KH. Chozin Nasuha yang merupakan salah satu
pengasuh pondok pesantren Dar al-Tauhid, guru besar di Universitas Islam Negri
(UIN) Sunan Gunung Jati Bandung tersebut memiliki kepribadian yang
membanggakan, selain sosoknya yang familier, juga beliau dikenal sebagai sosok
yang sederhana dan bersahaja. Suatu contoh kesederhanaan yang sering ditemui
kami ialah, beliau lebih suka berjalan kaki dari pada menaiki kendaaran semisal
motor saat menuju kampus dan, tidak sedikit dari teman-teman yang menawarkan
diri untuk ‘membonceng’ beliau, namun tidak sedikit pula yang ‘ditolak’ beliau
dengan alasan yang membuat kami sedikit malu, “ora, bapa mlaku bae lah bari
sehat”, dan pada sebuah kesempatan ketika pertama kali mengikuti kuliyah
umum yang pada saat itu beliau yang menjadi presentatornya.
Dan apa yang pertamakali membuat kegelisahan
intelektual ini terheran-heran ialah, saat beliau menyatakan; “Islam
rongsokan”, begitu yang pertama beliau lontarkan ketika public lecture
di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) pada tahun 2011 silam tersebut. Baik
dari sisi intelektual atau spiritual sydah barang tentu statemen ini menjadi
suatu parasit yang memporak-porandakan akal sehat. Pasalnya, Islam ya Islam
sebagaimana apa yangetalah di gariskan oleh oleh al-qur’an dan hadist (baca;
tekstual), namun dengan apa yang di sampaikan oleh Prof. KH. Chozin Nasuha
tersebut sontak membuat kaget. Dengan ekspolorasi yang mendalam dan di sampaikan
secara kalem maka sedikit kerumitan akan istilah ‘Rongsokan’ tersebut
menjumpai titik likuidnya.
Sebelum menemui titik likuid Islam Rongsokan
tersebut abah atau bapa, begitu kami menyapanya. Abah memulainya dengan suatu
historikal Islam yang di turunkan pada belahan bumi, tepatny Jazirah Arab,
tepatnya di Madinah yang kondisi sosial di sana menurut beliau merupakan
masyarakat yang berada dalam titik dekaden, atau dekadensi-moral itulah mengapa
disebut dengan jahiliyah, meskipun dalam sisi lainnya – ekonomi umpanya,
merupakan kongsi dagang yang cukup besar, sehingga mampu melakukan ekspansi
pasar hingga Syiria, begitu yang baginda Nabi lakukan. Kemudian beliau
melanjutkannya dengan ekpansi keagamaan tersebut di berbagai wilayah, baik
dengan cara berdagang, perkawinan, diplomasi atau bahkan berperang sekalipun,
demi masuknya islam di tempat tersebut, sehingga setelah takluknya daerah
tersebut maka pergulatan budaya tak bisa di elakkan begitu saja tutur beliau.
Beliau menambahkan, dengan adanya pergulatan
budaya tersebut maka menjadikan Islam semakin terkesan fleksibel dan lunak
tentunya, sehingga Islam yang sampai Indonesia ini merupakan Islam yang telah
mengalami sebuah estafet dari berbagai tempat, India atau bahkan Gujarat, sebab
masuknya Islam ke Indonesia secara umum ialah melalui jalur perdagangan kemudian
perkawinan, sambung beliau. Maka tak heran, apabila simbol agama Islam seperti
kubah yang sampai saat ini merupakan sebuah adopsi dari berbagai tempat atau
akulturasi dan berbagai kebudayaan, dan menurut beliau inilah yang disebut
dengan Islam Rongsokan, sebab dalam perjalanannya Islam telah menemui dan
mengalami pergulatan kebudayaan-kebudayaan atau kearifan lokal (local
wosdom) yang sama sekali baru dari tempat asalnya. Beliau juga
mengelaborasikan bagaimana Islam itu masuk serta di terima oleh masyarakat
Indonesia ini, sebab menurut beliau terdapat persamaan budaya, khususnya dengan
Hindu, karena telah melalui India itulah Islam mudah untuk masuk dan di terima
di Indonesia ini, tutur beliau.
Di balik keserdehanaannya, beliau juga dikenal
sebagai pengasuh yang dekat dengan para santri selain juga kritisnya, sehingga
apabila ada salah santri yang hendak sowan kepada beliau maka beliau
selalu berpesan untuk terus membaca dan berdialog atau diskusi, sebab dari
kedua hal tersebut yang menurut beliau ilmu akan mudah dipahami serta menambah
cakrwala ilmu. Kemudian, apabila dalam sebuah Peringatan Hari Besar Islam yang
di selenggarakan oleh pesantren dan kemudian beliau di sowani untuk
menjadi pemateri, maka dengan senang hati beliau mengamininya, terlebih beliau
dikenal sebagai sejarawan juga paham betul mengenai ilmu logika (mantiq)
di pesantren yang membuat para santri ‘melek’ akan sejarah pendiri pesantren
yaitu KH. Abdullah Syatori dan juga tidak lepas dari sejarah Arjawinangun
sendiri. Dan apabila pada saat Ramadhan beliau selalu mengikuti sholat tarawih
berjama’ah di mushalah pesantren dengan para santri, yang lebih mengesankan
adalah beliau menempati shof di luar bersama santri yang badung,
sehingga membuat para santri segan untuk melakukan kegaduhan dalam ritual
shalat tarawih tersebut.
Dengan kesederhanaan, keluasan dan keluesan yang di miliki oleh beliau maka
ketika kepergian beliau membuat semua orang terkaget-kaget, sebab beberapa hari
sebelumya kami menemui beliau di kediamannya dan juga menjumpainya pada saat
shalat tarawih. Bukan hanya Arjawinangun atau Cirebon yang merasa sedih atas
kepergian beliau, bahkan gubernur Jawa Barat (Ahmad Heriyawan) pun mengucapkan
rasa belasungkawanya dengan mengirimkan karangan bunga yang mewakili
kesedihannya. Dan kami selalu yakin saat kepergian satu orang alim maka seribu
orang alim lain akan lahir sebagai regenasi atasnya, sebab semua ada dalam maha
rencana-Nya.
Minggu, 11 Juni 2017
Ahonk Bae
Posting Komentar