Sepenggal
kalimat yang mememenggal semua kaimat dalam pergolakan sebuah di negri, di
dalam sebuah kemelut, atas sebuah permsalahan yang tak kunjung usai dengan
beragai varian masalah yang diawali dengan blur hingga ketidakjelasan, sejak
masalah dapat di modifikasi menuju sebuah pengalihan atas suatu permasalahan
tersebut (baca : pengalihan isu) yang, kadang kerap kali mengocok perut ini
untik tidak berhenti tertawa atas apa yang tela di pikirkan dan dilakukan oleh
segerombolan manusia Indonesia yang penuh kreatifitas serta keunikannya.
Belakangan muncul fenomena radikalisasi atas nama agama, hingga
agama menjadi hari ini rentan untuk di peluk kembali hingga mati, Karena denga adanya
hal-hal demikian telah sukses membuat semua orang mempertanyakan kembali
keberagamaannya, yang pada ahirnya terseret pada tuduhan bahkan ‘stigma’
liberal atas kritis yang dilontarkannya. Belum lagi kasus kekerasan yang menimpa perempuan, khususnya anak perempuan yang di bawah umur,
yang kerapkali juga membuat geram semua elemen masyarakat dan juga menjadi suksesi
atas pengalihan isu yang sedaang berkembang. Siapa yang di untungkan atas semua
ini?, ternyata media yang lebih beruntung dengan terus melansir berita-berita
yang sama sekali tidak penting dan tentu dengan
validitas atau level sahih yang terus dipertanyaakan.
Menilik apa yang terjadi pada terjadi pada era komunisme di
Indonesia dan genosida yang terjadi atasnya (era 1965) yang terus menyisakan
duka teramat perih, bukan karena kontra atas ideologi sebuah negara yang, pada saat itu telah
memproklamirkan diri sebagai Negara yang berasaskan pancasila, namun pada
awal kemunculan itu diwarnai dengan masuknya parpol (partai politik),
dengan segudang visi-misinya yang hendak berjibaku membangun bumi pertiwi.
Sosialis, demokratis, bahkan kapitalis tidak lepas dari representasi
atas kemunculan
sebuah parpol tersebut, sehingga pergulatan awal kemunculan di isukan dengan stigma atas komunisme
tersebut. Dari mulai atheis, partai utopis, tidak logis, dan berbagai
nyinyiran lainnya,
yang tentunya menyudutkan komunisme itu sendiri kedalam sebuah lembah hitam dari penganutnya. Dengan langkah awal yang
merangkul golongan bawah, kelas proletar atau mustadzafin jika bahasa
agamnya, dan keberpihakkannya kepada para petani, buruh pabrik dan siapa saja
yang hidup dalam kungkungan strata yang berada pada kelas bawah (proletar).
Dalam slogam mainstream komunisme atas “sama rata sama rasa” yang
di definisikan sebagai sebuah alat menuju kemakmuran dengan jalan “mengambil”
system produksi dari kelas di atsnya (apa bedanya dengan tujuan zakat?), yaitu
borjuis, telah diartikan sebagai sebuah nihilism bagi yang kontras. Serata
stigma atheis yang dilekatkan padanya meski entah darimana datangnya tuduhan
atas stereotype tersebut, seolah mereka yang menuduh adalah telah
memiliki jaminan dari Tuhannya karena telah sukses melakukan Hukum Tuhan
tersebut (devine prudence). Dari sub-bab atas Das Kapital kah? Yang
menyinggung Materialisme Historis, atau dengan tuduhan yang di tendensikan atas
penulisnya sendiri, yaitu Karl Marx yang telah memiliki pembaca fanatik
yang memiliki kouta diatas ratusan atas karyanya? Yang hingga akhirnya membuat
semua elemen geram (yang kritis khususnya) kemudian melakukan sebuah aksi
dengan turun ke jalan dan menanyakan sebuah kebijakan-kebijakan yang di ambil
oleh pemerintah, namun miss-persepsi lahir dari rahim “pemain aman”
tersebut,
atas dogma yang diajarkan oleh Orde Baru (ORBA). Meski hari ini elemen kritis
yang mengisi negri ini telah terkikis atas penanaman dogma tersebut yang terus
memupuknya
dengan ‘hama kebencian’
atas sesuatu yang bernama komunisme.
Kebencian itu lahir dari sebuah keterasingan yang menyiksa batin
pemain aman tersebut, “posisi aman” setidaknya terkoyak dengan kritisme
tersebut, meski sejuta alibi selalu tersedia di laci meja parlemen, hingga
secara psikologis ada yang mengancam dirinya, lebih khusus cengkraaman
kekuasaannya. Hingga dengan ancaman tersebut mereka tidak kalah dengan “pasar”
yang mengnancam “alat produksinya”. Hal itu beridampak pada konstruksi system
yang rentan terhadap rasa kritis tersebut seperti dalam dunia akademisi, hingga
ahirnya membuat kebijakan yang berisikan tahhrim atau pelarangan dengan
jalan memperketat mata kuliah, dan jadwal yang disesaki oleh hal yang berbau
nilai (namun bukan nilai dalam sejatinya), yang pada ahirnya tidak sedikit dari
mereka bersikap apatis terrhadap kondisi sosialnya, hal ini belum di tambah
masuknya tehnologi yang mendorong empati sosialnya secara konkrit dan hanya
menghamburan kata-kata yang tidaak mufidz sama sekali dalam
kenyataannya. Entah dimana meletakkan epigram“adil sejak dalam pikiran apalagi
perbuatan” dari seloloran Pramoedya Ananta Toer yang begitu indah tersebut.
