penciumannya. Dan hal
tersebut menjadi fatal dalam kehidupan manusia ini.
Kamis, 07 Juli 2017
Ahonk
bae
Posting Komentar