Tempat peribadatan seperti masjid, gereja, viara
atau sinagog tentu akan selalu ramai apabila para jama’ahnya getol
melakukan ibadah yang harus memfokuskan tempatnya pada tempat tersebut, seperti
pada dua hari raya, paskah, waisak, atau yang lainnya. Hal ini sudah barang
tentu menjadi sebuah parameter akan seberapa kadar keyakinan akan apa yang
diyakini oleh pemeluknya. Seberapa militannya jama’ah itu dapat dibuktikan
setidaknya dengan kuantitas akan jumlah dari jama’ah tersebut dalam
memperingati hari-hari besar agama tersebut.
Dengan pahala atau kebaikan yang berlipatganda ketika dilakukan secara komunal atau
berjama’ah, sehingga dengan kebaikan yang disebutkan oleh lieteratur klasik
mengenai jumlah bilangannya; 27 (dua puluh tujuh) derajat kebaikan yang
diperoleh apabila dilakukan secara bersama-sama. Namun, sama sekali berbeda
dengan apa yang terjadi pada bulan ramadhan ini, semua mubaligh atau para jago
retorika mengatakan bahwa pada bulan ramadhan ini pahala atau kebaikan yang
didapat bisa berlipatganda, lebih dari biasanya, maka dengan di umumkannya hal
itu diharapkan dapat memotivasi para jamaah yang jarang melakukan ibadah
bersama, seperti sholat berjama’ah, yang termasuk dalam kategori sunah
mu’akad dan memiliki nilai kebaikan
yang lebih dari sesuatu yang dijanjikan tersebut. Terlebih pada bulan ramadhan
ini memiliki tiga bagian yang sangat memotivasi kita dalam berjam’aah – tarawih
dalam hal ini. Seperti pada sepersepuluhnya atau setiap sepuluh hari dalam
bulan ramadhan tersebut memiliki bagiannya sendiri. Berangkat dari sebuah
tradisi atau hadist yang di sampaikan oleh baginda Nabi Muhammad SAW;
أول شهر رمضان رحمة
وأوسطه مغفرة وآخره غتق من النار
“Awal
bulan ramadhan adalah rahmah, pertengahan maghfirah, dan di akhirnya ‘itqun
minan nar (pembebasan dari api neraka).”
Sepuluh hari pertama adalah rahmah atau
kasih saying yang pada hal ini sangat berkaitan dengan apa yang manusia lakukan
pada manusia lainnya (hablum minannas), dan juga atas karunia yang telah
diberikan oleh semsta (hablum minallah), dan dengan kuantitas jama’ah
yang selama awal ramadhan memenuhi shaf atay barisan pada masjid atau
langgar setidaknya menjadi bukti bahwa kuantitas dapat menjadi sebuah
representasi atau cerminan dari kedua hal tersebut, di samping rahmah
yang terdapat pada awal ramadhan tersebut. Memang benar adanya apabila dalam
awal bulan ramadhan itu sangatlah berat, terlebih dengan pola hidup yang baru,
atau masa transisi, dari hari biasanya yang makan dan minumnya tidak memiliki
keteraturan, dan pada bulan ramadhan ini harus mengikuti ‘ritme’ yang telah
ditentukan, yaitu sejak terbit fajar hingga tenggelamnya matahari. Terlebih
kepada orang yang mendermakan hartanya kepada orang lain, dengan sampel kecil
bahwa dalam memberi makan atu minum mendapatkan balasan yang luar biasa,
seperti dalam sebuah hadist nabi;
من فطر صا ئماعلى مذقة
لبن, أو تمرة, أوشربة من ماء, ومن أشبع صائما سقاه الله من الحوض شربة لا يظمأ حتى
يدخل الجنة, وهو شهر أوله رحمة, ووسطه مغفرة, وآخره عتق من النار, فاستكسروافيه من
أربع خصال .....
