[ads-post]

Dalam dunia industri yang sedemikian maju, hingga melahirkan inovasi-inovasi baru dan juga melahirkan embrio kebudayaan yang baru atas objek teknologi tersebut. semuanya dibuat mudah serta dipermudah dengan kehadirannya. Hingga dalam beberapa diskursus budaya menjadi sedikit terdegrdasi atau terkikis. Namun, tidak serta-mereta dan lantas menyalahkan atau menyudutkan atas kehadiran teknologi tersebut, atau dengan bahasa lain – anti-kemajuan. Akantetapi kemajuan yang saling bersinergi dengan nilai-nilai yang luhur, yang telah menjadi representasi ke-timuran, dalam menjunjung tinggi etika serta estetika di dalamnya. Dan pada hari ini sendi-sendi budaya di sekeliling kita mula di reduksi dari kehadirian teknologi tersebut, di buat lupa sebab terlalu asik, sebab popolaritas, atau musabab yang lainnya. Maka pergeseran nilai telah nampak nnyata dalam realitasnya, dan dalam syi’ir-nya Imam as-Syafi’i menyatakan;
فأصبحواولسان الحال ينشدهم = هذابذاك ولا عتبٌ على الزّمن
“Akibatnya keadaan (kemajuan zaman) pun menegurnya “Ini adalah akibat ulahmu sendiri yang melewati batas, sedang zaman tak bisa digugat.”
Dalam dinamika pesantren khususnya, terdapat banyak sekali tradisi yang telah ada juga terjaga sampai detik ini. Seperti budaya menundukkan kepala ketika seorang guru sedang berjalan di depannya, merapihkan alas kaki (sandal) sang kiai atau guru, sowanmengunjungi kediaman kiai atau guru, dan masih banyak lagi budaya yang telah ada dan terjaga dalam pesantren tersebut. Akantetapi seiring dengan kemajuan zaman serta gejolak media yang perlahan mengikis etika sesama manusia (hablum minannas) yang telah hinggap pada khalayak ramai, juga mengejawantahkan apa yang tercipta dan terjaga di pesantren tersebut. pengejawantahan terjadi tidak ujug-ujug datang begitu saja, namun melalui proses yang panjang dan melawan status mapan budaya pesantren tersebut, hingga melahirkan budaya yang sama sekali baru dalam dunia pesantren tersebut. Seperti baru-baru ini terdapat fasilitas streaming yang di berikan oleh author jejaring sosial media seperti facebook, yang dengannya dapat mepermudah setiap orang ketika berkomunikasi, meski dalam jarak yang tidak dekat, namun dengan adanya fasilitas tersebut yang, digunakan oleh sebagian orang justeru sejatinya mereduksi tradisi-tradisi yang ada di pesantren tersebut, seperti dalam sebuah pengajian kitab klasik (baca; kitab kuning) yang biasa di lakukan secara bandongan atau seorang kiai atau guru membacakan kitab tersebut dan santri menuliskan artinya; ngapsahi. Dan hal ini dilakukan dengan cara berkumpul dalam satu ruangan, yang sudah barang tentu terjadi inetraksi antara kiai dan para santrinya. Atau dalam diskursus pesantren di sebut sebagai talaqqi, namun karena ahir-ahir ini live streaming dianggap sebagai sebuah alternatif bagi seseorang yang jauh dari tempat tersebut – pesantren umpamanya, akantetapi talaqqi yang berarti belajar ilmu agama secara langsung kepada guru yang mempunyai kompetensi ilmu, tsiqah (kreadilitas), dhabit (memiliki daya ingat yang kuat) dan mempunyai sanad kelimuan yang meuttasil sampai ke Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam melalui para Ulama Alimin Arifin.
Sebab dalam sebuah diskursus ilmu hadist terdapat proses penerimaan hadist dari seorang guru atau tahammul hadist yang, derajat ini diperoleh dengan cara mendengar secara langsung dalam satu ruangan atau berarti pula bertatap muka dengan sang guru tersebut. Dalam sisi tradisi pesantren terdapat sebuah ikatan emosional yang kuat antara guru dan murid pada saat mengaji bersama, dan mengapa sebabnya streaming tersebut merupakan sesuatu yang rancu apabila di aplikasikan dalam dunia pesantren. Dalam perjalanan sejarahnya, talaqqi menjadi sebuah sebuah barometer akan sebuah kreadibilitas hadist, seperti yang terjadi pada ahli hadist; Imam Bukhori (810M-870M) dan Imam Muslim (821M-875M). Meskipun dalam satu masa, namun tidak pernah bertatap muka (dalam hal ini streaming) namun sanad keilmuannya masih dalam status   ambigu atau diragukan. Inilah menjadi sesuatu yang vital dalam tradisi serta budaya pesantren. Sebab, di dalamnya terdapat keberkahan serta kepuasan batin pada saat berjumpa dengan gurunya (self determination).