Keberagaman persepsi, cakrawala ideologi, dan luasnya khazanah
keilmuan yang tidak menuntup kemungkinan atas terkuaknya kembali
peristiwa-peristiwa yang memilukan tentunya dengan sejarah yang lurus, namun di
label “kiri” oleh sebagian manusia aman tersebut, belum lagi konsumsi bacaan
yang “lulus sensor” saja yang ditelan dan tidak peduli apa makna sejarah
apalagi perjuangan, karena yang di pakai olehnya ialah tidak lebih dari alat
menuju kekuasaan (gelar, ijazah, pangkat dll). Yang harus bermuara pada trilogy
feodalisme (harta, tahta, wanita), dan disiplin ilmu adalah sejarah baginya
yang termaktub dalam masa atau jenjang pendidikan seperti SD, SMP, SMA, PT atau
dalam epistemology P. Freirre “investasi pendidikan yang mendatangkan surplus
ekonomi keluarga” bukan alat menuju kemakmuran dan kemanusiaan. Hal ini tentu
memilukan bagi mereka yang sedaang dilanda demam kemakmuran dan juga
kemanusiaan. Pada terminology Rousseau dikatakan “dalam realitasnya, secara
parsial individu sebagai manusia memiliki kehendaak tertentu yang mungkin akan
kontras atau selaras dengan apa yang dimaksudan dengan sebuah kebenaran umum”,
yang sejatinya jika dikembalikan akan mengena pada substansi ke-Bhineka-an yang
telah dicanangkan oleh founding father negri ini. Padahal apabila
ditilik secara substansinya, pendidkan adalah alat perobohan bentang jarak
dalam kelas, karena pendidikan anak kuli atau buruh akan mengantarkan
derajatnya dengan anak bangsawan, seperti statemen yang dilemparkan oleh Tan
Malaka “Bahwa maksud pendidikan anak kuli terutama, ialah mempertajam
kecerdasan dan memperkokoh kemauanserta memperhalus perasaan si murid,seperti
dimaksudkan dengan anak bangsa apapun dan golongan apapun juga.”
Hari ini, genosida 1965 kembali mencuat, dengan jalan merampas,
menumpas segala sesuatu yang mengindikasikan komunisme, seperti buku dan kaos
yang bergambar logo komunis tersebut, dengan melakukan sweeping pada
pasar dan tempat-tempat percetakan seperti sablon dan lainnya yang tercium
memiliki korelasi dengan sebuah ancaman tersebut. Hal ini tentu terdapat dua
perampasan kembali dalam khazanah progresif muda Indonesia. Vandalisme dan
perampasan hak intelektual yang begitu disayangkan, dimana geliat keilmuan hari
ini adalah menjadi urgensi atas segala degradasi sebuah negri yang carut-marut
karena ulah oknum yang hanya menghamba pada perutnya. Dengan dijadikannya
manusia sebagai objek maka segala eksploitasi tidak bisa di pungkiri dalam
setiap lini, baik pendidikan, kebudayaan, ekonomi, dan alam yang menjadi
sedemikian mirisnya. Lalu, hari ini bagaimana mengimplementasikan nilai
Pancasia dan Bhineka Tunggal Ika tersebut?, apabila yang dianggap berbeda
adalah musuh, apabila system tidak bisa dikritik, dan untuk apa Pancasila dan
Bhineka tersebut? Apa artinya pendidikan apabila hanya akan menjadi budak di
negri sendiri dan terpenjara dalam potensinya yang begitu kaya. Nampaknya
merdeka adalah mimpi dan kesejahtrera adalah ilusi dalam Negara ini. Lantas
upaya memerdekakan diri saja terus dicekal oleh oknum yang “hawatir” akan
adanya dis-posisi atas diri atau kelompoknya.
Pancasila telah dijadikan dalih untuk menindas dan menghakimi yang berbeda, nilai-nilainya kini hilang begitu saja. Duka lalu dan hari ini, terus menjadi sejarah yang akan mewarnai
angkasa negri ini, entah besok dalam karya seseorang apakah sejarah ini akan di
belokkan atau dibelotkan, atau jika dalam skala kemungkinan kecilnya diluruskan
dan ditegaskan, bahwa apa yang digembor-gemborkan atas komunisme tersebut
tidaklah adil, bahwa komunisme beserta Marxismenya ialah sebuah epistemology
keilmuan, dan isu yang berevolusi menjadi stigma atas atheism ialah jauh dari
realitas yang ada (dimana korelasinya?). Dan juga membaca dan memahami
keseluruhan mengenai sesuatu, komunisme contohnya menjadi begitu urgen,
mengingat pembaca sepotong sudah terlampau berisik mengisi dunia. Dan pemegang
pikiran rakyat beserta tuntuannya (baca : media masa) harus matang dalam
mencernanya, hilangkan budaya taken granted karena ia (media) telah juga
telah sukses menghegemoni alam fikiran rakyat serta bangsa ini yang mulai
beranjak.
Kamis, 01 Juni 2017
Ahonk bae
Posting Komentar