“Siapa
saja yang memberi buka kepada orang yang berpuasa dengan seteguk susu, sebiji
kurma, atau seteguk air, dan siapa orang yang mengenyangkan orang yang berpuasa
maka Allah akan memberi minum dari telaga dengan satu tegukan, yang menyebabkan
tidak haus sampai masuk surga. Inillah bulan, yang awalnya adalah rahmah,
pertengahan maghfirah, dan di ahirnya pembebasan dari api neraka, maka
perbanyaklah melakukan empat hal di bulan ramadhan...”
Sepuluh hari yang kedua ialah maghfirah
atau ampunan, kebiasan untuk berbuka atau untuk menahan diri dari mengkonsumsi
makanan dan minuman, pada fase ini telah tergolong biasa, dan dengan
terbiasanya kita dengan rutinitas atau bahkan pola hidup yang teratur tersebut
maka sangat memungkinkan untuk melakukan ibadah dengan khusyu, namun
dalam realitasnya pada fase kedua ini kuantitas jama’ah shalat tarawih menurun,
yang semula shaf tergolong rapat kini merenggang dengan sendirinya. Pola
kebiasaan ini telah menjadi sesuatu yang lazim di sekitar kita, masjid atau
mushalah mendadak sepi, jika pun ada maka itu merupakan mereka yang sadar betul
akan pentingnya sholat berjama’ah, baik sholat maktubah atau solat sunah.
Begitu pun dengan suasana ramadhan yang seolah menjadi biasa dengan fase kedua
ini, mulai dari kebiasaan orang yang tidak berpuasa atau ‘buka paksa’ di
jalanan – biasa ditemui, hingga kebiasaan-kebiasaan lainnya yang membuat
ramadhan ini menjadi tidak begitu special.
Pada sepuluh hari terahir di bulan ramadhan ialah
momen ‘itqun minannar atau pembebasan dari api neraka. Dengan ini puasa
pada hari-hari terahir di bulan ramadhan ini menjadi sesuatu yang sangat
berharga, merski semuanya menjadi biasa, dengan adanya indikasi mengenai lailatul
qodar yang banyak diriwayatkan pada sepuluh hari terakhir di bulan ramadhan
ini. Pada fase ini adalah fase yang sibuk, umat islam dari berbagai penjuru menyiapkan
serta menyibukkan diri dengan membuat sesuatu yang berarti dalam menyambut hari
raya idul fitri – nantinya, seperti tradisi mudik atau pulang ke kampung
halaman bagi mereka yang tinggal di perantauan, meningkatnya daya beli
masyarakat, serta meningkat pula kuantitas jama’ah pada fase ini, yang dengan ‘itqun
minannar berlomba-lomba untuk memperbaiki diri, hingga kemudian di tutup
dengan membayar zakat fitrah yang, di berikan kepada mereka yang
membutuhkannya.
Dan dengan frekuensi yang naik-turun-naik ini,
maka kualitas maupun kuantitas jama’ah, baik di musholah atau pun di masjid
seperti pada umumnya. Dengan bergulirnya dimensi ramadhan yang penuh dengan
nuansa kebersamaan serta menjadi sarana untuk melatih diri dalam, merasakan apa
yang di rasakan oleh orang yang kurang mampu, maka elegi ramadhan dalam
perjalanan spriritualnya merupakan sebuah petualangan menikmati apa yang
sebelumnya belum kita nikmati, dan peningkatan terhadap kualitas ibadah, baik
vertikal (mahdah) dan horizontal (ghairu mahdah), menjadi acuan
kita dalam menjalani kehidupan selanjutnya, atau di luar bulan ramadhan ini.
Jama’ah yang merupakan sebuah media untuk merekatkan setiap personal di bulan
ramadhan ini juga di latih, di latih untuk hidup berdampingan dalam dinamika
sosialnya.
Senin, 05 Juni 2017
Ahonk bae
Posting Komentar