Terdapat bebrapa fadilah atau keutamaan atas pengaplikasian talaqqi tersebut, diantaranya ialah; Bertemu dengan para ulama yang rabbani dan mendapatkan kesempatan menempati riyaadhul jannah (taman-taman surga), terciptanyanya sebuah budaya ilmiah (intellectual culture) yang baik (baca; take and give). Dan memang, dalam streaming tersebut memberikan dampak positif yang besar, kerena bisa di lihat dari jarak yang jauh tersebut. Dan benar adanya bahwa teknologi itu bisa mendekatkan yang jauh dan sebaliknya, akan tetapi dalam dunia pesantren hal tersebut bukanlah hal baru, sehingga modernisme dapat pula diartikan sebagai langkah menju dekadensi atau kemunduran (Nietzsche:43;150). Banyak yang hilang dengan adanya streaming tersebut, seperti kapan seorang santri atau bahkan alumni berjumpa secara langsug (face to face), yang apabila selama ini hanya dilakukan secara visual semata, dan apabila proses tranformasi keilmuan dipikirnya sebegitu mudah, maka apalah buah ilmu tanpa jerih payah? Dan meskipun dengan dalih seperti ini, pun nilai keluhuran dalam pesantren harus tetap di lestraikan, seperti sowanyang kini sudah tergeser pula dengan adanya kanal-kanal media.
المحافظة على القديم الصّالح والأخذ بالجديد الأصلح
“melestarikan nilai-nilai tradisional yang relevan dan adoptif terhadap produk-produk modernitas yang lebih baik”
Dan pada ahirnya betapa pentingnya dalam melestarikan tradisi pesantren tersebut, dan dengan adanya streamning bukan berarti kami menolak akan hal tersebut, akan tetapi menjawag kewarasan dalam kemelut teknologi merupakan sesuatu yang absah, yang sudah sepatutnya dilakukan oleh semua orang – tanpa terkecuali. Tradisi baru berupa live streaming memang sangat bermanfaat untuk alumni-almuni pesantren, umpamanya. Namun apabila hal tersebut terus dilakukan maka akumulasi atas keengganan untuk bertemu dengan sang kiai akan nampak, secara personal ataupun komunal. Toh, ada streaming. Dan dalam menjaga kesadaran atau kewarasan tadi, betul bahwa hari ini menjadi sesuatu yang sangat vital, kesadaran sejati yang bukan kesadaran palsu. Kesadaran akan pentingnya berjumpa guru, dengan semua orang dalam menjalin   ukhuwah bahsariah, ukhuwahinsaniah,hingga ukhuwah islamiah. Dan apakah ukhuwahtersebut tercipta dengan hanya bercakap melalui media semata? Tanpa berjumpa? Selain itu terdapat sebuah etika atau adab dalam dunia pesantren yang sangat di prioritaskan, sebelum ilmu maka tanamkan akhlak terlebih dahulu, begitu kiranya representasi dunia pesantren dalam mendidik santrinya. Dan sekarang streaming merupakan sebuah keniscayaan akan adanya akhlak itu sendiri, dan menjadi sangat tidak lucu saat semuanya di anggap mudah dengan adanya teknologi tersebut, terlebih yang mengikis sebuah tradisi yang telah ada sejak sedemikian lamanya.
Dan pada gilirannya streaming masih dalam tataran akal yang sehat dalam mendulang kebaikan, yang sudah barang tentu  banyak yang memburunya. Namun dalam upaya yang lebih baik dari streaming tersebut ialah datang secara langsung dan bertemu dengan sang kiai, dan ber-muajahah dengan teman-teman yang lain. Sehingga kekurangefektifan akan adanya streaming tersebut dapat di pahami seutuhnya, terlebih dalam pengajian. Pengajian yang sudah barang tentu menggunakan metode talaqqi tersebut, telah dan harus dijaga dalam dunia pesantren sebagai tradisi yang kuat. Kesadaran menjadi berometer akan pentingnya talaqqi dalam dialektika keilmuan dapat di pahami setelah tataran akhlak tersebut berhasil merasuk dalam sanubari setiap santri dan alumninya.
Minggu, 28 Mei 2017
Ahonk bae

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.