[ads-post]

Sore itu, di penghujung ramdahan yang menyesakkan, sambil menunggu sidang isbath dari jajaran kementrian agama di tengah kepongahan orang-orang yang sibuk dengan aktifitasnya. Membosankan memang, namun itulah dan inilah tradisi di Indonesia, menunggu keputusan untuk bisa dikatakan umum’ dengan semua orang. Meski tanpa baju baru dan segala sesuatu yang baru, mungkin. Dan memang iya bahwa lebaran atau hari raya idul fitri adalah sebuah cerminan atas kemenangan, kemenangan apa?, entahlah, semua mengatakan begitu, baik dari media sendiri hingga khatibnya juga. Dengan membayarkan zakat fitrah?, mungkin juga, sebab banyak persepsi yang berserakan sehingga entah kemana larinya makna esensial fitri itu sendiri. Sebab yang terjadi adalah hanya Raya namun tanpa fitri, dari zakat fitrah tadi? Bisa juga.

Pada penghujung ramadhan adalah masa dimana umat islam saling berbaur dan membaur, bukan tanpa rekayasa, namun inilah sifat natural manusia yang tak mau melepaskan diri orang lain. Sehingga dengan adanya tradisi Mudik atau pulang ke kampung halaman menjadikan raya itu semakin nyata – fitrinya juga. Berkumpul bersama sanak famili, handa taulan dan teman menjadi basis terkuat yang menjadikan raya itu adalah mendekati kata merayakan, merayakan sebuah perkumpulan sebuah keluarga, halal bi halal atau bahkan reuni yang juga menjadi tradisi baru pada saat ini. letak fitrinya di mana? Di seberang lautan sepertinya. Sebab dalam sebuah siklus waktu yang katanya kekiniaan adalah sebuah pencitraan, bukan lagi zamannya kebijaksanaan. Ramadhan sebagai bulan ujian telah pergi, maka segala rotasi kehidupan menjadi biasa kembali, meski dalam ramadhan juga tidak bisa di pungkiri sesuatu yang biasa itu. Ujian dalam ramadhan hanya bagi mereka yang secara istiqomah atau kontinuitas dalam melakukannya dengan sungguh-sungguh, pada setiap sepuluhnya terdapat momen yang berbeda (kasih sayang, ampunan, di jauhkan dari api neraka). Tetapi inilah tradisi, siapa yang bisa menyalahkannya? Atau siapa yang bisa merubahnya? Sweeping ala islam garis keras? itu hanya sebatas pemberantasan pada saat pra-ramadhan semata. Tradisi sepertinya merubah taklif seorang laki-laki menjadi seorang perempuan pada saat bulan ramadhan, dengan biasanya mengkonsumsi makan atau minuman di jalan layaknya perempuan yang sedang berhalangan, juga merupakan sebuah tradisi yang tak terelakan, siapa yang memungkiri? Mereka bisa melakukannya. Dan lagi katanya bahwa puasa adalah perkara yang langsung berurusan dengan Tuhan, hingga parameter seorang yang berpuasa di terima atau tidak, tentu itu adalah hak prerogatif Tuhan, sebab manusia hanya mengetahui syarat-rukun dan syarat-sahnya semata.

Sekali lagi secara pribadi menyangsikan makna idul fitri itu, ditelisik dari sudut kekurangan, sebagai introspeksi diri, masih terlalu banyak kedengkian yang mengerak dalam diri, sifat kebinatangan yang belum tumbang – melawan diri sendiri. Jika sebatas merayakan Raya, atau semacam selebrasi seperti pada umumnya, dengan kembang api, pakaian baru atau juga karnaval juga merupakan hal yang biasa pada tradisi islam di Indonesia, manun lagi-lagi makna fitri itu seperti apa? Jika masih tetap saja terdapat seorang yang belum tertolong secara materinya, sebab pendistibusian zakat yang ‘pincang’. Dan idul fitri itu hanya milik orang-orang yang memakai baju baru? Dangkal sekali. Sebab menurut cerita, baginda Nabi pernah menangis ketika menemui seorang yang belum tercukupi secara materi pada hari raya idul fitri tersebut, dan pada masa ini, mungkin juga sebelum penulis dilahirkan memang telah ada hal semacam itu, sehingga masih tetap merayakan Raya di atas sebuah penderitaan, kembali, bahwa ketika karakter dalam ramadhan itu belum sampai ‘ubun-ubun’, jika bukan sum-sum.

Baju baru hingga kembang api sekalipun hanyalah sebuah representasi basi dari kekuaranghati-hatian pada saat menjalankan ibadah puasa itu, sebab puasa, seperti yang tadi di katakan, adalah sebuah ujian, berkali-kali di uji namun belum menemukan titik lulus, itulah manuisa kata Nietzsche. Tanpa mengenal ujian pun manusia tetaplah manusia, taida yang berubah, sebab Herlioclitius menuliskan bahwa yang berubah itu ialah kata berubah itu sendiri. Terlebih pada manusia yang dilahirkan oleh budaya, tepatnya kata Ibnu Khaldun “Manusia dilahirkan dari rahim perdaban”, siapa yang menyangsikan? Bahwa yang terjadi pada ramdhan hanyalah tradiri bukan esensi seperti yang diharapkan oleh baginda Nabi. Tradisi karnaval menyambut ramadhan, tradisi buka-bersama (bukber), tradisi perlobaan tadarus, tradisi mudik dan lagi, tradisi karnaval. Apa impact-nya? Hanya sampah. Tradisi yang tak tulus mungkin. Tak dapat dikatakan sebuah tradisi itu selalu buruk namun juga sebaliknya. Meskipun ia membawa nilai-nilai islam – umpamanya, akantetapi apabila tidak memberikan dampak apa-apa, selain kepada anak yang belum baligh, juga apa akan selalu dikatakan bahwa tradisi itu selalu baik?

Dan kembali lagi kepada persoalan bahwa tradisi islam Indonesia adalah tradisi berislam yang tergolong unik, katanya. Selain semuanya harus disakralkan dengan karnaval juga dengan jurang pemisah, walau sekedar pakaian. Maka dengan segenap kebingungan yang termat sangat, penulis menyangsikan akan ke-fitrian dari idul fitri itu sendiri. Sebab kadang penganut agama urban terlihat ‘mencolok’ dalam berbusana, yang muslim katanya. Dan tak ketinggalan pula para ta’mir masjid yang melebih-lebihkan, tepatnya mereka-reka suara ketika mengumandangkan takbir ataupun adzan menjelang sholat idul fitri itu sendiri. Keterjebakan pada fashion masih saja hinggap pada pemeluk agama, berpendidikan pula. Betapa menyakitkan idul fitri itu.
Minggu, 25 Juni 2017

Ahonk Bae              

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.